December 5, 2025
Issues Politics & Society Prose & Poem

Pengalaman Saya Baca 5 Buku ‘Berbahaya’ yang Disita Polisi 

Polisi bilang demonstran rusuh dan anarkis karena buku. Setelah membaca lima buku sitaan, saya meyakini ternyata yang lebih berbahaya adalah polisi yang enggak suka membaca.

  • September 24, 2025
  • 7 min read
  • 4443 Views
Pengalaman Saya Baca 5 Buku ‘Berbahaya’ yang Disita Polisi 

Dalam demonstrasi di berbagai kota akhir Agustus 2025, polisi menangkap demonstran dan menyita sejumlah barang bukti, termasuk puluhan buku. Polisi menyebut, buku-buku tersebut berisi ajaran komunisme, sosialisme, dan anarkisme yang mendorong pembaca melakukan kerusuhan dan perusakan. Polisi juga beralasan, penyitaan dilakukan guna mencegah penyebaran paham-paham tersebut ke masyarakat luas. 

Sebenarnya praktik penyitaan buku ini adalah lagu lama di Indonesia. Sejarah mencatat penyitaan buku yang terus menunjukkan pola berulang dan mengkhawatirkan. Sejak era kolonial Belanda, buku-buku karya penulis lokal maupun asing kerap dilarang karena dianggap mengganggu status quo.

Misalnya tulisan-tulisan tentang perlawanan rakyat atau kritik terhadap kolonialisme. Pada masa Orde Baru, sensor semakin sistematis. Karya-karya Pramoedya Ananta Toer, termasuk novel Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa, sempat dilarang beredar karena dianggap mengandung ideologi subversif dan bisa memicu keresahan politik. 

Bahkan setelah Reformasi, kasus penyitaan dan sensor tidak benar-benar hilang. Beberapa buku tetap disita dengan alasan “berbahaya”, “anarkis”, atau “menimbulkan provokasi.” Fenomena ini kita kenal dengan praktik bibliosida atau upaya sistematis menekan penyebaran literatur demi mempertahankan kontrol ideologis dan politik. Tujuannya membatasi akses masyarakat terhadap gagasan kritis atau alternatif. 

Fenomena ini sebenarnya telah dianalisis secara akademis. Hendri Yulius dalam tulisannya di Indonesia at Melbourne berjudul When books become threats: preserving ‘public order’ in Indonesia” (2016) menjelaskan bagaimana buku kerap dijadikan kambing hitam oleh aparat untuk menjustifikasi tindakan represif. Padahal isi buku tidak membahayakan secara langsung. Yulius menekankan penyitaan buku sering mengikuti logika kontrol sosial dan politik, bukan bukti ilmiah bahwa buku memicu kekerasan. 

Senada, studi oleh Laura Stockdale et al. Bertajuk “Read anything mean lately? associations between reading aggression in books and aggressive behavior in adolescents” (2013) menunjukkan meski membaca konten agresif bisa memengaruhi pemikiran remaja, efeknya jarang berujung pada kekerasan fisik. Sebaliknya, buku membuka ruang untuk empati, refleksi, dan pemahaman sosial, menjadikannya alat yang memperluas wawasan daripada memicu kerusuhan. 

Pertanyaannya, sejauh mana isi buku-buku yang disita benar-benar bisa mendorong seseorang melakukan kerusakan? Apa sebenarnya isi buku-buku tersebut hingga dianggap layak dijadikan barang bukti bak ancaman berbahaya? 

Untuk menjawabnya, saya membaca lima dari sekian banyak buku yang disita polisi selama rangkaian demonstrasi Agustus 2025. Berikut ulasan singkatnya, mulai dari buku karya Emma Goldman hingga Noam Chomsky. 

Baca juga: Akankah Anarkisme Bernasib Serupa Komunisme di Indonesia?

Anarkisme – Emma Goldman 

Anarkisme sering disalahpahami di Indonesia sebagai gerakan kekacauan. Padahal, bagi feminis anarkis Emma Goldman, anarkisme adalah upaya membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan, baik dari negara, kapitalisme, maupun institusi sosial. Dalam bukunya, Goldman menekankan bahwa kebebasan sejati lahir dari kesadaran individu dan solidaritas tulus antar-manusia, bukan dari hukum atau sistem yang menindas. 

Selain itu, Goldman menyoroti ketertindasan perempuan, termasuk pengekangan tubuh perempuan melalui norma agama dan negara. Baginya, pembebasan perempuan baru bisa tercapai ketika mereka memiliki kontrol penuh atas tubuh, pilihan hidup, dan cinta. Ini menjadikan anarkisme yang ia tawarkan sangat personal dan humanis, berbeda dari stereotip kekerasan dan kerusuhan yang umum ditempelkan pada anarkisme. 

Goldman tidak membayangkan revolusi sebagai pertumpahan darah atau kekacauan. Ia mengandaikan revolusi sebagai ruang untuk kegembiraan, tarian, dan kreativitas manusia. Kutipan terkenalnya, “If I can’t dance, I don’t want to be part of your revolution,” menegaskan bahwa revolusi tanpa kebebasan personal hanyalah bentuk penindasan baru. 

Buku Goldman juga mengajak pembaca mempertanyakan norma sosial dan struktur kekuasaan yang membatasi kebebasan perempuan. Pendekatan feminis dan humanis ini memberikan dimensi baru pada anarkisme: bukan destruktif, tetapi kritis dan reflektif. 

Dalam konteks penyitaan, membaca Goldman justru membantu pembaca memahami bahwa anarkisme bisa menjadi alat pembebasan, bukan kekerasan. Pemikiran Goldman menantang stigma dan membuka ruang diskusi tentang hak perempuan, keadilan sosial, dan kebebasan individu. 

Dari Kerusuhan ke Insureksi – Alfredo Bonanno 

Bonanno dikenal sebagai pemikir anarkis yang menolak kerusuhan sebagai metode revolusi. Ia menilai kerusuhan spontan hanyalah ledakan sesaat yang mudah dipadamkan oleh penguasa. Oleh karena itu, ia menawarkan konsep insureksi—proses terorganisir dan berkesinambungan untuk menumbangkan penindas. 

Insureksi bukan tentang kekerasan atau aksi sesaat, tapi tentang kesadaran politik dan kesatuan tindakan kolektif. Bonanno menekankan bahwa revolusi adalah jalan panjang yang membutuhkan konsistensi. Insureksi dapat berupa aksi sederhana namun berkesinambungan, seperti mendirikan tenda di lahan penggusuran atau mogok kerja kolektif. 

Sumber: Southeast Asian Anarchist Library

Dalam buku ini, Bonanno juga membedakan jelas antara kerusuhan dan insureksi. Kerusuhan muncul dari emosi rakyat tanpa arah, sedangkan insureksi adalah strategi politik yang matang. Ia menegaskan bahwa tindakan kecil, konsisten, dan terarah bisa lebih efektif daripada kekerasan simbolik yang hanya memicu kerusuhan sesaat. 

Bonanno menyajikan argumen praktis bagi mereka yang ingin memahami anarkisme modern: revolusi bukan soal kekerasan instan, tapi kesadaran dan perencanaan. Buku ini mendorong pembaca berpikir kritis tentang metode perubahan sosial dan politik. 

Kritik Bonanno terhadap kerusuhan juga relevan dalam konteks demo Agustus 2025. Penyitaan buku semacam ini justru memperlihatkan ketakutan negara terhadap pemikiran kritis, padahal buku tersebut menekankan metode damai dan terorganisir untuk perubahan sosial. 

Baca juga: Isu Perusuh dalam Penjarahan Pejabat: Aparat yang Tertangkap, Temuan Warga, dan Isu Makar yang Bahaya 

Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme – Franz Magnis Suseno 

Buku Romo Magnis ini membahas perkembangan pemikiran Marx dari awal hingga akhir hayatnya. Marx muda terinspirasi Hegel dan cenderung utopis, membayangkan masyarakat tanpa kelas tapi sulit dijalankan. Marx tua kemudian merumuskan teori sosialisme ilmiah yang lebih konkret, termasuk konsep pencurian nilai lebih oleh kapitalis. 

Romo Magnis membedakan dengan jelas antara Marxisme dan Komunisme, yang sering disamakan. Ini membantu pembaca memahami teori Marx secara lebih tepat, sekaligus membantah stereotip politik yang salah kaprah. 

Buku ini juga menekankan perkembangan Marx sebagai manusia. Teori Marx bukan statis; ia berubah seiring pengalaman dan refleksi. Setiap bab menyoroti kritik dan perdebatan internal Marx, sehingga pembaca diajak berpikir kritis, bukan sekadar mengadopsi ideologi. 

Sumber: Gramedia

Selain itu, buku ini mengajak pembaca menimbang praktik sosialisme dan komunisme setelah Marx, termasuk interpretasi yang menyimpang. Dengan begitu, buku ini tidak mendorong komunisme ekstrem, tetapi mengajak refleksi mendalam. 

Penyitaan buku ini oleh polisi menunjukkan ketakutan terhadap wacana kritis. Padahal, Romo Magnis justru menyajikan analisis akademis dan historis, bukan propaganda kekerasan. Buku ini cocok untuk siapa saja yang ingin memahami Marx dengan objektif dan kritis. 

Anak Semua Bangsa – Pramoedya Ananta Toer 

Anak Semua Bangsa adalah kelanjutan dari Bumi Manusia, menggambarkan Minke yang lebih matang dan sadar akan ketertindasan rakyat di bawah kolonialisme. Buku ini menekankan tanggung jawab kaum terdidik untuk berpihak pada rakyat tertindas. 

Kematian Annelies menjadi titik balik bagi Minke, memaksanya menghadapi realitas sosial dan politik. Dari sini, pembaca dapat melihat bagaimana pendidikan dan status sosial tidak cukup; komitmen moral dan keberanian nyata juga dibutuhkan. 

Sumber: Goodreads

Pram menyoroti peran kaum terdidik sebagai agen perubahan. Mereka harus mampu berpihak pada rakyat, bukan sekadar menjadi pengamat pasif. Buku ini menekankan kesadaran sosial dan tindakan nyata sebagai inti pendidikan politik. 

Selain itu, buku ini menyoroti kolonialisme, kesenjangan sosial, dan ketidakadilan yang sistemik. Narasi Pram tidak hanya historis, tapi relevan dengan situasi kontemporer, terutama terkait demo dan ketidakpuasan rakyat. 

Penyitaan buku ini mencerminkan ketakutan terhadap gagasan yang menantang status quo. Namun membaca Pram tetap aman dan penting untuk membangun pemahaman kritis tentang sejarah, politik, dan tanggung jawab sosial. 

Baca juga: Sejarah Mencatat TNI Sama Represifnya dengan Polisi: Anak Muda Wajib Mengkritisi

Who Rules The World – Noam Chomsky 

Chomsky membahas intervensi Amerika Serikat di negara lain, menyoroti bagaimana negara adidaya memanfaatkan kekuasaan politik dan ekonomi untuk kepentingan sendiri. Buku ini membedah mekanisme dominasi global, manipulasi media, dan tekanan ekonomi yang sistematis. 

Chomsky menekankan bahwa intervensi asing bukan teori konspirasi, tetapi pola historis yang konsisten. Ia mengajak pembaca memahami hubungan kekuasaan global, termasuk dampaknya pada kebijakan dan kehidupan negara lain. 

Sumber: Gramedia

Buku ini menantang narasi simplistik tentang “antek asing” yang sering digunakan pemerintah untuk melabeli gerakan rakyat. Chomsky menunjukkan konteks lebih luas dan kompleks tentang politik internasional. 

Selain itu, buku ini memicu refleksi kritis tentang kedaulatan, hak asasi, dan etika politik global. Pembaca diajak menganalisis sejarah, bukan sekadar menerima narasi media arus utama. 

Dalam konteks demo Agustus 2025, buku ini relevan karena menyediakan alat analisis untuk memahami klaim pemerintah dan tuduhan terhadap demonstran. Chomsky mendorong pemikiran kritis, bukan tindakan kekerasan, sehingga penyitaan bukunya justru mengekang ruang wacana intelektual. 

About Author

Zahra Pramuningtyas

Ara adalah calon guru biologi yang milih jadi wartawan. Suka kucing, kulineran dan nonton anime. Cita-citanya masuk ke dunia isekai, jadi penyihir bahagia dengan outfit lucu tiap hari, sembari membuat ramuan untuk dijual ke warga desa.