Pengungsi Rohingya di Tengah Ketidakpastian: 3 Solusi buat Pemerintah
Pengusiran pengungsi Rohingya oleh mahasiswa di Aceh memicu tanya. Sebenarnya tanggung jawab siapa masalah kemanusiaan ini?
Desember adalah bulan kemanusiaan. Itu ditandai dengan momen peringatan 75 tahun Deklarasi Universal HAM pada (10/12). Di bulan yang sama juga berlangsung Global Refugee Forum yang kedua di Jenewa, Swiss. Namun, tampaknya komitmen komunitas global terhadap perlindungan HAM dan kemanusiaan masih harus dipertanyakan. Ini terutama berlaku bagi ASEAN dalam menghadapi isu pengungsi Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar.
Di Indonesia, penanganan pengungsi Rohingya sedang mencuri perhatian publik seiring dengan berkembangnya pemberitaan tentang penolakan masyarakat di Aceh yang menjadi lokasi pendaratan ribuan pengungsi tersebut. Ini agak mengejutkan karena selama ini penduduk Aceh dikenal dengan praktik baik penyelamatan dan penerimaan pengungsi untuk perlindungan sementara.
Situasi ini menunjukkan adanya kebutuhan mendesak untuk mencari solusi terbaik, baik respons kedaruratan maupun penyelesaian jangka panjang, demi menghindari risiko lebih besar di masyarakat, seperti kemungkinan terjadinya konflik sosial maupun terjadinya tragedi kemanusiaan lebih luas di Indonesia.
Baca juga: What Can I Do to Help the Rohingya Refugees?
Situasi Terkini di Aceh
Seiring dengan masih berlangsungnya konflik di Myanmar dan kondisi kamp pengungsi Cox’s Bazar di Bangladesh yang memburuk, eskalasi gelombang pengungsi Rohingya yang tidak berkewarganegaraan ini diperkirakan masih akan terus terjadi.
Sejak 14 November hingga 10 Desember 2023, telah ada sembilan gelombang pengungsi yang masuk ke wilayah Indonesia melalui beberapa kabupaten di Provinsi Aceh, yakni Pidie, Pulau Sabang, Bireun, dan Aceh Besar.
Isu penolakan marak di media massa dan media sosial berkelindan dengan narasi negatif terhadap keberadaan organisasi internasional, keterlibatan jaringan penyelundupan dan perdagangan manusia, hingga opsi relokasi penampungan ke pulau terpencil.
Untuk memahami sikap dan kondisi sosio-kultural masyarakat lokal dalam menerima pengungsi Rohingya, sangat penting untuk menempatkan isu penolakan tersebut dalam konteks keterbatasan masyarakat lokal dalam memobilisasi bantuan dan mengakomodasi kebutuhan pengungsi dalam jumlah besar.
Hal ini menekankan perlunya penanganan bersama antara pemerintah pusat dan daerah. Ketidakpastian pandangan dan langkah penanganan menimbulkan kebingungan dan kekhawatiran di masyarakat dan pemerintah daerah ketika memberikan bantuan.
Apalagi jika dikaitkan dengan momentum jelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Simpang siur informasi menjadi sangat mudah memicu sentimen negatif dan gejolak publik secara luas. Penyebarluasan berita bohong dan ujaran kebencian sangat rentan.
Padahal, fakta lapangan menunjukkan bahwa masyarakat Aceh hingga saat ini masih konsisten dalam memberikan bantuan kemanusiaan bagi pengungsi Rohingya yang ditampung sementara di Pidie maupun yang masih terdampar di pinggir laut.
Baca juga: Perempuan Pengungsi di Indonesia dalam Belenggu Diskriminasi
Solusi Penanganan
Diskusi publik “Mencari Solusi Persoalan Pengungsi Rohingya di Indonesia” oleh Pusat Riset Politik BRIN pada 11 Desember 2023 lalu menawarkan beberapa solusi dengan melihat aspek domestik dan internasional dari isu pengungsi Rohingya yang kompleks ini.
Pertama, menguatkan koordinasi multiaktor di tingkat lokal dengan kepemimpinan nasional yang jelas dan responsif untuk mencari opsi penampungan yang lebih layak dan manusiawi.
Solusi semacam ini krusial untuk menstabilkan situasi domestik, khususnya di Aceh. Di tengah keterbatasan dan narasi penolakan, kerja sama antara pemerintah daerah, lembaga kemanusiaan, organisasi internasional, dan organisasi masyarakat lokal masih terus terjalin untuk memberikan bantuan kemanusiaan bagi gelombang pengungsi yang datang.
Selain itu, penting untuk menghormati dan melindungi masyarakat Aceh yang selama ini berupaya menerapkan Hukum Adat Laot tentang keharusan penyelamatan sesama di lautan untuk tujuan kemanusiaan, agar tidak memicu ketakutan dikriminalisasi oleh aparat ketika membantu pengungsi Rohingya seperti sekarang ini.
Terkait tawaran solusi ini, Peraturan Presiden No. 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri membutuhkan pengaturan lanjutan tentang pembagian peran dan mekanisme kerja antaraktor di tingkat daerah.
Baca juga: Peran Penting Perempuan dalam Penyelesaian Konflik dan Terorisme
Di tingkat pusat juga dibutuhkan kejelasan informasi tentang sikap dan respons pemerintah yang solid antarkementerian dan lembaga teknis terkait guna mencegah kesalahpahaman di masyarakat dan berkembangnya stigma negatif atas pengungsi Rohingya, maupun lembaga-lembaga lokal, nasional, dan internasional yang membantu penanganan.
Kedua, upaya diplomasi di tingkat ASEAN untuk penyelesaian akar konflik di Myanmar perlu dikuatkan dengan komitmen politik penanganan pengungsi Rohingya secara bersama-sama.
Indonesia, khususnya, harus proaktif mendorong komitmen penanganan penyelundup pengungsi untuk melindungi eksodus pengungsi Rohingya yang rentan menjadi korban tindak pidana penyelundupan ataupun perdagangan orang.
Untuk itu, penting dilakukan: 1) penguatan ASEAN Senior Officials Meeting on Transnational Crime (SOMTC) dengan menginisiasi pembentukan kelompok kerja untuk pencegahan penyelundupan manusia sebagai pendamping kelompok kerja perdagangan orang; 2) perluasan mandat ASEAN Coordinating Centre for Humanitarian Assistance on Disaster Management (AHA Centre) untuk memberikan bantuan kemanusiaan bagi korban dari bencana buatan manusia seperti etnis Rohingya.
Ketiga, menggunakan mekanisme Bali Process-yang Indonesia menjadi salah satu co-chairnya-guna menawarkan mekanisme multilateral yang prospektif dalam upaya penanganan pengungsi Rohingya.
Indonesia perlu mendorong realisasi kesepakatan Strategi Kerja sama Adelaide 2023 yang selaras dengan kepentingan Indonesia, yakni penegakan hukum, keterlibatan pemangku kepentingan, dan perlindungan korban penyelundupan. Selain itu, Indonesia perlu mendesak aktivasi mekanisme konsultasi kedua, yang memberikan peluang terjadinya dialog tertutup pejabat senior dari Bali Process Steering Group dengan negara terdampak secara intensif.
Bagi Indonesia yang baru saja terpilih keenam kalinya dengan suara tertinggi sebagai anggota Dewan HAM PBB 2024-2026, penanganan pengungsi Rohingya akan menjadi peluang untuk menunjukkan perannya terhadap kemanusiaan dan HAM saat ini.
Di saat yang bersamaan, isu ini juga bisa menjadi batu sandungan apabila kepentingan diplomasi Indonesia di kancah internasional tidak dibarengi dengan perbaikan kebijakan tata kelola pengungsi secara nasional di Indonesia.
Titik tumpu dari perbaikan ini mensyaratkan perubahan Perpres 125 dengan melengkapi perlindungan HAM baik kepada pengungsi yang ditangani maupun aktor-aktor pelaksana penanganan pengungsi di lapangan.
Rizka Fiani Prabaningtyas, Peneliti dalam bidang Hubungan Internasional dan Isu Migrasi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN); Faudzan Farhana, Peneliti (researcher), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN); Irin Oktafiani, Peneliti ahli pertama, and Tri Nuke Pudjiastuti, Researcher of international migration at Research Canter for Politics (PRP-BRIN), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.