Di zaman tsunami informasi kini, kita ikut melihat hoaks bertebaran di ruang-ruang percakapan. Tak cuma itu, perempuan diobjektifikasi sedemikian rupa oleh banyak media arus utama. Agenda kesetaraan gender diliput sporadis karena susah menghasilkan cuan untuk media.
Pernyataan seksis dan misoginis pun diberi ruang. Kita tentu familier dengan pernyataan politisi di media yang menyudutkan perempuan. Misalnya:
“Enggak wajar kalau perempuan enggak bisa masak.”
“Banyak koruptor yang masuk penjara karena tuntutan istrinya.”
Jujur sebagai lelaki, pernyataan ini membuat saya atau mungkin kamu, terdiam. Sensitivitas gender saya mulai memberi respons: Sepertinya ada yang salah dalam pemberitaan itu.
Baca juga: Media Indonesia Krisis Pemberitaan Ramah Gender
Sensitivitas Gender
Bagi saya, sebelum bisa melihat perspektif dari lensa gender, kita perlu mengasah sensitivitas gender. Ini adalah hal mendasar yang mesti dipupuk dan ditumbuhkan. Analoginya begini. Dalam keseharian, termasuk saat mengonsumsi informasi, kerap kali kita dihadapkan pada informasi yang mengundang reaksi emosional. Dalam hitungan sepersekian detik, kita dapat merasakan apakah konten yang sedang ditonton atau baca, cukup menyenangkan, menjengkelkan, atau mengandung bawang. Seperti itu pula sensitivitas gender bekerja.
Esensi dari sensitivitas gender adalah pengakuan bawah sadar bahwa ada sesuatu yang janggal dengan fenomena yang kita lihat. Para advokat gender dan aktivis hak-hak perempuan, tentu sangat ahli dalam mengidentifikasi dan mengartikulasikan isu ini. Namun, tidak perlu menjadi ahli untuk dapat merasakan ada sinyal yang salah dari pernyataan politisi di atas. Sehingga, ketika tokoh-tokoh publik membuat pernyataan tersebut, kita auto-marah dan menuduh mereka kurang sensitif terhadap isu gender.
Masalah yang lebih luas di sini tentu saja terkait kesenjangan penggambaran perempuan dan lelaki. Laporan Dewan Pers Indonesia (2020) menyoroti, stereotip gender masih marak digunakan dalam pemberitaan. Perempuan sering kali dicitrakan dengan peran pasif atau pendukung, sementara lelaki digambarkan sebagai pengambil keputusan atau pemimpin yang aktif. Representasi yang tidak seimbang ini bukan hanya cara pandang yang buruk, tapi juga berdampak nyata dalam cara gender dipersepsikan dan ditunjukkan kepada masyarakat.
Terlebih, pemberitaan tentang perempuan masih cenderung menekankan pada penampilan fisik. Dalam kasus kekerasan seksual, misalnya, media masih sering mendeskripsikan perempuan dengan cara yang tidak pantas, entah menyoroti paras, baju, maupun status lainnya.
Dengan demikian, tantangannya adalah memastikan praktik ini hilang di semua media, baik media massa maupun media sosial. Kita pun bisa turut menjadi bagian, dengan bertanya pada diri sendiri, sudahkan sensitivitas gender terasah atau masih tumpul?
Baca juga: Objektifikasi Seksual Perempuan: Kaset Lama yang Terus Diputar Media
Media Perempuan Bukan Satria Piningit tapi Diperlukan
Media yang dipimpin perempuan memainkan peran penting dalam mengatasi kegentingan permasalahan di atas. Mereka memberikan keseimbangan yang diperlukan terhadap lanskap media yang (harus diakui) didominasi budaya patriarki. Mereka menawarkan perspektif yang mungkin terpinggirkan atau diabaikan. Dengan memprioritaskan pelaporan sensitif gender, media yang dipimpin perempuan dapat membantu menggerus stereotip yang dilanggengkan pemberitaan arus utama.
Agar jelas, tentu media perempuan bukan hanya tentang membuat konten dari perempuan untuk perempuan. Lebih dari itu, ini tentang menghidupkan sistem yang lebih ramah untuk semua, adil, dan merepresentasikan berbagai kebutuhan dan pengalaman yang beragam dari sudut pandang gender serta inklusi sosial. Media yang dipimpin perempuan dapat menjadi platform penting untuk memperkuat suara-suara yang sering dibungkam, baik perempuan, minoritas, atau kelompok terpinggirkan lainnya.
Pemberitaan yang sensitif terhadap gender tentu bukan upaya lone-wolf dari media perempuan. Ini adalah pekerjaan rumah banyak pihak, sehingga memerlukan kerja sama para pegiat industri media. Tidak cukup hanya menghindari bahasa atau citra yang jelas-jelas seksis, narasi sarat asumsi juga perlu diperiksa dengan cermat.
Misalnya ketika membahas masalah ekonomi, apakah kontribusi perempuan diakui dan dihargai? Ketika meliput acara politik, apakah perempuan diberikan perhatian dan keseriusan yang sama seperti rekan lelaki mereka?
Baca juga: Percuma Hujat Ridho Permana, Wartawan ‘Online’ Memang Hidup dari Klik
Menuju Indonesia Sensitif Gender 2045
Mencapai lanskap media yang benar-benar sensitif terhadap gender adalah proyek jangka panjang, yang butuh komitmen berkelanjutan. Namun, manfaatnya sangat banyak. Ini tidak hanya berkontribusi pada masyarakat yang lebih adil dan setara, tetapi juga memperkaya kualitas jurnalisme yang lebih lengkap dan setara.
Kita semua telah familier dengan “Indonesia Emas 2045,” visi untuk Indonesia yang makmur ketika menginjak umur satu abad. Namun, mungkin tak banyak yang akrab dengan “Indonesia Ramah dan Sensitif Gender 2045”
Meskipun terdengar utopis, tujuan pembangunan berkelanjutan sebenarnya telah memberikan indikator yang bisa diukur melalui tujuan nomor 5. Di sana diterangkan, kita ingin mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan. Dalam hemat saya, ini bukan hanya tentang menambahkan tonggak sejarah lain dalam aspirasi nasional. Sebaliknya, tujuan itu harus dimaknai sebagai tumpuan untuk perubahan mendasar dalam nilai-nilai masyarakat termasuj praktik bermedia.
Bagi Indonesia, tujuan di atas bukan cuma soal kebijakan tetapi kebutuhan sosial dan memastikan bahwa setiap langkah yang kita ambil berakar kuat pada prinsip-prinsip kesetaraan gender. Hanya dengan melakukan ini, kita dapat memastikan visi Indonesia yang makmur benar-benar inklusif, tanpa meninggalkan siapa pun (leaving no one behind).
Sementara itu, Laporan Kesenjangan Gender Global 2023 berfungsi sebagai pengingat keras akan sisa pekerjaan di masa depan. Itu memproyeksikan, kita butuh waktu 131 tahun untuk menutup kesenjangan gender secara keseluruhan. Yang lebih menakutkan lagi, jadwal waktu spesifik: 169 tahun untuk kesetaraan ekonomi dan 162 tahun untuk kesetaraan politik
Sebagai kesimpulan, media yang dipimpin perempuan bukan hanya penting—tetapi genting. Mereka memberikan perspektif yang diperlukan untuk menantang bias yang ada, menawarkan narasi baru, dan memastikan semua suara didengar. Di dunia di mana informasi adalah kekuatan, memastikan bahwa kekuatan ini didistribusikan secara adil bukan hanya tujuan: Itu keharusan.
Devi Nugraha, Head of Communications UNDP Indonesia, adalah seorang profesional komunikasi dengan pengalaman hampir satu dekade. Ia unggul dalam komunikasi strategis, hubungan media, manajemen krisis, dan penyampaian pesan keberlanjutan di seluruh sektor pembangunan berkelanjutan, teknologi, FMCG, dan sektor publik.