December 17, 2025
Environment Politics & Society

Penjarahan di Sibolga: Ketika Netizen Salah Bingkai Korban Bencana 

Wahai netizen, video pendek berdurasi satu menit tidak bisa membuatmu mengerti kondisi korban bencana menahan lapar berhari-hari. Hentikan komentar nirempati dan rasis.

  • December 2, 2025
  • 4 min read
  • 1061 Views
Penjarahan di Sibolga: Ketika Netizen Salah Bingkai Korban Bencana 

Polisi Resor (Polres) Sibolga, Sumatera Utara menangkap enam belas orang imbas penjarahan minimarket karena krisis pangan. Alih-alih mengritisi lambannya respons pemerintah dalam menyalurkan bantuan, perbincangan di media sosial justru dipenuhi komentar yang menyudutkan warga—orang-orang yang tengah kelaparan dan kehabisan pilihan.

Di Instagram, banyak warganet menyebut para pelaku sebagai “bar-bar” tanpa melihat konteks darurat yang melatarinya. Sementara itu, di TikTok, banjir di Sumatera malah ditafsirkan sebagian pengguna sebagai “peringatan Tuhan” bagi warga Sibolga, dikaitkan dengan kasus pembunuhan nelayan di masjid yang terjadi sebulan sebelum bencana.

Ujaran seperti “tebak suku,” “enggak heran kena azab,” “bukan di Pulau Jawa,” hingga “emang gini SDM Sumatera,” memperlihatkan betapa kuatnya sentimen dan prasangka antarkelompok yang beredar. Padahal, situasi ini muncul terutama karena pemerintah tak kunjung menyalurkan bantuan, bahkan hingga lima hari usai bencana melanda. 

Baca juga: ‘Tiga Hari Tak Ada Kabar dari Anak Saya’: Kisah Korban Banjir Sumatera 

Bantuan terhambat  

Kantor berita Antara melaporkan, Pusat Pengendalian Operasi Penanggulangan Bencana (Pusdalops PB) Sumut mencatat empat wilayah di provinsi setempat dilanda bencana tanah longsor pada (24/11). Melansir dari situs Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), bencana ini berlanjut hingga keesokan harinya.  

Menurut laporan visual BNPB, banjir mengalir yang mengalir deras menghantam rumah, menyeret kendaraan hingga infrastruktur lain yang dilewatinya. Air banjir pun membawa beberapa material, “seperti lumpur, batang pohon, puing bangunan dan sampah rumah tangga,” sebagaimana tercatat di bnpb.go.id 

Bencana yang terjadi karena pembukaan lahan yang tidak memperhatikan faktor lingkungan ini pun memakan banyak korban. “Sudah dievakuasi 44 orang yang meninggal dunia, korban luka-luka 7 orang dan 13 orang hilang, diduga masih tertimbun,” kata juru bicara Polres Sibolga AKP Suyatno AKP Suyatno, dilansir detikSumut, (1/12). 

Di tengah situasi tersebut, pemerintah tak kunjung hadir memberikan bantuan yang merata. Ini menyebabkan penjarahan terjadi di Sibolga pada (29/11). Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengonfirmasi akar permasalahannya.  

Baca juga: Di Balik Tarik Ulur Negara Tetapkan Status Bencana Nasional Sumatera

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigadir Jenderal Trunoyudo Wisnu Andiko mengungkap penjarahan terjadi karena bantuan terhambat masuk. “Dampak sosial ketika belum masuk bantuan ke masyarakat tentu berpotensi (ada penjarahan),” jelas Truno, sebagaimana tertulis di Tempo.co, (1/12).  

Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian menebalkan penjarahan terjadi karena stok yang kurang. Dia membandingkannya dengan gempa di Palu, Sulawesi Tengah 2018 lalu. Saat itu, tidak ada akses untuk mengirimkan bantuan ke Palu. Penjarahan kemudian terjadi tiga hari pasca-bencana.  

Tito mengakui hal serupa terjadi juga di Sibolga. “Karena memang banyak yang daerah yang terisolir tadi, dan enggak gampang untuk langsung melakukan dropping kepada mereka. Stok mereka mungkin kurang, lapar, tapi kemudian ada yang masuk ke pertokoan,” ujar Tito, (1/12), dilansir dari Kumparan.com. 

Sayangnya, klarifikasi pemerintah baru muncul setelah seminggu pasca-bencana. Netizen sudah terlanjur menghakimi dan menyalahkan korban dengan konteks yang tidak utuh. Di balik penghakiman ini, ada jurang pengetahuan dan sudut pandang yang enggak memadai untuk memposisikan korban sebagai korban.  

Baca juga: ‘Warga Sudah Peringatkan tapi Tak Didengar’: Banjir Sumatera Kini Telan Ratusan Korban 

Sudut Pandang Urban  

Kepala Divisi Kampanye Digital Remotivi, Ilham Bachtiar, menjelaskan banyak netizen yang melontarkan komentar negatif soal penjarahan, gagal melihat kondisi para korban bencana yang jauh dari ideal. Mereka menghadapi perut lapar, listrik padam, hingga rumah yang rusak, kondisi yang membuat pilihan mereka sangat terbatas.

Ketika publik hanya melihat potongan video pendek yang minim konteks, penilaian atas peristiwa penjarahan menjadi tidak tepat.

“Ujaran-ujaran rasis muncul di sana, ada ajakan untuk tidak berdonasi, kemudian jadi efek yang tidak kita perlukan dalam situasi seperti ini,” ujar Ilham kepada Magdalene via telepon (2/12).

Ia juga menyoroti adanya ekspektasi korban harus tampil “lemah”. Gambaran korban yang kerap ditampilkan media, seperti ibu menggendong anak, lansia yang tertatih, keluarga yang duduk termenung di atap, menciptakan citra tertentu tentang “korban yang ideal”. Akibatnya, ketika korban tidak sesuai dengan citra tersebut, misalnya marah, emosional, atau menjarah, mereka tidak dianggap sebagai korban.

Dua aspek ini saling terkait dalam kasus penjarahan di Sibolga. Video pendek tanpa penjelasan disebarkan luas lalu ditafsirkan oleh netizen yang memiliki ekspektasi sempit tentang bagaimana korban bencana “seharusnya” bersikap. Potongan gambar semacam itu tidak mampu memberi pemahaman menyeluruh tentang konteks di lapangan.

Literasi media menjadi sangat penting agar publik dapat memahami peristiwa semacam ini dengan lebih utuh. Ilham menyarankan agar tidak mudah memercayai video-video pendek yang beredar di media sosial. Video tersebut dapat dijadikan pemicu awal untuk mencari informasi lebih lengkap dari sumber yang kredibel.

“Kalau ada video pendek tentang penjarahan, lebih baik sejenak googling dulu. Kalau informasi dalam video tidak cukup menjelaskan apa yang terjadi, mungkin ketika kita tahu lebih banyak, reaksi kita pun akan berbeda dari reaksi awal saat menonton video itu,” tutupnya.

About Author

Andrei Wilmar

Andrei Wilmar bermimpi buat jadi wartawan desk metropolitan.