Lifestyle

Bukan Cuma Cari Cuan: Pengalaman Saya Empat Hari Coba Hidup Seimbang

Sebagai resolusi tahun baru, saya mencoba membangun hidup seimbang. Mulai dari jalan kaki keliling komplek, hingga tidur tujuh jam.

Avatar
  • January 13, 2023
  • 7 min read
  • 944 Views
Bukan Cuma Cari Cuan: Pengalaman Saya Empat Hari Coba Hidup Seimbang

Semua berawal saat libur Natal dan tahun baru. Selama seminggu penuh, enggak ada aktivitas yang dilakukan selain makan, tidur, rebahan sambil nonton serial televisi, doomscrolling media sosial, dan nongkrong bareng teman-teman. Sehari dua hari, sih rasanya menyenangkan, hidup tanpa menjalankan kewajiban. Begitu masuk hari ketiga, saya langsung berpikir, memangnya sehat ya hidup begini?

Baca Juga: Apa itu ‘Morning Person’ dan Tips Jadi Salah Satunya

 

 

Bayangkan, saya bangun tidur di atas jam 8 pagi, melihat aktivitas teman-teman di Instagram sambil goleran di kasur, lalu sekitar jam 12 siang baru nyari sarapan merangkap makan siang. Setelah itu masuk kamar lagi, nonton musim terbaru Emily in Paris (2020-), tidur siang, dan doomscrolling Instagram lagi. Begitu terus sampai waktu menunjukkan pukul 3 dinihari.

Saya setuju, kalau kamu menyebut saya couch potato–orang yang kebanyakan nonton televisi dan enggak pernah olahraga. Soalnya ya begitulah kenyataannya. Ditambah banyaknya makanan dari perayaan Natal yang bikin enggak mindful. Ibaratnya kayak enggak ada hari esok, saya melahap makanan apa pun dan kapan pun.

Namun, hari-hari gabut itu juga yang bikin saya merefleksikan diri. Hidup saya enggak akan akan lama, kalau cuma aktivitas itu yang dilakukan.

Hari ketiga di tahun baru, saya mengambil keputusan besar, yakni uninstall Instagram dari ponsel. Pasalnya selama liburan, screen time aplikasi itu meningkat, memakan waktu selama tiga sampai empat jam. Membuat saya berpikir, apa, sih yang dilihat?

Seminggu kemudian, saya berpikir, mungkin juga saatnya hidup lebih teratur. Hitung-hitung resolusi tahun baru. Akhirnya, saya menuliskan beberapa hal yang bisa bikin hidup lebih seimbang.

Di antaranya, jalan kaki keliling komplek, sarapan, makan siang tepat waktu, serta mengonsumsi buah dan sayur. Kemudian, saya meningkatkan jumlah konsumsi air mineral minimal dua liter, no screen time satu jam sebelum tidur–diganti dengan membaca buku, dan tidur selama tujuh jam.

Sampai artikel ini ditulis, saya baru memasuki hari kelima. Memang, sih, belum cukup lama untuk membangun rutinitas. Soalnya, penulis Atomic Habits (2018), James Clear mengatakan, butuh waktu kurang lebih dua bulan–atau 66 hari–untuk membentuk aktivitas baru menjadi rutinitas.

Meskipun demikian, ada beberapa pengalaman baru yang saya rasakan selama lima hari ini.

1. Lebih Semangat Beraktivitas

Di hari kerja, aktivitas saya bertambah satu dari beberapa yang disebutkan di atas, yakni bekerja. Sisanya ya doomscrolling media sosial, makan, dan nonton film atau serial televisi.

Namun, sejak mulai mencoba menyeimbangkan hidup dengan berbagai aktivitas baru, rasanya seperti dapat angin segar. Saya lebih semangat melakukan to-do-list harian, dan otak bisa berpikir jernih.

Riset berjudul Physical activity yields feelings of excitement, enthusiasm (2012) oleh  Penn State University, Amerika Serikat mengatakan, hal itu adalah dampak dari olahraga. Pasalnya, ketika lebih aktif secara fisik, manusia akan lebih bahagia dan antusias dalam beraktivitas.

“Pantas aja, selain bisa berpikir jernih, suasana hati saya lebih senang dan tenang,” pikir saya.

Di samping itu, melakukan sesuatu yang baru ternyata berkaitan dengan kebahagiaan. Menurut Dr. Laurie Santos, profesor psikologi dan ilmuwan di Amerika Serikat, rangsangan baru akan mengaktifkan bagian otak, yang dikaitkan dengan hadiah.

“Hal-hal baru menangkap perhatian kita. Karena itu, kita cenderung memperhatikan sesuatu dan be present,” katanya dalam wawancara bersama GQ.

Penjelasan Santos mengingatkan saya dengan empat malam terakhir. Saya enggak sabar meletakkan ponsel di meja kerja, kemudian lanjut membaca Convenience Store Woman (2016) karya Sayaka Murata. Saat membaca pun, saya tenggelam di kehidupan Keiko Furukura, sang karakter utama, sebagai pegawai minimarket. Sebuah eskapisme yang sudah lama enggak dirasakan.

Walaupun belum berangsur lama, seenggaknya aktivitas baru itu cukup mengingatkan, hidup saya dari Senin ke Jumat bukan cuma untuk cari cuan.

Baca Juga: Usia Harapan Orang Indonesia Naik, Akses Hidup Sehat Turun

2. Tubuh Cepat Lelah dan Butuh Istirahat

Menambah jalan kaki keliling komplek ke to-do-list harian, membuat tubuh saya lebih cepat lelah. Misalnya pada (11/1), saya bangun tidur pukul 5.30 dilanjutkan jalan pagi pukul 5.45, selama 45 menit.

Enggak dimungkiri, badan rasanya lebih segar setelah jalan kaki sekitar 4.900 langkah. Bahkan makin happy, setelah sarapan roti isi keju, selada, dan alpukat,serta minum segelas susu. Namun, begitu waktu menunjukkan pukul 1 siang, saya mengantuk.

Sebab, ketika olahraga, otot tubuh berkontraksi berulang kali, membuat sumber energi dalam tubuh berkurang. Akibatnya, kemampuan otot untuk berfungsi pun berkurang dan menyebabkan kelelahan otot.

Sebenarnya ada beberapa faktor yang menentukan sisa energi seseorang setelah olahraga. Contohnya jenis olahraga, durasi, intensitas, dan frekuensinya. Kemudian tipe diet yang dilakukan, tingkat hidrasi tubuh, kondisi medis, durasi tidur di malam sebelumnya, dan olahraga yang terlalu ngoyo.

Mungkin saya termasuk yang terakhir. Maklum, sudah lama enggak jalan kaki–pada 2020 aktivitas ini masuk rutinitas saya–lalu mulai lagi dengan durasi yang enggak disesuaikan.

Ditambah, saya menyanggupi tantangan teman, untuk jalan kaki sebanyak 50 ribu langkah dalam 10 hari. Jadilah makin termotivasi, sekaligus ngoyo.

3. Fokus dengan Diri Sendiri

Terhitung sampai hari ini, saya udah uninstall Instagram selama 11 hari. Enggak menyangka, niat impulsif itu masih berjalan. Awalnya tentu susah bukan main. Jempol saya seperti autopilot, buka Instagram kapan pun lagi gabut atau butuh pelarian sejenak. Bahkan, bangun tidur saja tangan saya otomatis mencari ponsel dan membuka Instagram.

Mungkin information overload jadi istilah yang tepat, mendeskripsikan hari-hari saya dengan screen time berdurasi dua hingga tiga jam di Instagram.

Kemudian saya menyayangkan, dengan waktu segitu lamanya, saya bisa melakukan aktivitas lain yang lebih berfaedah. Lagi pula, informasi yang kebanyakan diserap dari Instagram enggak perlu-perlu amat diketahui. Atau bisa dibaca dari media sosial lain maupun artikel media.

Akhirnya, saya mengalokasikan waktu untuk membaca buku, menonton film dan serial televisi, ataupun video-video di Youtube yang masuk daftar “Watch Later”. Bagi saya, aktivitas itu bikin lebih mindful dan bermakna, dibandingkan doomscrolling Instagram.

Belakangan, saya juga senang impulsivitas itu berdampak positif. Sejak menghapus Instagram, pikiran saya lebih tenang dan perhatian saya lebih terfokus pada kebutuhan sendiri. Lalu enggak merasa hidup gitu-gitu aja, tiap habis lihat postingan teman-teman. Enggak merasa perlu tahu juga, kehidupan mereka berdasarkan Instagram post. Pikir saya, cerita hidup mereka akan lebih berharga kalau dibahas langsung saat mengobrol.

Seperti awal pekan ini, ketika Jasmine–rekan reporter saya–menceritakan akhir pekannya via WhatsApp. Selain senang, ada perasaan dihargai, ketika Jasmine menuturkan keseruannya bersama orang tua dan teman-temannya.

Mungkin cerita itu bisa saya ketahui, kalau melihat postingan Jasmine di Instagram akhir pekan lalu. Namun, rasanya postingan itu jadi sekedar foto atau video, yang tidak cukup menggambarkan antusias Jasmine, seperti saat ia menceritakannya ke saya.

Baca Juga: Menonton Film Sedih, Apa Untungnya?

4. Membangun Kebiasaan Itu Sulit

Perihal sulitnya membangun kebiasaan, mungkin udah jadi rahasia umum. Seperti kata Clear, rutinitas bisa terbentuk dalam 66 hari.

Buat saya, sebenarnya ada beberapa aktivitas yang enggak terlalu susah dijadikan kebiasaan. Minum air mineral minimal dua liter, misalnya. Empat hari kemarin, saya minum dua setengah liter–beda tipis, sih tapi tetap pencapaian. Pun, mengonsumsi sayur, karena otomatis semua menu yang ibu masak akan saya makan.

Yang susah itu, mengatur pola makan. Saya enggak terbiasa sarapan. Enggak terbiasa juga makan siang tepat waktu–biasanya makan kalau udah laper banget, jam 2 siang atau 3 sore. Sementara makan malam, gara-gara liburan jadi terbiasa di atas jam 8 malam.

Kemudian, no screen time sebelum tidur dan tidur selama tujuh jam. Saya terbiasa tidur akibat ketiduran, bukan mengantuk lalu meletakkan ponsel. Soalnya, kalau meletakkan ponsel duluan, kepala saya berisik dengan pikiran-pikiran enggak penting–atau racing thoughts.

Contohnya teringat kemeja hitam yang hilang waktu di-laundry, khawatir dengan to-do-list hari esok yang mungkin enggak terselesaikan, atau tingkah laku memalukan yang pernah dilakukan.

Melansir Verywell Mind, racing thoughts disebabkan oleh stres, kecemasan, kondisi kesehatan mental lainnya, obat-obatan, atau terlalu banyak mengonsumsi kafein. Pikiran-pikiran itu muncul karena selama beraktivitas, kita mengesampingkan ketakutan dan kekhawatiran, sehingga muncul saat tubuh seharusnya rileks.

Akibatnya, saya justru resah dan terjaga, seperti pada (10/1) lalu. Setelah membaca buku selama 30 menit, saya meletakkannya dan berniat tidur pukul 11 malam–supaya dapat tidur tujuh jam dan cukup fit untuk jalan pagi. Lalu, baru terlelap sekitar pukul setengah 12 malam.

Terlepas dari sulitnya membangun kebiasaan baik, saya berniat melanjutkan sejumlah aktivitas baru itu. Demi hidup yang seimbang, lebih bahagia, dan enggak gampang burnout akibat nyari cuan melulu. Mungkin 61 hari lagi, sejumlah aktivitas baru itu berubah jadi rutinitas, seperti penjelasan Clear.



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *