December 5, 2025
Issues Opini

Menjaga dalam Sunyi: Suara Seorang ‘Caregiver’ Disabilitas Psikososial

Dalam dunia kesehatan mental, ada para ‘caregiver’ yang hadir sebagai penjaga kehidupan, sambil diam-diam menanggung trauma, ketakutan, dan kesepian yang jarang dibicarakan.

  • September 21, 2025
  • 5 min read
  • 1763 Views
Menjaga dalam Sunyi: Suara Seorang ‘Caregiver’ Disabilitas Psikososial

Setiap tanggal 10 September, dunia memperingati Hari Pencegahan Bunuh Diri. Data dari Pusat Informasi Kriminal Nasional menunjukkan bahwa hingga September 2024, Kepolisian telah menangani 988 kasus bunuh diri di seluruh Indonesia. Tapi angka ini jelas bukan cerminan utuh dari kenyataan.

Stigma bahwa bunuh diri adalah aib dan dosa membuat banyak keluarga enggan melaporkan kematian akibat tindakan ini. Di balik angka-angka yang muncul maupun yang tersembunyi, ada individu-individu yang jarang disorot dan dijangkau oleh pemulihan. Mereka adalah para caregiver.

Caregiver adalah pilar yang nyaris tak terdengar suaranya, meski perannya sangat vital. Mereka hidup berdampingan dengan orang-orang terdekat yang memiliki isu kesehatan mental, termasuk kecenderungan bunuh diri. Kami, para caregiver, hidup dengan satu pertanyaan yang terus mengendap dalam benak: apakah orang yang kami cintai akan tetap hidup esok hari?

Baca juga: Perjalanan Dita Yolashasanti Sebagai ‘Caregiver’: Kebahagiaan Kita Perlu Diprioritaskan

Menurut Cambridge, caregiver adalah seseorang yang merawat individu muda, lansia, sakit, atau difabel, baik sebagai anggota keluarga, teman, maupun tenaga profesional. Dalam konteks disabilitas psikososial, caregiver adalah mereka yang memberikan dukungan emosional, fisik, dan mental secara menyeluruh. Biasanya, ini dilakukan oleh keluarga atau orang terdekat, sering kali tanpa bayaran, dan tanpa pelatihan yang memadai.

Aku adalah salah satu dari mereka. Aku menjadi caregiver bagi pasanganku yang hidup dengan bipolar dan skizofrenia, ditambah sejumlah kondisi fisik, termasuk malnutrisi parah. Di masa-masa awal kami bersama, keinginan untuk mengakhiri hidupnya sangat besar, terutama saat fase depresif berlangsung lama. Ini adalah tantangan besar, terlebih karena aku sendiri punya riwayat panjang keinginan melukai diri, percobaan bunuh diri, dan PTSD (kelainan stres pasca-trauma).

Pada fase awal, aku tenggelam dalam kebingungan, kesepian, dan perasaan tak berdaya. Meskipun aku punya pengalaman sebagai konselor, aku tetap merasa gamang. Tapi pengetahuan itu sedikit banyak membantuku untuk lebih jeli membaca ekspresi wajahnya, perubahan nada bicara, atau isyarat-isyarat kecil lainnya.

Aku belajar mengenali saat ia terpicu (triggered), saat ia dalam kondisi netral, atau ketika ia mulai tenggelam. Aku menghafal kisah-kisah traumatis yang pernah ia bagi, dan aku berjaga jika tanggal-tanggal penting atau orang-orang tertentu berpotensi membangkitkan traumanya.

Baca juga: Dari Dapur ke Anggaran Negara: 30% untuk Kerja Perawatan dan Kehidupan Layak

Menjadi caregiver tidaklah mudah. Ini pekerjaan yang melelahkan secara emosional dan fisik. Setiap hari seperti hidup dalam mode siaga dan bersiap atas segala kemungkinan. Hal ini menguras tenaga dan menimbulkan rasa frustrasi. Sayangnya, tak ada ruang aman untuk berbagi beban.

Komunitas yang tersedia biasanya ditujukan bagi penyintas disabilitas psikososial, bukan untuk caregiver-nya. Padahal kami juga butuh tempat untuk menangis, untuk bicara tanpa harus membuat orang yang kami rawat merasa bersalah.

Lalu, terjadi satu peristiwa yang mengubah segalanya. Pasanganku mencoba mengakhiri hidupnya. Aku tidak tahu penyebabnya. Aku merasa gagal. Pertanyaan “apa yang tak kulihat?”, “apa yang kulewatkan?”, berputar terus di kepala. Aku menyalahkan diriku, dan nyaris kembali pada kebiasaan lama menyakiti diri.

Selama berbulan-bulan setelahnya, aku tak sanggup mendengar apa pun yang berkaitan dengan bunuh diri. Dalam satu pertemuan, ketika seseorang menceritakan kabar seorang rekan mereka yang bunuh diri karena keputusasaan, aku tiba-tiba berteriak. Sebagai konselor, aku menolak menangani konseling apa pun yang berkaitan dengan topik tersebut.

Periode itu sangat berat. Aku menjaga pasangan dengan usaha berkali lipat karena tak ingin kecolongan lagi. Aku mulai lebih serius mengurus gizinya agar fisiknya membaik. Tapi di balik itu semua, aku menangis diam-diam ratusan kali. Meski begitu, tak pernah sekali pun terlintas keinginan untuk berhenti merawatnya.

Pada titik tertentu, aku sadar bahwa yang perlu kutenangkan terlebih dahulu adalah diriku sendiri. Aku percaya bahwa energi bisa menular. Maka, alih-alih sibuk menenangkan orang lain, aku belajar mengelola rasa takutku sendiri. Aku mulai jujur soal kecemasanku dan kondisi mentalku, dan menyampaikannya kepadanya. Untungnya, ia mampu menerima dengan baik. Tentu semua ini bukan resep mujarab. Tak ada jaminan keinginan bunuh diri akan hilang. Namun setidaknya, kami mulai membangun ruang bersama yang lebih jujur dan lebih manusiawi.

Baca juga: Saya Pasien Borderpolar dan Menulis adalah Sebuah Katarsis

Pengalamanku jelas tak bisa mewakili semua caregiver. Banyak dari mereka yang merawat lebih dari satu orang, atau menghadapi tantangan yang lebih berat. Tapi satu hal yang sama: kami sering kali tak terlihat. Diskursus kesehatan mental jarang menempatkan caregiver sebagai subjek yang juga butuh perhatian. Padahal kami bagian dari sistem perawatan itu sendiri.

Lebih parahnya lagi, disabilitas psikososial pun masih sering dipinggirkan karena dianggap “tidak kelihatan.” Caregiver-nya pun demikian, apalagi bila mereka perempuan. Pekerjaan pengasuhan dianggap tidak produktif, dan karena itu kebutuhan dan hak-haknya kerap diabaikan. Kesepian, terisolasi, kehilangan waktu dan ruang untuk diri sendiri—semuanya berdampak pada kesehatan mental kami sendiri, yang bila dibiarkan bisa berkembang menjadi disabilitas baru.

Pengalamanku hanyalah satu cerita dari banyak suara yang terlupakan. Tapi semoga ini bisa menjadi pengingat bahwa caregiver juga butuh dukungan. Kita tidak bisa terus membangun sistem kesehatan mental yang kuat sambil mengabaikan orang-orang yang menjaga agar sistem itu tetap berdetak. Memberi ruang, membangun komunitas, menyediakan akses—semuanya penting bukan hanya untuk para penyintas, tapi juga bagi mereka yang merawat.

Karena dengan menjaga para penjaga, kita tidak hanya menolong mereka, tapi juga turut memperkuat seluruh ekosistem perawatan kesehatan mental.

About Author

Mia Olivia

Mia adalah seorang konselor, pendamping korban, dan konsultan untuk program dan community development. A non binary person and a single parent.