Misteri Geger Dukun Santet Tahun 1998-1999: Mereka Diburu dan Dibantai
Selama periode 1998-1999, lebih dari 300 orang di Banyuwangi dan sekitarnya dituduh sebagai dukun santet. Mereka diburu dan dibantai.
Suatu malam, sekitar pukul 21.00, ketika suami Sri (bukan nama asli) baru selesai melakukan salat isya, tiba-tiba datang sekitar 20 orang bertopeng ala ninja ke rumah mereka. Tanpa banyak bicara, sang suami diseret ke halaman rumah, lalu diikat dengan tali tambang. Suami Sri disiksa sampai meronta pun tak bisa. Belasan senjata tajam yang dibawa para orang-orang bertopeng itu dihunjamkan ke tubuh suaminya. Batu sebesar buah kelapa pun dihantamkan berulang ke kepala sang suami.
Sri berteriak histeris, tapi ia tak digubris. Tanpa belas kasihan, orang-orang bertopeng ini terus menyiksa suaminya sampai sekarat dan bersimbah darah. Nyawa suami Sri pun tak tertolong. Ia tewas di pangkuan Sri.
Kesedihan Sri berkepanjangan. Tak hanya harus kehilangan orang terkasihnya dengan cara mengenaskan, ia juga dikucilkan para tetangga. Semua karena sebelum dihabisi, sang suami sudah dituduh sebagai dukun santet.
Cerita di atas bukan kisah fiksi. Ia kisah nyata yang dituturkan langsung oleh keluarga korban yang diwawancarai Tempo dalam laporannya Banyuwangi Dirundung Isu Dukun Santet Jilid I (2019). Dalam laporan itu, Tempo pergi ke beberapa tempat di Jawa Timur, tempat salah satu sejarah kelam pelanggaran HAM berat di Indonesia terjadi.
Lebih dari 20 tahun silam, lebih dari 300 orang dituduh dukun santet di Banyuwangi dan beberapa kota di Jawa Timur, diburu dan dibantai. Kekerasan ini menurut temuan tim ad hoc dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dilakukan secara sistematis dan meluas dimulai dari kota Banyuwangi lalu menyebar ke Jember, Bondowoso, Situbondo, Pasuruan, Malang, hingga Pulau Madura.
Tragedi berdarah ini terjadi antara Februari 1998 hingga Oktober 1999, ketika Indonesia mulai dihantam krisis ekonomi dan politik yang ditandai dengan merebaknya kerusuhan sosial dan jatuhnya rezim Orde Baru.
Awalnya yang menjadi sasaran pembunuhan adalah orang-orang yang dituduh memiliki ilmu hitam atau dikenal sebagai dukun santet oleh warga setempat. Ketika jumlah orang-orang tidak bersalah yang dihabisi terus bertambah, sasaran pun meluas dan korbannya juga merembet ke orang dengan gangguan jiwa, para ulama, guru ngaji, pengelola pondok pengajian hingga warga sipil biasa.
Baca Juga: Menolak Lupa, Kerusuhan Mei 1998
Simpang Siur Siapa Dalangnya
Komnas HAM sesuai amanat UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM memulai melakukan penyelidikan atas kasus kekerasan ini. Dalam temuan mereka, jumlah korban pembantaian mencapai 309 orang: 194 di Banyuwangi, 108 di Jember, dan 7 di Malang.
Dikutip dari laporan BBC Indonesia dan Tirto, Komnas HAM menyatakan ada terduga aktor yang melakukan propaganda, penggalangan untuk menggerakkan massa untuk membunuh. Beka Ulung Hapsara, eks ketua tim penyelidikan kasus ini bilang mereka adalah orang-orang yang datang dari kelompok terorganisir dan terlatih.
Mereka memahami peta sosiologis yang ada di Banyuwangi dan sekitarnya di mana dukun santet memiliki posisi khusus di masyarakat. Mereka juga dikenal memiliki banyak musuh di kalangan warga kebanyakan.
Kesimpulan bahwa kekerasan ini oleh ‘aktor intelektual’ tidak terlepas dari kemunculan daftar nama orang-orang yang diidentifikasi sebagai dukun santet oleh Bupati Banyuwangi saat itu, Kolonel Polisi (Purn) HT. Purnomo Sidik. Daftar nama itu dikeluarkan dalam bentuk radiogram pada 6 Februari 1998 yang ditujukan kepada aparat pemerintah, mulai camat hingga kepala desa. Radiogram itu diklaim untuk melindungi dan mengamankan orang-orang tersebut dari ancaman dibunuh. Sayangnya yang terjadi justru sebaliknya. Pasca radiogram itu dikeluarkan, terjadi rentetan pembunuhan terhadap sebagian nama yang tertera dalam daftar tersebut.
“Memang betul tujuannya soal keamanan, tapi yang terjadi sebaliknya, bahwa data-data itu digunakan untuk menjadikan mereka sebagai sasaran pembunuhan,” jelas Beka, seperti dikutip dari BBC Indonesia.
Selain soal radiogram, penyelidikan Komnas HAM juga mengungkap bahwa rentetan pembunuhan di beberapa kota di Jawa Timur itu memiliki pola yang memiliki unsur sama. Inilah mengapa Komnas HAM kemudian menyimpulkan kekerasan itu tak hanya didalangi aktor intelektual, tetapi juga merupakan pelanggaran HAM berat. Dalam ringkasan laporannya, pola itu diawali pra-kondisi yaitu meluasnya isu SARA, terutama etnis Cina. Pola lain yang ditemukan adalah setiap kasus selalu melibatkan massa bukan warga lokal.
Ada pula penggunaan tanda serupa seperti panah, silang, dan pemadaman listrik paksa. Tanda silang di rumah orang-orang adalah tanda target pembunuhan. Lainnya, ada penggunaan tanda berupa silang dan panah di rumah-rumah yang menjadi target. Tak kalah pentingnya, unsur sama yang ditemukan Komnas Ham juga terkait isu orang asing yang diduga TNI masuk desa. Dalam hal ini Komnas HAM menemukan fakta lapangan bahwa kemunculan orang-orang yang bukan dari wilayah kejadian, yang terlihat dari bahasanya terjadi sebelum pembunuhan terjadi.
Cukup berbeda dari temuan tim ad hoc Komnas HAM, Tempo yang melakukan investigasinya sendiri menemukan bahwa pembantaian ini justru banyak dilakukan oleh warga setempat. Mereka melakukan pembantaian karena dendam dan keresahan akibat teluh yang kemudian bercampur aduk menjadi semacam pelampiasan kesumat.
Dalam kesaksian seorang buruh tani bernama Sentot dan supir truk bernama Hendrik, Tempo mendapati bahwa keduanya mengaku telah menjagal empat dan dua orang. Orang yang mereka jagal ini menurut kesaksian itu cuma musuh warga. Hal yang sama juga dilakukan Busar, buruh Tani asal Jember ini terang-terangan menyatakan keterlibatannya dalam pembunuhan.
Berbekal informasi dari warga setempat bahwa ada dukun santet di kampungnya, Busar ikut “bertamu” ke rumah korban bersama massa lainnya yang membawa pentungan kayu, bambu, dan batu. Sesampainya di rumah korban, tanpa repot-repot menanyakan kebenaran tuduhan itu mereka langsung menyeret dan membunuh korban dengan sadis.
Baca Juga: 20 Tahun Tragedi Mei 1998, Keluarga Korban Terus Minta Keadilan
Diabaikan Aparat dengan Sengaja?
Terlepas dari perbedaan temuan Komnas HAM dan Tempo, keduanya punya benang merah yang sama. Pembantaian ini tidak akan meluas dan lebih banyak menelan korban jiwa akibat dari tidak adanya atau keterlambatan tindakan dari aparat.
Dalam temuannya, Komnas HAM menyimpulkan aparat sebenarnya sudah mengetahui situasi bahkan telah menerima laporan, tetapi tidak mengambil tindakan atau terlambat. Senada dengan temuan Komnas HAM, penyelidikan Tempo juga menyatakan aparat dinilai lambat bahkan sengaja tidak ingin mengintervensi pembantaian yang dilakukan warga. Menurut beberapa sumber yang berhasil didapatkan Tempo, pengabaian oleh aparat ini dilakukan karena takut menjadi sasaran amukan massa yang jumlahnya tidak sedikit.
“Jangan-jangan malah markas polisi dibakar,” kata salah seorang petugas pada Tempo dalam Banyuwangi Dirundung Isu Dukun Santet Jilid II.
Tak cuma saat kejadian saja, pengabaian aparat terhadap pembantaian dukun santet yang terjadi di Banyuwangi dan sekitarnya merentet sampai pada proses penyelidikan kasus.
Menurut Ketua Tim Kajian Komnas HAM, Muhammad Nurkhoiron, aparat enggan memberikan keterangan apa pun terkait kasus ini. Kepolisian Daerah Jawa Timur yang mereka datangi bahkan secara eksplisit mengungkapkan bahwa tidak sepatutnya kasus ini dibeberkan karena peristiwanya sudah terjadi lama sekali dan bakal menimbulkan luka lama.
Di sisi lain, Komnas HAM juga mendatangi Kodam V Brawijaya. Saat dimintai keterangan, Kodam enggan buka suara dengan alasan data lama seperti kasus pembantaian dukun santet pada 1998-1999 sudah tidak mungkin ditemukan. Dokumen-dokumen yang ada kemungkinan besar musnah atau dimusnahkan.
“Lima tahun saja bisa musnah,” ujar Nurkhoiron mengutip pernyataan yang diperoleh timnya dari pihak Kodam Brawijaya.
Pernyataan dari Kodam Brawijaya tentunya mengecewakan. Ini lantaran menurut Nurkhoiron, seharusnya lembaga negara memiliki arsip meskipun menyangkut data-data lama. Komnas HAM yang juga sebagai lembaga negara seharusnya bisa mengakses data-data tersebut.
Kendala-kendala dalam mengungkapkan fakta ini yang tak ayal membuat tragedi berdarah pembantaian dukun santet tak pernah mendapatkan titik terang apalagi pada 2018, Komnas HAM menyerahkan hasil penyelidikan ini ke Kejaksaan Agung namun hingga saat ini belum ada tindak lanjutnya.
Akibatnya, jelas berdampak pada keluarga korban. Dalam wawancara bersama BBC Indonesia pada 2023 lalu,beberapa keluarga korban pembantaian dukun santet masih harus hidup dengan bayang-bayang stigma sosial. Belum ada lagi laporan terbaru terkait kondisi keluarga korban pembantaian dukun santet. Pemerintah sendiri sampai saat ini belum melakukan penyelesaian yudisial melalui pengadilan HAM ad hoc.
Baca Juga: Catatan Hitam Indonesia dalam Lima Novel Sejarah
Terakhir presiden Jokowi Widodo resmi mengakui dua belas pelanggaran HAM berat di Indonesia, (11/1/23) termasuk Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999. Sayangnya pengakuan ini menurut Daniel Awigra, Executive Director of Indonesia’s Human Rights Working Group (HRWG) dalam dinilai gimmick atau retorika semata.
Sebagai kepala negara dan atasan dari Jaksa Agung, kata Awi pada Magdalene Januari 2023 lalu, Jokowi seharusnya menggunakan kewenangannya untuk langsung mengusut kasus pelanggaran HAM berat secara terang benderang. Bukan kembali menegaskan temuan serta laporan yang sudah dikerjakan oleh Komnas HAM.
Karena itu, sesuai dengan perkataan Beta dalam wawancaranya bersama BBC Indonesia jika memang benar negara punya komitmen mengusut tuntas pelanggaran HAM berat, sudah semestinya Negara berperan aktif dalam memutus “mata rantai dendam” dan “stigmatisasi” kepada keluarga korban dan masyarakat.
“Supaya mereka juga paham dan tidak kembali menjadi korban,” kata Beka. Beka pun menambahkan negara juga harus tegas dan melakukan aksi nyata untuk memulihkan hak-hak korban baik secara ekonomi, sosial, hingga psikologis.