Pengakuan AF Sebagai Penyintas Pemerkosaan dan Rasa Kasihan
Rasa kasihan bukanlah hal yang melulu diinginkan oleh penyintas dari orang-orang yang mendengarkannya.
Beberapa hari ini tersiar kabar dari media sosial tentang pengakuan seorang penyintas pemerkosaan di Bintaro lewat akun Instagramnya. Dalam unggahan tanggal 7 Agustus lalu, ia memperlihatkan beberapa gambar, di antaranya sebuah tangkapan kamera pengawas yang memperlihatkan sesosok laki-laki yang tengah berlari di area perumahan, beberapa kutipan chat dari laki-laki tersebut, serta foto wajah tertuduh.
Tragedi yang menimpa AF dikisahkannya terjadi setahun silam. RI, laki-laki yang disebutnya sebagai si pemerkosa adalah sosok asing bagi AF dan masuk ke rumahnya tanpa ia ketahui. Kala itu, orang tua RI sedang keluar bekerja dan AF merasa ada orang yang membangunkannya saat ia tertidur. Penasaran dengan yang membangunkannya, ia mengikuti sosok yang baru saja keluar kamarnya sampai ke kamar lain.
Di sana, RI bersembunyi dan tiba-tiba memukuli AF dengan benda logam hingga kepalanya berdarah dan hampir pingsan.
“I saw he was holding a knife and I was pleading him not to kill me, he told me to stay quiet and proceeded to sexually assault me (yes, the r word). What could I have done? I had no weapon, no self defense and could barely get up from the blood I lost,” tulis AF.
Selepas mengalami pemerkosaan, AF terus diteror oleh RI. Mulanya RI meminta maaf karena melukai kepala AF, tetapi kemudian ia berubah 180 derajat dengan mengirim chat-chat tidak pantas. Ia juga mengingatkan AF bahwa ia sudah membiarkan AF hidup sehingga seharusnya AF berterima kasih kepadanya.
AF sempat melapor ke pihak berwajib atas kejadian yang menimpanya. Namun, usaha AF untuk mendapat keadilan tersandung di kepolisian sebagaimana dinyatakannya di caption, “I would not have done this if the police would have taken action, but by law I do not have enough evidence to put this fucker into jail so all I can do is expose him.”
Baca juga: Dengar dan Percayai Suara Penyintas Pemerkosaan
Setelah mengunggah ceritanya, banyak orang menunjukkan simpati kepada AF, termasuk sejumlah pesohor dunia perfilman. Tidak hanya di media sosial, cerita AF pun dimuat di sejumlah media daring.
Dalam perkembangan terakhir, polisi akhirnya menangkap RI yang kini masih berstatus terduga pelaku. Dilansir KompasTV, RI ditangkap di kediamannya di daerah Pondok Aren, Tangerang Selatan. Polisi tidak langsung mengamankan dan menginterogasi RI, tetapi melakukan pengembangan fakta-fakta lain lebih dulu untuk memperkuat bukti yang sudah ada.
Bereaksi terhadap kisah pemerkosaan
Bukan perkara gampang bagi penyintas pemerkosaan seperti AF untuk buka suara, apalagi di depan publik luas. Banyak faktor yang mungkin muncul sehingga cukup lama bagi mereka untuk bisa bercerita, mulai dari rasa takut dan belum siap membuka trauma, risiko berhadapan dengan orang-orang yang menyalahkan penyintas dan menganggap mereka sekadar cari perhatian atau bahkan memfitnah, serta cap negatif yang dilekatkan kepada penyintas perkosaan. Seolah-olah identitas mereka yang lain terkesampingkan dan sebagian orang hanya berfokus pada dirinya sebagai orang yang pernah diperkosa.
Kebuntuan dalam mencari keadilan secara hukumlah yang membuat AF akhirnya melampaui kekhawatiran-kekhawatiran tadi. Setelah sempat dianggap tidak memiliki cukup bukti, ceritanya yang menyebar di dunia digital memicu proses lebih lanjut atas kasus pemerkosaan yang AF alami setahun lalu, meski kita juga belum tahu seperti apa ujungnya nanti.
Selain kritik terhadap penegakan keadilan bagi penyintas pemerkosaan, ada hal lain yang saya amati dari kisah AF ini. Di media sosialnya, sesudah ia bercerita kronologi pemerkosaan dan mendapat banyak respons dari orang-orang, AF menyatakan di kolom komentar.
Baca juga: Akhiri Budaya Pemerkosaan di Indonesia
“Please do not start bombarding me with pity, that’s not why I posted this. Neither do I expect this guy to be found, I just want to expose him and the hole in our law system.”
Rasa iba adalah hal yang sangat lumrah muncul ketika kita mendengar kemalangan seseorang. Tetapi, banjir rasa kasihan bisa saja membuat orang luput membaca pesan sebenarnya yang ingin disampaikan penyintas seperti pengalaman AF ini. Memang benar, ia masih dihantui trauma sampai hari ini. Namun, ia ingin masyarakat memberi porsi perhatian yang sama terhadap masalah sistem hukum di negara ini yang bisa menyandung penyintas-penyintas seperti dirinya dalam mencari keadilan.
Reaksi simpati memang tak bisa dihindarkan dan bukan sepenuhnya sesuatu yang jelek, tetapi alangkah baiknya bila kita mendengarkan apa yang hendak dituju penyintas saat menceritakan kisahnya.
Saya lantas membayangkan, mungkin di kasus-kasus pemerkosaan lain, ada pendengar cerita yang serta merta menyuruh mereka segera melapor ke lembaga advokasi atau polisi begitu mereka pertama kali buka suara. Padahal, belum tentu mereka semua siap untuk melakukannya.
Bercerita tentang tragedi pemerkosaan saja sudah begitu melelahkan dan bisa membuat orang kembali emosional, apalagi harus memproses secara hukum langsung, yang artinya mereka ulang kejadian pahit yang sangat tidak diinginkan. Ini adalah salah satu alasan yang saya dengar tiga tahun lalu dari wawancara dengan salah satu advokat yang membantu pengurusan kasus penyintas perkosaan.
Di sisi lain, semakin orang dikasihani, semakin mungkin ia merasa dirinya kecil dan malang. Sementara dalam sejumlah cerita penyintas pemerkosaan seperti AF, bukan itu yang mereka inginkan terjadi. Iya benar, trauma berkepanjangan masih menghantui mereka. Tetapi langkah mereka untuk bercerita seyogianya dipandang sebagai suatu upaya bangkit alih-alih menjadikan diri objek rasa kasihan orang-orang.
Baca juga: 93 Persen Penyintas Tak Laporkan Pemerkosaan yang Dialami: Survei
Saya menilai, mereka ingin dipandang sebagai penyintas, bukan korban. Ini adalah dua hal berbeda yang saya sadari setelah mengobrol dengan seorang psikolog ketika mewawancarainya terkait kasus kekerasan. Semakin orang merasa diri korban, semakin lama ia berkubang dengan rasa sedih, rasa diri kecil tak berdaya, sementara penyintas tidak seperti itu.
Ada mental pejuang dalam diri penyintas-penyintas. Perjuangan untuk menghadapi kenyataan pahit yang tidak terelakkan, perjuangan untuk memulihkan diri, selagi mengumpulkan kekuatan untuk mencari keadilan. Dan sebagaimana perjuangan lain, perjuangan ini pun layak didukung, disemangati, seperti terlihat dalam beberapa respons warganet lain terhadap cerita AF alih-alih mengasihaninya.
Pentingnya untuk mendengarkan baik-baik cerita penyintas sebelum bereaksi, baik lewat komentar maupun aksi-aksi lain, adalah menyediakan ruang baginya untuk meluapkan ganjalan besar dalam dirinya. Menurut saya ini hal besar yang dibutuhkan penyintas yang sekian lama memendam ceritanya tanpa harus diinterupsi dulu dengan macam-macam.
Dalam kasus penyintas pemerkosaan lain, reaksi langsung terhadap cerita mereka berupa penyalahan penyintas malah akan memukul mundur mereka untuk memproses, baik emosi negatif yang berkecamuk maupun hukum untuk mendapatkan keadilan bagi diri sendiri. Tentu ini tidak bisa menjadi solusi sehingga kembali lagi, mendengarkan menjadi kemampuan yang wajib diasah saat menghadapi kisah mereka.
Dari berbagai reaksi terhadap kasus AF, saya kira reaksi sutradara Nia Dinata bisa kita lirik. Dalam akun Instagramnya, Nia memberikan berbagai pengingat: Bahwa para penyintas kekerasan seksual tidak sendiri dan mereka tidak pantas mendapat pengalaman pahit itu; bahwa sistem [hukum] kita buruk karena kekerasan terus terjadi; bahwa kita perlu bekerja sama untuk mencari keadilan bagi anak-anak, perempuan, laki-laki, dan seluruh manusia.