Gender & Sexuality Opini Travel & Leisure

Di Balik Larangan Hijab di Industri Hotel: Inklusivitas Semu dan Islamofobia?

Diskriminasi perempuan berhijab di industri perhotelan adalah topik yang masih jarang dibahas.

Avatar
  • November 13, 2023
  • 6 min read
  • 6823 Views
Di Balik Larangan Hijab di Industri Hotel: Inklusivitas Semu dan Islamofobia?

G, mantan pekerja di salah satu hotel di Yogyakarta pernah diminta tidak memakai hijab oleh bosnya. Alasannya, karena orang berhijab erat dengan stereotip pelaku terorisme.

“Akhirnya saya mengajukan surat pengunduran diri,” kata G. Ia lalu mengirim lamaran ke beberapa hotel di Jakarta. Namun, di setiap interview selalu ada persyaratan perempuan tidak boleh mengenakan hijab dalam kondisi dan situasi apa pun selama jam kerja.

 

 

Pengalaman dari G hanyalah segelintir dari banyaknya polemik hijab dalam dunia kerja. Pengguna hijab paling rentan terhadap diskriminasi karena cara mereka berpakaian menunjukkan bahwa mereka mengamalkan ajaran tertentu. Proses diskriminasi tersebut bukan hanya terjadi pada saat mereka bekerja, bahkan sejak awal proses perekrutan, perempuan yang mengenakan hijab telah mengalami diskriminasi.

Baca juga: Hati-hati Jebakan ‘Tourist Gaze’: Bahaya Mengeksploitasi Desa Pariwisata

Penempelan stereotip hijab dan terorisme lebih sering ditemui di Amerika Serikat. Dikutip dari artikel Not welcome here: Discrimination towards women who wear the Muslim headscarf (2013), Ghumman dan Ryan memaparkan bahwa perempuan berhijab cenderung tidak menerima panggilan balik ketika melamar pekerjaan di hotel dan restoran. 

Dalam penelitian serupa berjudul Can I get a job if I wear Hijab? (2014), dengan sampel beberapa HRD perhotelan di AS, menunjukkan berhijab menurunkan peluang pelamar mendapatkan tawaran pekerja.

Dalam beberapa studi, upaya pelarangan hijab dalam dunia perhotelan acap kali dikaitkan dengan fenomena islamophobia dan hijabophobia yang merebak pada medio abad Ke-21. Akan tetapi ada faktor pengekangan tubuh perempuan yang dilanggengkan patriarki.

Dalam Creamy and seductive: Gender surveillance in flight attendant work (2023), Smith menyatakan bahwa: “Industri pariwisata  merupakan industri yang lekat dengan kebijakan kepengaturan tubuh dan penampilan”. Perempuan berhijab acap dianggap tidak sesuai dengan corak industri pariwisata yang menuntut pekerjanya untuk berpenampilan creamy and seductive (menggoda).

Sederhananya, seperti pengalaman G. Saat bertemu dengan klien, ia kerap diminta atasannya untuk tidak menggunakan hijab dengan dalih identik dengan terorisme, dan masih banyak lagi. 

Hal tersebut sesuai dengan teori Butler dalam Performative acts and gender constitution: An essay in phenomenology and feminist theory (1988). Butler menekankan bahwa alih-alih bersifat alami, gender acap kali meniru ideologi gender yang dominan. Dalam hal ini, dominasi tersebut merujuk tidak lain dan bukan pada nilai-nilai patriarkis. Hal ini tidak terlepas dari proses organisasi seperti budaya, kebijakan, dan simbol/gambar organisasi. Aspek-aspek tersebut saling terkait untuk mendisiplinkan dan mengendalikan tubuh atau penampilan pekerja dengan dalih dapat memengaruhi kinerja mereka. 

Baca juga: Menilik Kerentanan Perempuan Pekerja di Sektor Pariwisata

Perempuan secara struktural merupakan pihak yang jamak mengalami ketidakadilan gender. Ketidakadilan tersebut dapat menjadi semakin parah karena dipengaruhi oleh ras, agama, budaya, dan sebagainya. Dalam bukunya, Black Feminist Thought: Knowledge, Consciousness, and the Politics of Empowerment (1990), tokoh feminis Collins mengatakan bahwa perempuan yang berasal dari kelompok minoritas sering mengalami diskriminasi ganda.

Pertama karena dia perempuan yang berada dalam sistem hierarki yang didominasi laki-laki. Kedua karena dia menggunakan identitas tertentu, sehingga dia dianggap sebagai entitas yang bersifat liyan dibanding perempuan lain. Hal tersebut agaknya juga berlaku untuk memahami bagaimana proses diskriminasi yang diterima oleh perempuan berhijab dalam industri pariwisata. 

Demi Kebutuhan Customer?

Dalam beberapa kasus, kepengaturan tubuh dan penampilan yang dilakukan oleh industri pariwisata sering dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pelanggan (customer). Fakta bahwa hijab merupakan identitas budaya-keagamaan tertentu sering dikhawatirkan akan mengabaikan aspek inklusifitas dan egaliter dari industri tersebut. Selain itu, tenaga kerja yang “estetik” sangat penting dalam industri pariwisata. Tidak jarang perusahaan menetapkan pedoman mengenai penampilan fisik karyawannya untuk membantu mengatasi layanan pariwisata yang tidak berwujud. 

Oleh karena itu, pada hakikatnya pihak perusahaan merasa bahwa wujud “kepengaturan fisik dan penampilan” tersebut muncul untuk memenuhi kebutuhan konsumen. 

Secara makro kebijakan tersebut juga sangat dipengaruhi oleh persaingan berbagai perusahaan dalam industri pariwisata. Implikasinya banyak perusahaan pariwisata yang menetapkan standar yang sama dalam hal penampilan. Salah satunya adalah dengan melarang hijab, khususnya bagi pegawai perempuan di bagian front office. 

Perempuan kemudian menjadi pihak yang paling terdampak atas kepengaturan tubuh dan penampilan ini. Hal ini juga tidak terlepas dari lemahnya bargaining power perempuan di tempat kerja atas kebijakan manajerial yang patriarkis. Meskipun saat ini sudah banyak perempuan yang mengisi jabatan manajerial, namun nilai-nilai patriarkis dalam perusahaan masih jadi yang utama. 

Oleh karena itu, masalah ini (hijab dalam industri perhotelan) tidak dapat disederhanakan sebagai masalah islamophobia belaka. Akan tetapi juga harus dilihat sebagai masalah yang jauh lebih besar yakni terkait dengan minimnya pemahaman interseksionalitas gender dalam industri pariwisata. Minimnya kesadaran tersebut kemudian mendorong terjadinya berbagai normalisasi terkait gender dalam industri pariwisata. Salah satunya normalisasi bahwa perempuan yang bekerja di industri pariwisata tidak boleh menggunakan hijab. 

Baca juga: Dosa Pariwisata Indonesia: Gentrifikasi, Ketimpangan, dan Eksploitasi

Kode Etik Pariwisata: Implementasi yang Terabaikan dan Lemahnya Perlindungan Bagi Pekerja Perempuan

Di Indonesia, hak pekerja perempuan telah dijamin dalam konstitusi, undang-undang, dan beberapa peraturan pelaksananya. 

Misalnya dalam UUD 1945,  Pasal 28D ayat (2) menegaskan, setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Dalam hal ini negara menjamin adanya perlakuan yang adil terhadap para pekerja dan melarang segala praktik diskriminasi. Industri pariwisata menjadi salah satu industri yang seharusnya juga turut andil dalam proses diskriminasi tersebut. 

Padahal, jika kita melihat dalam kode etik pariwisata global, salah satu tujuan pariwisata adalah “membangun pengertian dan saling menghormati antara masyarakat dan wisatawan”.

Hal tersebut mengandung konsekuensi etis bahwa apa pun perbedaannya, tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengabaikan hal yang dianggap liyan seperti hijab, dan sebagainya. Meskipun demikian, praktik ini masih diabaikan dan cenderung sebagai standar ganda bagi perempuan yang memakai jilbab di dunia perhotelan.

Meskipun secara normatif hukum ketenagakerjaan kita menyiratkan untuk membangun iklim kerja yang egaliter dan inklusif. Akan tetapi, isu perlindungan tenaga kerja perempuan acap kali menjadi persoalan yang belum terselesaikan. 

Pelarangan hijab di tempat kerja seperti yang dialami G, hanya sebagian kecil. Relasi kuasa yang sangat timpang antara pekerja perempuan dan atas salah satu pemicu utamanya. Terlebih jika dalam perusahaan tidak ada mekanisme yang menjamin perlindungan dan pemenuhan hak pekerja.

Penulis sepakat dengan Pasinringi dalam Pekerja Perempuan Alami Intimidasi Soal Jilbab, Perlu SKB 3 Menteri? (2021), terkait intimidasi dan pemaksaan hijab. Pembahasan tentang pemaksaan busana untuk perempuan harus melihat pelarangan pemakaian jilbab perempuan pekerja. 

Dua situasi tersebut sama-sama menunjukkan adanya diskriminasi, pemaksaan dan kurangnya penghargaan atas keputusan yang diinginkan perempuan untuk dirinya sendiri. Seharusnya mau berhijab ataupun tidak biarlah itu tumbuh secara organik tanpa ada paksaan dari orang atau kelompok lain. 

Menghormati dan mendukung perempuan yang memilih untuk mengenakan jilbab dalam industri perhotelan seharusnya menjadi adalah dasar dalam memajukan inklusivitas dan keberagaman. 

Mengakui dan menghargai pilihan pribadi dan identitas budaya perempuan ini bukan hanya mempromosikan lingkungan pariwisata yang lebih ramah dan inklusif, tetapi juga menyampaikan pesan kuat tentang rasa hormat dan kesetaraan.

Ilustrasi oleh Karina Tungari.



#waveforequality


Avatar
About Author

Anindwitya Rizqi Monica and Akbar Bagus Nugroho

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *