December 5, 2025
Culture Screen Raves

Edwin Tidak Sendiri: Luka, Politik Identitas, dan Sinema yang Berpihak

Film ‘Pengepungan di Bukit Duri’ adalah pengingat bahwa luka sejarah dan diskriminasi etnis belum benar-benar sembuh. Lewat tokoh Edwin, sinema menjadi ruang perlawanan dan empati.

  • April 22, 2025
  • 6 min read
  • 8507 Views
Edwin Tidak Sendiri: Luka, Politik Identitas, dan Sinema yang Berpihak

Tulisan ini lahir dari kegelisahan usai melihat komentar-komentar bernada rasis terhadap film Pengepungan di Bukit Duri di media sosial. Alih-alih membuka ruang empati, banyak respons justru menegaskan bagaimana prasangka terhadap etnis Tionghoa masih kuat dalam imajinasi publik Indonesia. Ini menandakan luka sosial yang belum benar-benar pulih, bahkan ketika sinema mencoba mengajaknya bicara dengan peka.

Padahal, Pengepungan di Bukit Duri karya Joko Anwar adalah film yang berani dan penting. Ia bukan hanya menghadirkan ketegangan, tetapi juga membuka ruang kontemplatif atas luka kolektif, diskriminasi, dan kekerasan struktural yang selama ini luput dari layar. Lewat tokoh Edwin, seorang guru pengganti keturunan Tionghoa, film ini mengangkat tubuh minoritas sebagai pusat narasi—bukan untuk dikasihani, tapi untuk didengarkan.

Saat menyimak film ini, saya teringat pada sejumlah pemikiran yang relevan tentang identitas, luka, dan kekuasaan. Pemikir feminis bell hooks pernah menyebut bahwa ruang pinggiran bukan sekadar tempat keterasingan, tetapi juga bisa menjadi ruang perlawanan. Profesor politik Wendy Brown menulis tentang bagaimana luka dapat menjadi dasar dari ikatan politik yang kuat. Sementara sosiolog dan aktivis Stuart Hall mengingatkan bahwa representasi memainkan peran besar dalam membentuk cara kita memahami dunia.

Melalui pandangan-pandangan ini, Pengepungan di Bukit Duri terasa bukan hanya sebagai karya sinema, tapi juga sebagai bentuk intervensi budaya yang menggugah.

Baca juga: Memori Etnis Tionghoa Aceh: 20 Tahun Tsunami di Aceh

Luka sebagai pusat narasi dan politik identitas

Edwin (Morgan Oey) membawa luka masa lalu yang tak tersembuhkan. Ia penyintas kerusuhan berbasis etnis yang terjadi 18 tahun sebelumnya. Ia datang ke SMA Duri untuk mengajar, namun diam-diam mencari keponakannya yang hilang. Dalam proses itu, ia harus menghadapi siswa-siswa brutal, suasana kota yang genting, dan kenangan lama yang terus menghantui.

Luka yang Edwin bawa bukan luka personal semata. Ia adalah bagian dari luka historis yang dialami komunitas Tionghoa Indonesia. Dalam bukunya States of Injury: Power and Freedom in Late Modernity (1995), Wendy Brown mengatakan, luka kolektif bisa menjadi dasar pembentukan politik identitas yang kuat, selama ia tidak dikurung dalam nostalgia atau dendam, tetapi diolah sebagai energi untuk bertahan dan mengubah. Luka menjadi titik tolak artikulasi diri, bukan akhir dari identitas.

Dalam film ini, Edwin tidak terperangkap dalam luka sebagai beban, melainkan menjadikannya fondasi untuk bertahan, bergerak, dan menegaskan keberadaannya di dunia yang enggan mendengarkan. Luka yang Edwin bawa bukan semata luka individu. Ia bagian dari memori kolektif tentang diskriminasi terhadap warga Tionghoa di Indonesia, yang tak selalu diucapkan secara gamblang, tapi terasa kuat dalam atmosfer cerita. Seperti diingatkan Brown, luka sosial yang terus terakumulasi dapat menjadi penggerak kesadaran akan pentingnya perlawanan dan pembebasan.

bell hooks menyebut marginalitas bukan sekadar posisi terpinggirkan, tapi bisa menjadi “site of resistance“, atau ruang di mana makna baru diciptakan. Edwin berdiri di ruang itu. Ia tidak memohon untuk diakui pusat, tapi hadir dengan tenang dan tegas dari pinggiran. Politik identitas yang muncul di sini bukan soal mengasihani korban, melainkan tentang keberanian untuk mengingat, bertahan, dan menolak lupa.

Baca juga: Luka Turun-temurun Tionghoa Indonesia

Representasi yang penuh empati dan martabat

Stuart Hall mengingatkan bahwa representasi tidak pernah netral. Bagaimana seseorang ditampilkan dan dalam konteks apa, akan menentukan persepsi kolektif. Dalam Pengepungan di Bukit Duri, Edwin direpresentasikan dengan martabat dan empati. Ia bukan korban pasif atau simbol eksotisme, tetapi sosok yang kompleks, kuat, dan penuh keteguhan.

Edwin tidak berteriak. Ia tidak menyerang balik. Tapi keputusannya untuk tetap mengajar, melindungi muridnya, dan menyuarakan kebenaran dengan caranya sendiri adalah bentuk keberanian yang nyaris tak terlihat namun sangat kuat. Hall mengatakan bahwa representasi seperti ini menantang stereotip yang ada dan membuka ruang baru bagi pemahaman kita terhadap identitas yang selama ini disingkirkan. Dengan mengangkat tubuh minoritas ke pusat cerita tanpa menjadikannya objek eksotisme, film ini menurut saya telah berhasil melakukan resistensi terhadap dominasi representasi arus utama.

hooks dalam Eating the Other (1992) mengkritik bagaimana etnisitas sering dieksploitasi sebagai hiasan naratif dalam budaya populer. Tapi film ini berbeda. Pengepungan di Bukit Duri tidak menggunakan Edwin untuk menambah “rasa” cerita. Ia adalah cerita itu sendiri, dengan kompleksitas, rasa sakit, dan kekuatannya.

Sisi positif lain dari film ini adalah bagaimana ia memperlakukan kebisuan Edwin. Kebisuan ini bukan kelemahan atau ketidakmampuan, tapi bentuk strategi bertahan hidup. hooks dalam Talking Back (1986) menyatakan bahwa berbicara dari pinggiran adalah bentuk keberanian yang menyembuhkan. Tapi ia juga mengakui bahwa tidak semua suara harus lantang. Ada saat di mana diam adalah bentuk paling jujur dari perlawanan.

Edwin diam, tapi tubuhnya bicara. Cara ia berjalan, menatap, dan mengajar menunjukkan bahwa ia tidak menyerah. Dalam dunia yang penuh kebisingan, suara seperti Edwin justru jadi penanda harapan.

Hall juga mengingatkan bahwa makna dibentuk melalui budaya dan pengalaman. Tubuh Edwin sebagai etnis Tionghoa membawa beban sejarah kekerasan, trauma, dan pengucilan. Ketika tubuh itu hadir di pusat cerita, ia menjadi simbol intervensi terhadap narasi dominan yang kerap menyingkirkan.

Baca juga: Apa yang Tidak Kita Bicarakan Saat Berbicara tentang Tionghoa Indonesia

Sinema sebagai intervensi kultural

Ketika film ini diputar dan menuai komentar rasis di media sosial, kita justru melihat pentingnya keberadaan karya seperti ini. Pengepungan di Bukit Duri bukan sekadar tontonan, tapi pengingat kolektif bahwa kita belum selesai berdamai dengan masa lalu.

Film ini tidak menawarkan solusi instan atau narasi manis. Ia mengajak kita untuk duduk, diam, dan merenung. Ia menghadirkan luka sebagai sesuatu yang tak bisa disingkirkan begitu saja. Dengan begitu, ia juga membuka ruang untuk penyembuhan.

Dalam kacamata hooks, Brown, dan Hall, film ini adalah ruang politik, tempat pengalaman dari pinggiran bisa bersuara, diakui, dan dibayangkan ulang. Ia mengubah sinema dari hiburan menjadi perlawanan.

Dengan demikian, Pengepungan di Bukit Duri adalah film yang berani dan penting. Ia hadir di saat yang tepat, ketika kita membutuhkan narasi baru yang lebih jujur, lebih dalam, dan lebih berpihak. Ia mengingatkan bahwa sinema tidak harus netral. Ia bisa memihak, dan memang harus berpihak pada mereka yang selama ini disingkirkan.

Lewat Edwin, film ini menolak lupa, menolak tunduk, dan menolak diam. Ia menawarkan ruang bagi luka untuk bicara, bagi sejarah untuk disusun ulang, dan bagi penonton untuk belajar mendengarkan ulang. Karena terkadang, suara paling jernih justru lahir dari kebisuan yang tak menyerah.

Ayu adalah mahasiswa Magister Kajian Budaya dan Media. Sedang sibuk menyusun tesis dan menonton ulang ‘Avatar the Legend of Aang’.

About Author

Ayu

Leave a Reply