Pemaksaan Jilbab Timbulkan Gangguan Kecemasan, ‘Body Dysmorphic Disorder’
Sejumlah perempuan yang dipaksa memakai jilbab mengalami gangguan kecemasan tinggi dan depresi, sampai trauma hingga body dysmorphic disorder.
Trauma hingga sulit tidur dirasakan “Tasya” menyusul pemaksaan memakai dan perundungan terkait jilbab, ketika ia mulai mengajar di sebuah universitas negeri pada tahun 2002. Meski ia sendiri tidak merasa jilbab sebagai identitas dirinya, perempuan berusia 42 tahun itu kemudian mengenakan jilbab yang dililitkan di kepala tanpa peniti. Namun, lambat laun para kolega di universitas tersebut mulai memegang kepala, menarik jilbab, menyentuh, dan meraba bajunya karena tidak sesuai dengan persepsi cara berpakaian layak, yaitu menjuntai menutupi dada.
Penyerangan batas personal itu membuatnya trauma, sulit tidur, dan meragukan identitas dirinya sebagai muslim. Ia juga merasa marah atas institusi yang memaksakan satu cara saja untuk memakai jilbab yang juga menyasar mahasiswa beragama lain.
“Saya sampai di satu titik menjadi diri sendiri sangat susah. Saya sadar ini sangat opresif karena berpengaruh pada kesehatan mental. Saya pikir serangan dan komentar itu tidak akan memengaruhi saya, tapi nyatanya tidak,” kata Tasya kepada Magdalene April lalu.
Mirip dengan Tasya, Tara juga merasakan kecemasan dan bahkan masalah citra tubuh karena dipaksa memakai jilbab oleh keluarganya. Lingkungannya juga sering melontarkan pertanyaan dan pernyataan, “Kapan pakai jilbab?” atau “Sudah, pakai saja dulu.”
“Komentar backhanded compliment seperti ‘cantiknya pakai hijab’ juga seperti menyiratkan saya jelek kalau tidak memakai jilbab. Komentar itu menyakiti saya dan menambah body image issues saya,” kata Tara, mahasiswi Universitas Padjadjaran Bandung, kepada Magdalene (13/4).
“Masih banyak orang yang berpikir bahwa memakai jilbab adalah inti menjadi muslim, padahal kewajiban Islam tidak satu. Sama seperti dosa yang ragamnya banyak. Manusia tidak ada yang suci,” ujarnya.
Timbulkan “Body Dysmorphic Disorder”
Psikolog Ifa Hanifah Misbach, kepala klinik psikologdi dari Rumah Sakit Melinda 2 Bandung, telah menangani 37 kasus perundungan akibat jilbab dari perempuan segala usia. Ia mengatakan bahwa pemaksaan pemakaian jilbab tidak hanya menimbulkan dampak trauma, tapi juga gangguan kecemasan tinggi hingga gejala body dysmorphic disorder, atau kelainan yang membuat seseorang terus memikirkan penampilannya.
Perempuan yang menjadi korban pemaksaan dan perundungan soal jilbab merasa tidak mampu memenuhi standar moral religius sebagai perempuan “baik-baik”. Jika tidak menggunakan hijab mereka dituduh dan dipermalukan dengan label negatif.
Ifa menggarisbawahi bahwa kondisi psikologis body dysmorphic disorder yang disebabkan oleh pemaksaan jilbab tidak disebabkan oleh body deficiency atau anggapan ada yang kurang dari tubuh mereka, melainkan isu tentang moralitas.
“Perempuan yang menjadi korban merasa tidak mampu memenuhi standar moral religius sebagai perempuan ‘baik-baik’. Jika tidak menggunakan hijab mereka dituduh dan dipermalukan dengan label negatif dari teman serta kerabat,” ujarnya dalam acara peluncuran laporan I Wanted To Run Away dari Human Rights Watch Maret lalu, tentang pemaksaan pemakaian atribut religius kepada perempuan Indonesia.
Ifa mengatakan, gangguan kecemasan yang para korban alami juga membuat mereka merasa terkucil dan kesepian secara mental karena tidak ada pihak yang mendukung mereka saat mengalami perundungan. Perempuan menjadi merasa tidak memiliki kuasa akan tubuh mereka sendiri, kurang semangat hidup, dan kehilangan identitasnya, ujarnya.
“Oleh karena kesepian akut ada yang memikirkan untuk bunuh diri. Syukurlah mereka selamat,” kata Ifa.
Tekanan berbalut narasi agama dari teman, guru, kolega, dan keluarga tersebut membuat korban merasa bukan muslim yang baik. Selain itu, merasa sebagai seorang pendosa yang akan menyeret ayah, saudara laki-laki, serta suami ikut ke neraka, ujarnya.
“Narasi (agama) ini memberikan rasa takut untuk perempuan muslim dan telah mendoktrin mereka sejak kecil. Perasaan takut dan bersalah sudah terinternalisasi bahwa mereka pendosa karena tidak menutup tubuh,” ujar Ifa.
Di sisi lain, ketika mereka mengenakan jilbab akibat paksaan, perempuan akan merasa depresi karena mengenakan sesuatu yang tidak diinginkan dan sesuai dengan jati diri mereka, ujarnya.
“Akhirnya mereka mengenakan jilbab atas rasa takut bukan dari diri sendiri dan kesadaran yang bermakna. Pemakaiannya diselimuti kekerasan emosional yang menimbulkan trauma,” kata Ifa.
Pemaksaan pemakaian jilbab ini, menurutnya, menciptakan lingkaran negatif baru dalam perundungan pemakaian atribut religius pada anak mereka atau orang lain. Hal ini berkaitan erat dengan peran perempuan yang akan menjadi ibu dan guru utama dari anak-anaknya.
“Jika ibu adalah hasil perundungan intens tanpa cinta dan perlindungan sejak masa kecil, maka mereka akan terperangkap dalam lingkaran bullying,” ujarnya.
Baca juga: Haruskah Anak Kecil Mengenakan Jilbab
Interpretasi Mayoritas yang Dipaksakan Penyebabnya
Alissa Wahid, koordinator nasional jaringan Gusdurian, mengatakan bahwa isu ini bukan tentang hijab sebagai pakaian religius, namun tentang hak perempuan muslim mengenakan jilbab berdasar kepercayaan secara personal.
“Kunci dari isu pemaksaan adalah kewajiban hijab yang tidak menghormati kepercayaan lain dan tekanan maupun diskriminasi di ranah sekolah hingga kantor,” ujarnya.
Ia mengatakan, dalam melihat isu ini ada beberapa konteks yang harus diperhatikan, seperti meningkatnya ultra konservatisme yang membuat paradigma Islam inklusif menjadi eksklusif. Hal ini berkaitan erat dengan tafsir agama yang diinterpretasikan sebagai satu cara saja, ujarnya.
Konteks yang lain dalam isu ini adalah majoritarian herd populism atau simplifikasi arti demokrasi di Indonesia yang menjadi “apa yang diinginkan mayoritas harus dipenuhi” tanpa memikirkan konstitusi negara, ujar Alissa.
Selain itu, isu pemaksaan dipengaruhi oleh desentralisasi daerah yang tidak ditangani dengan bijak, ia menambahkan. Alissa mengatakan hal ini disebabkan oleh regulasi daerah yang tidak beriringan dengan konstitusi, atau aturan daerah yang dibentuk atas interpretasi hukum syariah yang diformalkan.
Baca juga: Konservatisme Agama di Sekolah dan Kampus Negeri Picu Intoleransi
Alimatul Qibtiyah, Komisioner Komisi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), mengatakan dalam konteks pemakaian jilbab ada keragaman pemahaman di antara umat Islam sendiri. Pemikiran dari kelompok mayoritas, meski tidak semua umat muslim, mengatakan menutup aurat dengan jilbab adalah wajib, tapi ada juga penafsiran yang menekankan yang penting pakaian sopan dan sesuai dengan budaya, ujarnya.
“Masalah ada pada mayoritas yang mengatakan semua umat Islam ada dalam satu pemahaman yang sama terkait pakaian, yaitu wajib. Padahal realitasnya tidak. Umat Islam ini tidak hanya masyarakat awam, tapi ada juga tokoh agama atau ulama,” kata Alimatul kepada Magdalene (27/3).
Alimatul menambahkan, perilaku diskriminatif yang muncul akibat interpretasi ini dilarang, terlebih lagi untuk masyarakat yang menganut agama dan kepercayaan selain Islam.
“Kita tidak bisa menafsirkan pemahaman mayoritas itu kepada yang minoritas. Apalagi kalau yang sifatnya tidak masuk dalam konsep pemikiran keyakinan, semakin tidak bisa dipaksakan,” tambahnya.
Riri Khariroh, Komisioner Purnabakti Komnas Perempuan, mengatakan untuk beberapa ulama yang tidak tergolong dalam kelompok paham mayoritas, pakaian berkaitan erat dengan budaya. Maka, perlu ada kajian keislaman yang komprehensif terkait busana atau atribut religius, ujarnya.
“Karena pemaksaan bukan sesuatu yang dikehendaki terutama untuk perempuan itu sendiri. Saya kira untuk ini tidak ada seorang pun yang memiliki hak untuk memaksa perempuan menggunakan jilbab,” ujarnya kepada Magdalene (28/3).
Baca juga: Aturan Jilbab di Sekolah: Antara Pilihan Keimanan atau Aturan Positif
Dukungan untuk Korban Intimidasi Penting
Ifa mengatakan, isu ini tidak menjadi justifikasi untuk menyerang perempuan yang memakai hijab. Masyarakat hanya perlu berpikir kritis dengan rasa hormat bahwa perempuan yang memaksa adalah korban kekerasan simbolik dan cara berpikir bias gender sarat nilai patriarkal yang menilai perempuan dari sudut pandang laki-laki, ujarnya.
“Ini tidak sekedar apa yang dikenakan perempuan. Tapi tentang identitas, keadilan untuk rasa hormat perempuan sebagai individu yang unik. Perempuan perlu dan memiliki hak (memakai jilbab) yang berlandaskan rasa sadar, bukan paksaan. Karena jika mengedukasi perempuan artinya edukasi seluruh generasi,” jelasnya.
Alimatul mengatakan perlu ada pengaduan ke lembaga layanan tentang pemaksaan cara seseorang berpakaian yang berujung diskriminasi.
“Kalau terjadi seperti itu, (korban) bisa melaporkan ke lembaga layanan atau Komnas Perempuan tentang perlakuan itu,” ujarnya.
Riri mengatakan perlu ada peningkatan kesadaran serta penghargaan atas hak asasi perempuan lewat edukasi mengenai hak asasi manusia. Sementara itu, aspek yang terpenting adalah dukungan kepada perempuan yang menjadi korban pemaksaan dari teman sebaya, keluarga, dan komunitas.
“Harus ada dukungan untuk perempuan yang dipaksa, baik secara konseling untuk psikologis mereka. Konseling ini penting agar mereka tidak menyalahkan diri sendiri,” kata Riri.