Issues Politics & Society

Kenapa Stunting Adalah Isu Gender?

Indonesia masih punya PR menurunkan prevalensi stunting, tapi butuh usaha ekstra.

Avatar
  • February 2, 2023
  • 7 min read
  • 811 Views
Kenapa Stunting Adalah Isu Gender?

Media sosial beberapa hari ini dihebohkan dengan unggahan TikTok seorang perempuan bernama Adinda Yana. Perempuan pemilik akun @kayess9 terlihat menyeduh minuman kopi instan dan menyuapkannya kepada bayi berumur tujuh bulan menggunakan sendok. Ini ia lakukan karena menurutnya kopi instan mengandung kopi dan bisa jadi pengganti kental manis yang selama ini ia berikan kepada anaknya.

Baca Juga: ‘Restorative Justice’ dalam Pemerkosaan Anak Papua: Tak Sama dengan Jalur Damai

 

 

“Bayi minum kopi Good Day kan ada susunya, daripada dikasih susu (kental manis) Frisian Flag katanya nda ada susunya. Kemarin-kemarin bayi BAB 10 kali sehari, sejak minum susu kopi sekarang dia BAB sembilan kali sehari,” tulis Adinda di videonya.

Dilansir dari Republika, sebelum mengungah video ini Adinda sempat curhat dalam beberapa video tentang keadaan ekonominya. Ia ditinggal suaminya dan kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari, apalagi memenuhi asupan gizi putranya.

Sejak usia setengah bulan, sang bayi minum air susu ibu (ASI) dibantu susu formula merek tertentu karena ASI Adinda tidak lancar. Menginjak usia Azkayas empat bulan, Adinda mengaku beralih member bayinya kental manis, lantaran kesulitan menemukan sufor dalam kemasan kecil yang terjangkau.

Kasus ini bukan pertama kali. Pada 2019, masyarakat Indonesia sempat dihebohkan dengan kasus serupa. Saat itu terungkap bayi berinisial HH berusia 14 bulan dari Polewali Mandar, Sulawesi Barat diberikan minuman kopi sejak usia enam bulan orang orang tuanya. Sang ibu yang diwawancarai Liputan 6 berkata, ia terpaksa memberikan anaknya kopi sebagai pengganti susu karena upah bekerja sehari-hari tak cukup buatnya untuk membeli susu untuk buah hati. Dua kejadian ini mengundang kritik pedas dari masyarakat dan membuat topik terkait stunting kembali hangat.

Pengkotakan Peran Gender Jadi Salah Satu Masalah Kunci Stunting

Kementerian Kesehatan pada Rabu (25/1) lalu mengumumkan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) pada Rapat Kerja Nasional Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Dalam hasil SSGI ditemukan bahwa prevalensi stunting di Indonesia turun dari 24,4 persen di tahun 2021 menjadi 21,6 persen di 2022. Sayangnya, penurunan prevalensi stunting ini bukan sepenuhnya jadi kabar baik.

Tak hanya karena prevalensi stunting di Indonesia masih belum memenuhi standar World Health Organization (WHO) yaitu kurang dari 20 persen. Penurunan ini juga tidak menggambarkan hot spot atau wilayah Indonesia tercatat memiliki prevalensi stunting yang tinggi. Nusa Tenggara Timur misalnya masih punya prevalensi stunting sebesar 37,8 persen dan Sumatera Barat sebesar 33,8 persen. Ini menjadikannya dua provinsi sebagai provinsi dengan stunting tertinggi dengan jumlah kasus terbesar di Indonesia.

Dengan realitas ini, perempuan sayangnya selalu jadi sasaran empuk kritikan pedas. Peran gender yang dilekatkan kepada mereka sebagai pengasuh utama dalam keluarga membuat mereka kerap dimintai pertanggungjawaban penuh atas kesehatan anak-anak mereka.

Baca Juga: Dear Megawati, Ibu-ibu Tak Cuma Menggoreng, tapi Juga Turun ke Jalan

Bahkan dalam berbagai kesempatan mantan presiden Megawati Soekarnoputri selalu melontarkan kritikannya pada para ibu. Menurutnya, mereka punya andil besar terhadap angka stunting yang tak kunjung turun. Buat Mega, solusi yang selalu dikemukakan menitikberatkan tugas ibu untuk bisa memasak atau “menambah pengetahuannya dalam asupan makanan”.

Masih adanya tendensi sepihak menyalahkan perempuan dalam isu stunting ini tentu tidak tepat. Menurut Khotimun Sutanti, Koordinator Pelaksana Harian LBH APIK, penyebab langsung yang dimaksud adalah rendahnya asupan gizi dan status kesehatan. Di antaranya termasuk praktik pengasuhan, akses terhadap layanan kesehatan, serta kesehatan lingkungan.

Sedangkan faktor tidak langsung berhubungan dengan kesenjangan ekonomi, pendapatan, urbanisasi, globalisasi, sistem pangan, jaminan sosial, pembangunan dan pemberdayaan perempuan.

Penyebab langsung stunting yang dimaksud adalah rendahnya asupan gizi dan status kesehatan. Dua di antara yang paling penting adalah pola pengasuhan dan pemenuhan gizi ibu hamil. Tiopan Sipahutar, principal investigator penelitian stunting dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, masyarakat Indonesia masih sangat kental dengan budaya patriarki yang mengkotak-kotakkan peran gender antara laki-laki dan perempuan.

Perempuan dalam hal ini diberikan tanggung jawab besar untuk menjalankan peran reproduksi dan peran pengasuhan tanpa mendapatkan bantuan dari pasangan atau suaminya. Perempuan sebagai ibu akhirnya mengalami multiple burden apalagi kalau ternyata masih harus bekerja memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya.

“Dalam temuan penelitian saya masih banyak ditemukan peran gender ini membuat laki-laki pingin segalanya beres. Kalimat seperti ‘Saya udah cari uang kamu yang harusnya mengurus anak-anaknya’, masih sering ditemui. Bahkan dalam beberapa kasus ini disusul dengan kekerasan terhadap perempuan dan mertua pun tak membela. Rasanya ada downgrade gitu kalau laki-laki ikut mengasuh anak,” jelas Tiopan.

Ia pun melanjutkan adanya pengkotak-kotakan peran gender ini jelas berpengaruh pada perempuan secara langsung dan tidak langsung. Kelelahan pada perempuan baik fisik maupun mental dapat berdampak pada kesehatan mereka. Pola makan dan tidur perempuan bisa terganggu, yang secara langsung bisa berdampak pada produksi ASI mereka.

Pola pengasuhan anak pun juga jadi tidak maksimal. Padahal menurut Tiopan pola pengasuhan adalah tugas terberat orang tua karena ini mencakup pemberian makan, kebersihan diri dan lingkungan, pemberian simulasi, dan kasih sayang. Semuanya hanya bisa dilakukan jika perempuan dalam keadaan sehat.

Kondisi yang tak ideal ini sayangnya diperparah dengan minimnya intervensi laki-laki dalam pemenuhan gizi perempuan. Dalam budaya tertentu misalnya laki-laki adalah anggota keluarga yang seharusnya mendapatkan makanan terbaiknya. Dengan ini perempuan sering mendapatkan giliran mengambil makanan paling akhir dengan jatah seadanya.

“Ini isu penting (perempuan dibiarkan makan seadanya). Ibu hamil membutuhkan gizi yang lebih banyak. Jika pada umumnya kita makan tiga kali sehari, perempuan hamil idealnya makan dengan frekuensi lebih banyak. Lima kali sehari dengan porsi cukup dan gizi seimbang,” kata Tiopkan yang kemudian ia tambahkan, “Selama hamil pun mereka harus diberikan pil Fe atau pil zat besi untuk mencegah perempuan dari anemi. Harusnya ada intervensi dan pelibatan peran suami di sini.”

Solusi yang Perlu Kerja Sama

Pemaparan Tiopan terkait stunting semakin menarik ketika ia mengatakan ada korelasi tidak langsung stunting dengan pernikahan anak di Indonesia. Berbagai penelitian telah menunjukkan kehamilan yang terjadi pada perempuan yang menikah anak secara signifikan berkaitan dengan kejadian stunting dan wasting (kurus), serta underweight (gizi kurang). Ini karena dalam perkawinan anak, tubuh perempuan belum siap untuk mengemban beban reproduksi. Simpelnya, fungsi reproduksinya belum sempurna untuk dapat mengandung anak.

Tak hanya itu, baik perempuan maupun laki-laki yang menikah dini, belum siap secara mental dan finansial. Karenanya, tak jarang berujung pada kekerasan perempuan yang justru membuat problem stunting semakin kompleks lagi.

Baca juga: Predator Seksual itu Berlindung di Balik Jubah Gereja

“Kalau perempuan mengalami KDRT. Baik fisik, verbal kaya dimaki-maki atau penelantaran ekonomi, kondisi kesehatan mereka bisa terganggu. Jadinya berpengaruh ke proses edukasi, pemenuhan gizi dan asupan nutrisi. Pertumbuhan anak pun jadi tidak maksimal.”

Kompleksitas yang dibawa isu stunting inilah tentu membutuhkan solusi yang tepat. Solusi tidak berat sebelah, seperti terus mendorong mereka untuk bisa memasak atau mengolah makanan di rumah atau paham pola pengasuhan yang tepat.

Sebaliknya harus ada pelibatan semua pihak dalam menangani stunting di Indonesia. Pemerintah dan pemerintah lokal misalnya menurut Tiopan punya tanggung jawab besar untuk memenuhi hak dasar ibu dan anak, dua diantaranya adalah akses pelayanan kesehatan dan akses air yang memadai.

Buat seseorang yang pernah mengunjungi Nusa Tenggara Timur, wilayah yang memiliki angka stunting tertinggi, ia menyadari tak hanya akses pelayanan kesehatan ibu dan anak yang dapat dijangkau di beberapa daerah masih belum memadai. Persediaan air pun masih sulit didapat oleh masyarakat.

“Air susah didapat, jadi tanam-tanaman tidak begitu beragam. Padahal buat tumbuh kembang anak, keragam makanan itu sangat penting,” tuturnya.

Selain kedua hal ini, Tiopan berpendapat pemerintah juga punya PR besar untuk mengentaskan pernikahan anak. Ia secara pribadi khawatir dengan tingginya dispensasi pernikahan anak di Indonesia apalagi semasa pandemi. Padahal sudah jelas terlihat ada korelasi antara pernikahan anak dengan kesiapan laki-laki dan perempuan dalam membesarkan anak dalam kondisi yang ideal.

“Makanya justru penting banget pencegahan stunting itu salah satunya dengan menurunkan pernikahan pada anak. Ini untuk memastikan kesiapan pasangan dalam melakukan parenting,” katanya.  

Terakhir, solusi penting bahkan jadi hal yang paling ditekankan oleh Tiopan adalah kolaborasi antara perempuan dan laki-laki dalam rumah tangga untuk terus mendorong pembagian peran dalam keluarga. Pengasuhan anak misalnya, bisa dibagi antara orang tua. Definisi sesungguhnya dari parenting, menurutnya, tak bisa membiarkan satu orang pun melakukan segala sesuatu sendirian

“Perempuan enggak boleh dibiarkan mengurus semuanya sendiri karena stunting itu dimulai ketika individu memutuskan menikah. Mereka yang seharusnya ada untuk menemani perempuan melakukan antenatal care (pemeriksaan kehamilan), mendorong pemenuhan gizi ibu dengan memberikan pil Fe, ikut mendampingi dan mengurus anak hingga beban domestik pasca-kelahiran. Jadi jelas peran suami sangat penting sekali sebenarnya di sini,” jelas Tiopan.

Dengan demikian, Tiopan pun menggarisbawahi bagaimana cuti untuk laki-laki alias cuti paternal sangat dibutuhkan. Ini agar untuk memastikan pada 1000 hari pertama, perempuan serta bayi bisa mendapatkan bantuan dan perawatan yang memadai. 


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *