Pengalaman Ketika Menjadi Objek Pornografi di Twitter
Salah satu jalan keluar ketika kejahatan terjadi di depan mata adalah melaporkan ke pihak yang berwenang. Di dalam hal kecil pada kehidupan masyarakat pun, sistem adu-mengadu sering terjadi. Tahun 2020, foto saya dimuat di salah satu akun Twitter pornografi. Di tahun 2023, saya baru berani mengadukan akun tersebut. Mengapa butuh tiga tahun untuk mengadukan kejahatan […]
Salah satu jalan keluar ketika kejahatan terjadi di depan mata adalah melaporkan ke pihak yang berwenang. Di dalam hal kecil pada kehidupan masyarakat pun, sistem adu-mengadu sering terjadi. Tahun 2020, foto saya dimuat di salah satu akun Twitter pornografi. Di tahun 2023, saya baru berani mengadukan akun tersebut. Mengapa butuh tiga tahun untuk mengadukan kejahatan tersebut?
Saya termasuk di dalam salah satu perempuan yang tersandung kasus konten pornografi. Padahal, saya tidak pernah membuat konten dan menyebarkan konten kepada siapapun. Di tahun 2020, ketika masa studi saya sebagai mahasiswa hampir mencapai garis finish, tiba-tiba teman yang memiliki akun Twitter menceritakan bahwa ada foto saya di akun Twitter pornografi. Saya segera membuka link yang dibagikan oleh teman saya. Tentu saja, saya terkejut melihat empat foto yang berada dalam satu tweet, dimana salah satunya adalah foto wajah saya di real-life yang pernah saya post di akun Twitter pribadi saya. Deskripsi dari tweet tersebut adalah foto saya, kemudian di sampingnya terdapat dua gambar nudes (telanjang) yang bukan merupakan foto saya, dan video yang menunjukkan bahwa pemilik tubuh tersebut sedang melakukan aktivitas seksual dengan lawan jenis. Wajah dari individu yang melakukan aktivitas seksual tersebut tidak diperlihatkan. Tetapi, foto saya di real-life yang pernah saya post di media sosial, bersebelahan dengan post tentang tubuh telanjang, dan berakhir dengan post video hubungan seksual. Tentu saja hal itu dapat membangkitkan persepsi para audiens yang melihat tweet tersebut, bahwa saya adalah pemilik tubuh nudes dan individu yang melakukan aktivitas seksual tersebut.
Hal pertama yang terjadi adalah tubuh saya lemas. Saya pun menangis. Ketika teman saya memberitahu hal tersebut, post yang berisi foto saya, foto nudes, dan video porno tersebut telah menuai ratusan likes. Artinya, sudah ratusan yang menonton dan sudah ratusan yang melihat foto saya dan menila bahwa saya yang melakukan aktivitas seksual tersebut. Saat itu, saya benar-benar khawatir kalau institusi pendidikan tempat saya berkuliah akan melihat dan mempermasalahkan tesis serta kelulusan saya. Pun dengan pekerjaan-pekerjaan yang menanti setelah saya lulus kuliah nanti. Hal fatal lain yang membuat saya ketakutan adalah hukuman sosial yang akan diberikan oleh teman-teman saya dalam lingkungan sehari-hari.
Satu hari sudah berlalu dan saya belum melakukan tindakan apa-apa karena bingung. Tangan saya gemetar ketika menggunakan ponsel, terutama untuk membuka aplikasi Twitter. Setelah saya memberanikan diri, hari itu saya kembali mengecek link yang dibagi oleh teman saya. Post tentang foto saya, foto nudes, dan video porno tersebut ternyata masih ada. Tindakan pertama yang saya lakukan adalah melakukan direct messages kepada pemilik akun tersebut. Saya berkata dengan nada sopan, bahwa saya adalah pemilik foto real-life tersebut, tetapi foto nudes dan video pornografi tersebut bukan foto dan video saya. Saya meminta agar tweet tersebut dihapus, karena tweet tersebut akan mengancam masa depan saya. Di akhir percakapan, saya mengancam akan melaporkan tindakan dari pemilik akun tersebut ke polisi jika foto saya masih ada.
Pemilik akun tersebut tidak menjawab. Ia pun menghapus foto saya beberapa jam kemudian, setelah pesan saya berubah status dari sent menjadi seen. Saya pikir, setelah foto tersebut dihapus, maka saya akan merasa lega dan masalah sudah clear. Rupanya tidak sama sekali. Di tengah malam, hal yang terjadi pada diri saya adalah menangis terlebih dahulu. Saya benci dengan diri saya sendiri. Mengapa saya harus post foto saya di media sosial, sehingga disalahgunakan oleh pemilik akun seperti itu? Padahal, mempublikasikan foto di media sosial adalah wujud dari self-love di dalam diri saya. Saya pun tidak pernah mengunggah foto-foto pribadi yang mengandung unsur pornografi, karena foto-foto saya selalu mengenakan pakaian yang sopan dan tidak terbuka. Objek yang diambil pun sebagian besar berlokasi d mall dan universitas, dimana konten-konten saya di media sosial kerap berhubungan dengan kegiatan mahasiswa akhir di universitas. Di sini, saya menyadari betapa kejamnya dunia internet ini. Post yang menurut saya hanya ‘receh’, ternyata disalahgunakan oleh akun pornografi. Hal itu yang menyebabkan saya tutup akun media sosial dan tidak lagi berinteraksi dengan media sosial sejak akhir tahun 2020.
Di tahun 2023 ini, dimana peristiwa itu sudah melewati hampir tiga tahun, saya pun membuat akun Twitter dengan nama pribadi lagi. Hal ini menunjukkan bahwa saya membutuhkan hampir tiga tahun untuk ‘menyembuhkan diri’ dari peristiwa di akhir tahun 2020 itu, karena peristiwa tersebut masih terekam jelas di kepala saya selama ini. Setelah menggunakan Twitter dan berteman dengan beberapa orang yang membangun positive vibes di dalam dunia maya, saya pun memberanikan diri untuk menengok akun pornografi yang pernah mempublikasikan foto saya. Akun tersebut masih ada, bahkan followers semakin meningkat. Pemilik dari akun tersebut pun mengajak orang-orang untuk mempublikasikan foto-foto nudes perempuan-perempuan di akun tersebut. Kalimat persuasifnya seperti, “Ada yang punya video perempuan nudes tidak?”, atau “Admin punya video cewek toge SMA loh, mau lihat nggak? Likes dan retweet post ini dulu”.
Hal yang membuat dada saya semakin nyeri adalah sambutan dari kolom replies, dimana warganet menyambut positif kalimat persuasif tersebut. Lebih miris lagi, ternyata akun yang mempublikasikan tentang foto nudes perempuan dan wajah dari perempuan tersebut tidak hanya satu akun, tetapi cukup menjamur di Twitter. Di bulan Maret 2023 ini juga, saya melihat post di Tiktok mengenai 17 perempuan yang wajahnya dipublikasikan di dalam akun pornografi oleh rekan kerjanya, padahal para perempuan itu tidak terlibat di akun pornografi. Pelaku pun dipecat dari pekerjaannya, tetapi ia tidak berhenti melakukan tindakan tersebut.
Sebagai perempuan yang pernah terlibat dalam masalah tersebut, saya khawatir tentang kondisi perempuan-perempuan yang fotonya dimuat di akun Twitter pornografi tersebut. Mungkin mereka tidak menyadari bahwa mereka menjadi salah satu objek untuk memuaskan hasrat di media sosial. Lagi-lagi, perempuan memiliki posisi sebagai objek untuk kepentingan laki-laki di media sosial sekalipun. Benar ucapan teman saya, “Perempuan itu, diam pun tetap menjadi objek. Makanya, harus bergerak supaya menjadi subjek”. Maka, hari ini, saya memutuskan untuk mulai berani mengadukan akun-akun tersebut kepada Komnas Perempuan dan aduankonten.id, dan mengajak perempuan di Indonesia untuk berani melakukan tindakan tersebut. Harapannya, aduan akan diberikan respon dan berdampak positif untuk para perempuan di Indonesia.