Diresmikan Juli ini, Apakah Kita Benar-benar Butuh Sekolah Rakyat?

Dunia pendidikan Indonesia tengah kedatangan konsep sekolah baru. Medio Juli 2025 nanti, Sekolah Rakyat besutan Kementerian Sosial kabarnya akan diresmikan oleh Presiden Indonesia Prabowo Subianto.
Hal tersebut disampaikan secara langsung oleh Agus Jabo Priyono, Wakil Menteri Sosial. Dari laman resmi Kementerian Sosial, Agus bilang pemerintah optimis ini bisa jadi jalan keluar kebutuhan pendidikan Indonesia.
“Yang lebih penting lagi (adalah) membangun harapan, semangat baru bagi orang-orang miskin yang selama ini tidak bisa membayangkan anaknya bisa sekolah dan dia diberdayakan,” ujar Agus.
Sekolah Rakyat sendiri berkonsep sekolah asrama yang ditujukan untuk anak dari kelompok keluarga miskin sampai miskin ekstrem. Menyadur laman resminya, sekolah ini punya visi untuk mencetak agen perubahan pada setiap keluarga miskin melalui pendidikan berkualitas. Rencananya, sekolah ini akan didirikan di 100 titik lokasi. Mulai dari Sumatera sampai Maluku, terdapat beberapa titik yang sudah dipastikan dan 47 lainnya masih dalam tahap survei.
Masalahnya, sejumlah pihak justru menilai Sekolah Rakyat berpotensi mendatangkan masalah baru. Seperti yang diungkapkan oleh Ubaid Matraji, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia, Sekolah Rakyat berpotensi menghambat proses pemerataan pendidikan di Indonesia.
“Kita sudah memiliki banyak sekolah yang bisa dimanfaatkan. Anggaran negara bisa digunakan untuk memperbaiki kualitasnya, bukan untuk membangun sekolah baru yang hanya akan menciptakan pemisahan,” ungkap Ubaid kepada DW Indonesia.
Retno Listyarti, Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) juga punya pandangan yang sama. Merespons peresmian Sekolah Rakyat yang akan dilangsungkan, Retno menjelaskan beberapa persoalan yang bisa timbul dari hadirnya Sekolah Rakyat. Mulai dari ketimpangan kualitas pendidikan sampai potensi munculnya stigma.
Baca juga: Obsesi pada Pendidikan Anak, KDM Perlu Belajar dari Ki Hadjar Dewantara
Perbaikan Kualitas Pendidikan Indonesia Kian Jadi Angan-Angan
Ketika mendalami persoalan Sekolah Rakyat, Retno berpendapat upaya pembangunan sekolah ini berpotensi menimbulkan kekacauan sistem pendidikan. Bukan tanpa alasan, Retno bilang, ketika nanti sudah benar-benar hadir, pengelolaan Sekolah Rakyat berpotensi tumpang tindih dengan sistem sekolah yang sudah ada.
Lebih dari itu, ia menyoroti pendekatan kebijakan yang dianggap serba cepat dan tanpa dasar kajian yang kuat.
“Sekolah rakyat ini seperti solusi instan tanpa kajian atau uji coba dulu. Pemilihan daerahnya juga perlu dikaji dulu. Di jenjang yang mana seharusnya dilakukan. Itu dulu yang seharusnya dilakukan.”
Retno juga menambahkan keberadaan sekolah ini berpotensi memunculkan fragmentasi dalam kualitas pendidikan. Ia menilai, sekolah negeri seharusnya menjadi standar layanan pendidikan bagi semua kelompok sosial. Namun, kenyataannya, banyak sekolah negeri justru masih tertinggal dalam hal kualitas, sehingga jika tidak diperbaiki, kehadiran Sekolah Rakyat hanya akan memperlebar jurang ketimpangan.
“Harusnya memastikan dulu kalau sekolah-sekolah negeri yang ada tuh bisa mendidik anak dari latar belakang ekonomi manapun secara baik,” kata Retno.
Baca juga: Anggaran Pendidikan dan Riset Dibabat Habis, Mimpi Negara Maju Cuma ‘Omon-omon’
Berpotensi Memunculkan Stigma Baru
Tidak hanya menghambat realisasi peningkatan kualitas pendidikan, Retno menjelaskan bahwa Sekolah Rakyat juga berpotensi memberikan dampak buruk pada anak. Salah satu penyebabnya adalah kemunculan stigma baru dari sekolah, khususnya untuk anak dari keluarga miskin.
Dampaknya serius, lantaran bisa mengganggu perkembangan anak. “Anak-anak yang nanti lulus bisa terstigma sebagai anak miskin. Nantinya stigma kemiskinan tersebut bisa sangat melekat dan memengaruhi tumbuh kembang.”
Secara historis, konsep Sekolah Rakyat ini mengingatkan pada model pendidikan era kolonial, Volkschool. Dalam riset bertajuk “Sejarah Pendidikan Sekolah Rakyat (Volkschool) pada Masa Kolonial Belanda di Aceh” (2022), disebutkan bahwa Volkschool juga ditujukan untuk anak-anak dari kelas ekonomi bawah, dengan kurikulum yang berbeda dari sekolah umum.
Kekhawatiran serupa juga disampaikan Ubaid Matraji. Ia menilai pemisahan sistem pendidikan berdasarkan status ekonomi bisa membuat kelompok marjinal semakin terpinggirkan.
“Anak-anak dari keluarga miskin akan merasa terkucilkan dan dipandang sebagai warga kelas tiga,” kata Ubaid kepada DW Indonesia.
Baca juga: Sudahkah Pendidikan Kita Pulih dari ‘Learning Loss’ Pasca-Pandemi?
Lantas, Apakah Indonesia Butuh Sekolah Rakyat?
Menimbang berbagai aspek, Retno menyimpulkan Sekolah Rakyat bukanlah jawaban atas kebutuhan sistem pendidikan Indonesia saat ini. Ia menekankan tantangan utama pendidikan nasional masih berkutat pada keterbatasan dana dan akses, bahkan di sekolah-sekolah yang sudah ada.
“Pada dasarnya kan dana yang sudah ada sekarang itu digunakan juga untuk sekolah-sekolah lain seperti sekolah kedinasan. APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dan BOS (Bantuan Operasional Sekolah) ini sudah sedikit. Kalau kemudian harus berbagi dengan Sekolah Rakyat, bagaimana? Selama ini saja kurang.”
Alih-alih membangun sekolah baru dengan sistem berbeda, Retno menilai pemerintah seharusnya memperbanyak sekolah negeri, menjadikannya gratis, dan memastikan kualitasnya merata di seluruh wilayah.
“Yang seharusnya dilakukan itu sekolah negeri yang diperbanyak dan sekolah digratiskan di seluruh daerah. Kalau ada kecamatan atau kelurahan yang enggak punya ya didirikan di situ. Itu yang sebetulnya dibutuhkan.”
Untuk menjangkau anak-anak dari keluarga miskin, Retno menyarankan agar pemerintah lebih fokus pada perluasan akses beasiswa dan bantuan pendidikan. Dengan cara ini, mereka bisa tetap bersekolah di institusi umum dengan dukungan finansial yang memadai.
“Pembiayaannya harus dari negara. KIP (Kartu Indonesia Pintar) dan PIP (Program Indonesia Pintar) yang seharusnya diperbesar terutama untuk anak-anak dari keluarga tidak mampu. Ini yang bisa membantu mereka untuk bayar biaya operasional, bisa tetap sekolah, dan berkegiatan,” pungkas Retno.
