December 17, 2025
Issues Politics & Society Safe Space

Tanpa Gelar Apapun, Marsinah Sudah Jadi Pahlawan Nasional di Hati Kita 

Prabowo bilang, ia akan mendukung Marsinah jadi pahlawan nasional. Namun di balik usulan penghargaan itu, jejak keadilan untuknya masih saja gelap.

  • November 17, 2025
  • 4 min read
  • 1062 Views
Tanpa Gelar Apapun, Marsinah Sudah Jadi Pahlawan Nasional di Hati Kita 

*Peringatan pemicu: Kasus kekerasan seksual dan femisida. 

Tiga puluh dua tahun sudah buruh perempuan, Marsinah, menunggu keadilan. Sejak jenazahnya ditemukan penuh luka penyiksaan berat pada 1993, hingga kini, belum ada satu pun orang yang benar-benar diadili atau bertanggung jawab atas kematiannya.  

Nahasnya, alih-alih menemukan titik terang soal siapa pelaku pembunuhan tersebut, Prabowo–Gibran justru memilih untuk mendorong penyematan gelar pahlawan nasional bagi Marsinah. Menyadur CNN Indonesia, usulan ini disampaikan langsung oleh Prabowo dalam aksi Hari Buruh pada (1/5) lalu. 

“Dan mereka sampaikan, ‘Pak, bagaimana kalau Marsinah jadi pahlawan nasional?’ Asal seluruh pimpinan buruh mewakili kaum buruh sepakat. Saya akan mendukung Marsinah jadi pahlawan nasional,” kata Prabowo. 

Hingga Hari Pahlawan (10/11) tiba, kabar mengenai pemberian gelar ini menuai sorotan publik. Mensos menyebut sedikitnya ada 40 nama yang sudah masuk daftar usulan. Terkait ini, organisasi Perempuan Mahardhika menilai ada kontradiksi besar yang terselip dalam rencana pemberian gelar pahlawan nasional untuk Marsinah. Pasalnya, wacana ini muncul bersamaan dengan penyematan gelar pahlawan nasional bagi Soeharto, pemimpin rezim Orde Baru yang identik dengan represi terhadap gerakan buruh. Bagi mereka, ini bukan sekadar ironi, melainkan penghinaan langsung terhadap sejarah perjuangan buruh perempuan

“Menyandingkan Marsinah dengan Soeharto adalah tindakan yang sangat kontradiktif dan menghina perjuangan buruh perempuan,” kata Mutiara Ika dalam Konferensi Pers Aliansi Perempuan Indonesia (API): Tolak Gelar Pahlawan untuk Soeharto. Usut Tuntas Kejahatan HAM Orde Baru (2/10) lalu.  

Baca juga: Anak Muda Melawan Lupa: Gelar Pahlawan Soeharto adalah Penghinaan pada Korban 

Upaya Cuci Tangan Rezim sampai Manipulasi Politik 

Lebih jauh soal kontradiksi pemberian gelar pahlawan nasional bagi Marsinah, Mutiara menyebut ada upaya cuci tangan pemerintah atas kekejaman rezim orde baru terhadap buruh perempuan. 

Menurutnya, rezim sekarang bak sedang mencuci dosa mereka dengan upaya manipulasi yang berbahaya. Pemberian gelar pahlawan bagi Marsinah akan dilihat sebagai upaya final dalam penuntasan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang terjadi pada 1993 itu. 

“Ini seperti upaya cuci tangan dan manipulasi rezim Prabowo. Mereka seakan-akan mencuci dosa-dosanya agar terlihat menghargai jasa Marsinah. Ini sangat manipulatif, terlebih mereka menyandingkan Marsinah dengan pemimpin rezim yang menyebabkan kematiannya, Soeharto,” jelas Mutiara.  

Selaras dengan Mutiara, Dian Septi, Pemimpin Umum Marsinah.id, juga berpendapat serupa. Menurutnya, langkah pemerintah dalam memberikan gelar pahlawan bagi Marsinah sangatlah absurd lantaran tidak dibarengi dengan penuntasan kasusnya yang jelas. Tindakan ini juga sarat akan kepentingan politik dan manipulasi sejarah. 

“Tuntaskan dulu kasus HAM-nya. Tangkap pelakunya, baru kita bisa tentukan siapa yang sebenarnya pahlawan. Lagipula, kita juga jadi berpikir, dengan menjadikan Marsinah pahlawan nasional, ada kepentingan apa? Yang membungkam Marsinah kan Orde Baru. Lalu menyandingkan Marsinah dengan Soeharto ini betul-betul tindakan yang aneh,” imbuh Dian. 

Marsinah sendiri ditemukan meregang nyawa setelah melakukan serangkaian aksi melawan PT Catur Putera Surya (CPS), pabrik arloji di Siring, Porong, Jawa Timur. Dari tulisan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang bertajuk “Marsinah: Campur Tangan Militer dan Politik Perburuhan Indonesia” (1999), kala itu Marsinah dan kawan-kawan buruh lainnya berjuang untuk kenaikkan upah yang telah ditetapkan oleh pemerintah.  

Setelah beberapa hari melakukan mogok kerja, beberapa kawan Marsinah sempat dipanggil terlebih dahulu oleh Kapten Sugeng, Pasi Intel Makodim 0816 Sidoarjo pada (4/5) 1993. Barulah di 5 Mei 1993 Marsinah hilang tanpa jejak, dan ditemukan kembali pada 8 Mei 1993 dengan luka penganiayaan berat, termasuk di sekitar area kemaluannya. 

Baca juga: #(Re)formasi1998: Penobatan Soeharto Jadi Pahlawan Ancam Gerakan Perempuan 

Marsinah Sudah Jadi Pahlawan untuk Kita Semua 

Dalam kesempatan itu, Ajeng Pangesti, Komite Nasional Perempuan Mahardhika bilang, Marsinah sejatinya sudah jadi pahlawan untuk kita semua. Untuk itu selain melegitimasi gelar pahlawan untuknya, penuntasan kasus harus jadi prioritas yang lebih utama bagi pemerintah. 

“Setelah kematiannya dia sudah menjadi pahlawan di hati para buruh karena keberaniannya menuntut hak-hak buruh. Tetapi yang lebih penting daripada itu adalah penuntasan kasus pembunuhan Marsinah dan penangkapan pelakunya. Agar kematian Marsinah tidak hanya jadi pengingat bahwa buruh harus berani menuntut hak, tetapi juga pengingat bahwa tidak akan ada pembunuhan yang dapat lolos dari hukuman,” terang Ajeng.  

Lagipula, harus ada alasan yang jelas dan rinci apabila Kementerian Sosial ingin benar-benar memberikan gelar pahlawan terhadap seseorang, kata Ajeng.  

“Gelar pahlawan bukanlah alat politik pemerintah. Mereka harus benar-benar dan clear melihat sejarah dan tidak perlu buru-buru mengerjakan soal gelar pahlawan ini,” tutup Ajeng.  

About Author

Syifa Maulida

Syifa adalah lulusan Psikologi dan Kajian Gender UI yang punya ketertarikan pada isu gender dan kesehatan mental. Suka ngopi terutama iced coffee latte (tanpa gula).