Data Journalism Issues

#MerekaJugaPekerja: Banyak Perempuan Berhenti Kerja demi Urus Keluarga, Kenapa Masih Tak Diakui?

Sudah saatnya kita mengakui kerja-kerja perawatan tak berbayar yang dominan dibebankan pada perempuan.

Avatar
  • January 4, 2024
  • 12 min read
  • 10614 Views
#MerekaJugaPekerja: Banyak Perempuan Berhenti Kerja demi Urus Keluarga, Kenapa Masih Tak Diakui?

Pada 2019, Riris yang bekerja di perusahaan media, memilih pensiun dini demi merawat ayah. Keputusan itu diambil karena dua kali ayahnya harus dilarikan ke rumah sakit. Perempuan 53 tahun ini khawatir ayahnya kembali tumbang jika ia tetap kukuh bekerja di luar.

Kini kesehatan ayahnya yang berusia 87 tahun semakin menurun. Ini membuat Riris berperan besar dalam pengurusan sehari-hari, dari menyiapkan makanan, memandikan, menggantikan popok, dan mengajak ngobrol. Belum lagi pekerjaan domestik yang juga Riris kerjakan sendiri saat ayah beristirahat.

 

 

Aktivitas itu sering kali membuat Riris menomorduakan anak. Ia bahkan enggak punya waktu luang untuk diri sendiri. Jika sedang lelah fisik dan mental akibat mengurus ayah (caregiver burnout), Riris berharap bisa punya waktu libur dua hari dalam sebulan. 

Melansir Healthline, caregiver burnout disebabkan oleh stres dan beban akibat mengurus orang yang membutuhkan perawatan. Umumnya mereka merasa sendiri, enggak didukung, atau dihargai. Sering kali, caregiver juga enggak menjaga diri dengan baik, mengalami depresi, dan bisa kehilangan minat untuk merawat diri sendiri serta orang yang dijaga.

Saat sedang burnout, Riris memilih menyendiri di kamar mandi atau kamar tidur untuk menangis sejenak. Ini merupakan cara Riris menyalurkan perasaan sesak, kemudian menenangkan diri sebelum kembali merawat ayah. Hal tersebut Riris lakukan, supaya enggak meluapkan kelelahan berupa amarah pada ayah hingga berdampak pada hubungan mereka.

“Kalau papa lagi ngeselin, sebenarnya saya pengen bilang, boleh enggak nyari ladang ibadah di tempat lain aja?” ungkap Riris.

Karena itu, caregiver membutuhkan pendengar untuk menceritakan keluh kesah, mengungkapkan kebutuhan dan kekhawatiran, serta bimbingan dalam melakukan tugas perawatan. Hal ini disampaikan peneliti Eli Carmeli dalam riset The Invisibles: Unpaid Caregivers of the Elderly (2014).

Namun, dibandingkan mengutarakan keinginan libur dua hari dalam sebulan, Riris lebih mengomunikasikan perlunya dukungan finansial pada kedua adik. Di samping tak ada pemasukan aktif, Riris keberatan apabila sudah menyalurkan tenaga juga masih harus menunjang biaya perawatan.

Sebenarnya, jika kerja-kerja perawatan Riris divaluasi seperti dalam temuan Magdalene, Riris dapat menerima penghasilan sebesar Rp21 juta, atau 258,96 persen gaji terakhir—dengan durasi jam kerja sebanyak 414 jam sebulan, atau 2,60 kali lebih banyak dari jumlah jam kerja standar di Indonesia, yakni 160 jam.

Sayangnya, kerja perawatan masih kurang diakui bernilai ekonomi. Dalam survei “Persepsi terhadap Pekerjaan Perawatan” (2023) oleh International Labour Organization (ILO) bersama Katadata Insight Center (KIC) disebutkan 50,2 persen responden tak setuju tugas perawatan setara dengan sejumlah uang apabila dilakukan secara berbayar. Padahal, pekerjaan perawatan dianggap penting bagi anggota keluarga, terutama untuk menghindari konflik, penurunan produktivitas, dan penurunan kondisi fisik maupun mental.

Baca Juga: Kerja-kerja Perawatan, Penting tapi Diabaikan

Data tersebut menunjukkan belum ada rekognisi atau pengakuan terhadap tugas perawatan. Adik-adik Riris sendiri baru belakangan berinisiatif merekrut perawat, setelah beberapa hari mengurus ayah selama Riris ke luar kota untuk menghadiri wisuda anaknya.

Sementara di masyarakat, faktor lain dari minimnya rekognisi tugas perawatan adalah pelabelan dan peran gender tradisional. Tugas tersebut dianggap tanggung jawab perempuan—atau mencirikan sifat perempuan yang telaten dan penyabar, sehingga lebih sesuai untuk mengasuh dan merawat.

Belum lagi dalam relasi anak dan orang tua. Anak dinilai bertanggung jawab merawat orang tua, sebagai bentuk bakti, kewajiban, dan ibadah. Riset yang sama oleh ILO dan KIC pun menunjukkan, 66,2 persen responden perempuan enggak masalah jika harus keluar dari pekerjaan. Mereka melihatnya sebagai tanggung jawab kepada anak, atau bakti kepada orang tua.

Kedua hal tersebut kemudian menjadi hambatan, dalam merekognisi pekerjaan perawatan di Indonesia.

Tantangan Rekognisi Pekerjaan Perawatan

Dalam survei yang sama oleh ILO dan KIC, jenis tugas perawatan yang paling dikenali adalah mengurus anak. Sedangkan pekerjaan domestik belum dikenal sebagai tugas perawatan, meski paling banyak dilakukan.

Natalia, 43, merupakan salah satu perempuan yang melakukan keduanya. Setiap hari ia memasak, membereskan rumah, sekaligus merawat ketiga anak—dua di antaranya masih balita. Sementara suami Natalia sesekali membantu mengerjakan tugas perawatan, lantaran kesibukannya sebagai koki di restoran western.

Di sela kegiatan menyelesaikan pekerjaan domestik, Natalia adalah gig worker sebagai kurir jasa titip (jastip) makanan. Pekerjaan itu dilakukan sejak awal 2020 demi memiliki penghasilan pribadi. Bahkan itu dilakukan dari sejak anak bungsunya masih berusia dua minggu sampai hari ini. Bagi Natalia, ini merupakan cara agar ia tak kehilangan momen berharga bersama anak-anak. Setidaknya sampai anak-anak berusia tujuh tahun.

“Aku memilih seperti ini. Kalau mau kerja, aku bisa aja hire PRT (Pekerja Rumah Tangga),” cerita Natalia. “Tapi mereka anak-anakku. Mau susah, bareng, harus sama mamanya.”

Realitas yang dihadapi Natalia merepresentasikan perempuan di masyarakat, yang dituntut menjalankan peran sebagai ibu. Ada pandangan, ibu bertanggung jawab dan dinilai “lebih hebat” jika turun tangan langsung dalam merawat anak. Sementara sebagian perempuan juga menjalankan peran sebagai pekerja. Akibatnya, ada beban ganda dan jam kerja lebih panjang yang harus ditanggung.

Internalisasi beban ganda ini terefleksi dalam temuan Magdalene, mengenai durasi  kerja-kerja perawatan yang dilakukan Natalia. Dalam sebulan, Natalia melakukan pekerjaan perawatan sebanyak 414,3 jam—2,60 lebih banyak dari jumlah jam kerja standar di Indonesia yang mana 40 jam per minggu atau 160 jam per bulan. Apabila divaluasi, kerja-kerja domestik tersebut sekitar Rp23 juta, atau 258,96 persen dari gaji terakhir Natalia.

Baca Juga: Kekerasan Anak Aghnia Punjabi, Tak Mudah buat Ibu Pekerja Tinggalkan Anak

Faktor budaya termasuk nilai-nilai patriarki, berperan membentuk persepsi terhadap pekerjaan perawatan. Bahwa tugas perawatan adalah keharusan untuk perempuan, sudah kodrat, sehingga harus dilakukan tanpa mengeluh panjang lebar.

Namun semakin hari, sebenarnya sudah mulai banyak orang yang menyadari pentingnya pekerjaan perawatan. Masalahnya kesadaran itu tak selalu dibarengi dengan langkah konkret untuk lebih mengakui kerja-kerja perawatan tak berbayar yang dilakukan perempuan.

Natalia

Menurut National Project Coordinator ILO Indonesia Early Nuriana, temuan ILO dapat dioptimasi untuk fokus ke fasilitas daycare atau cuti melahirkan dan cuti ayah, yang dirancang dalam Rancangan Undang-undang Kesehatan Ibu dan Anak (RUU KIA). Tujuannya agar beban ini tak lagi dipikul oleh perempuan, tapi dibagi dengan laki-laki.

Baca Juga: Investasi pada Cuti dan Perawatan di Dunia Kerja Penting Dilakukan

“Mungkin bisa disampaikan ke masyarakat bahwa ini (kesadaran terhadap pekerjaan perawatan) penting untuk kualitas perkembangan anak-anak Indonesia,” ujar Early.

Lain halnya dari perspektif pembuat kebijakan. Dari pengamatan Early, selama ini pekerjaan perawatan masih dilihat sebagai pengeluaran, bukan investasi—yang seharusnya mencakup kebijakan dan layanan.

Contohnya cuti ayah untuk mendampingi istri melahirkan. Dalam Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 disebutkan, pekerja yang tidak masuk bekerja karena istri melahirkan atau keguguran kandungan, dibayar selama dua hari. Di UU Cipta Kerja dan Perppu Cipta Kerja, hal ini justru tak diatur secara eksplisit.

Selain tak sepadan dengan cuti melahirkan ibu sepanjang tiga bulan, aturan tersebut menunjukkan Indonesia belum melihat peran ayah penting dalam perawatan anak. Kenyataannya, anak tak cuma butuh ibunya, tapi juga ayah demi kesehatan emosional, kesejahteraan, perkembangan kognitif dan sosial, juga memperkuat relasi orang tua dan anak lewat bonding.

Di samping itu, istri juga membutuhkan pendampingan suami pasca-melahirkan untuk menghadapi perubahan fisik—payudara membesar, pendarahan hebat, hemoroid, dan pendarahan hebat—maupun mental yang mencakup depresi dan kecemasan.

Karenanya, wacana RUU Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) mencakup perpanjangan cuti ayah menjadi 40 hari. Kebijakan ini perlu diikuti pelatihan pengasuhan anak dan pendampingan ibu, sebagai dukungan terhadap suami. 

Namun, yang perlu dikritisi bukan hanya kebijakan pemerintah, melainkan perusahaan agar mengimplementasikan aturan yang ditetapkan. Tak jarang perusahaan melihat cuti mendampingi istri melahirkan—maupun cuti melahirkan—sebagai pengeluaran. Sebab, selama pekerja cuti, perusahaan harus tetap membayar mereka sekaligus merekrut pekerja lain untuk mendelegasikan pekerjaan.

Belum lagi nihilnya ruang laktasi di kantor, fleksibilitas untuk menyusui, dan adaptasi untuk kembali bekerja setelah cuti melahirkan yang seharusnya dilakukan bertahap. Pemenuhan kebutuhan tersebut penting bagi ibu pekerja yang baru melahirkan sebagai dukungan dan investasi dari perusahaan. Sayangnya, rekognisi terhadap pekerjaan perawatan bersifat normatif sehingga sebatas memberlakukan cuti melahirkan.

Hal itu disampaikan oleh Executive Director Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE) Wita Krisanti. Ia menjelaskan, bias gender merupakan penyebab pengakuan pekerjaan perawatan masih bersifat normatif, dan perusahaan tak bisa ikut campur dalam ranah domestik pekerja. Padahal, tugas perawatan berdampak pada profesionalisme pekerja.

Seperti pekerja yang izin mengantar anak atau orang tuanya ke dokter, yang lebih banyak dilakukan perempuan. Dampaknya, perusahaan melihat pekerja perempuan sering kali absen dan menghindari perekrutan tenaga kerja perempuan—terlihat dari tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan berjumlah 69,6 persen sedangkan laki-laki 79,4 persen. Atau memilih merekrut perempuan lajang karena belum memiliki tanggung jawab terhadap keluarga.

Lain halnya jika dianggap sebagai investasi. Pekerjaan perawatan dapat mendorong terbentuknya generasi berkualitas di masa mendatang. Namun, untuk mencapai tujuan itu, kesadaran di kalangan masyarakat perlu ditingkatkan supaya mereka merekognisi pekerjaan perawatan. 

Perlunya Memperluas Kampanye Pekerjaan Perawatan

Karena tak mudah mendobrak konstruksi sosial bahwa pekerjaan perawatan adalah tanggung jawab perempuan, kita butuh kampanye lebih luas untuk mendorong perubahan perilaku masyarakat.

Contohnya perihal merawat anak. Selain merawat sendiri, berdasarkan survei ILO bersama KIC, 53,4 persen responden memilih meminta bantuan pada saudara jauh untuk membantu pekerjaan perawatan. Hanya 11,5 persen di antaranya yang memilih daycare. Alasannya adalah lokasi dan biaya yang harus dikeluarkan kurang terjangkau.

Kedua hal tersebut dapat menjadi pertimbangan bagi pemerintah ketika mendorong penyediaan daycare. Sebab, menitipkan anak adalah perihal memberikan pilihan bagi orang tua. Jika orang tua punya opsi, khususnya ibu, mereka akan mempertimbangkan untuk kembali bekerja atau kegiatan apa pun yang ditinggalkan demi merawat anak.

Selain itu, pemerintah perlu menguatkan sumber daya manusia dengan rekognisi pekerjaan perawatan. Misalnya, pengakuan bahwa staf daycare adalah pekerja, dan investasi infrastruktur agar orang tua percaya untuk menitipkan anak.

“Kuncinya negara punya kebijakan dan keberadaan layanan yang terjangkau, supaya perempuan punya pilihan,” tutur Early. “Jadi nanti mindset mereka berubah, ternyata tugas (perawatan) bisa dibagi ya dengan daycare. Dan enggak merasa bersalah nitipin anak untuk bekerja.”

Kemudian, Early melihat keterlibatan pemuka agama juga berperan dalam memperluas kampanye pekerjaan perawatan. Sebab, kehidupan masyarakat Indonesia lekat dengan nilai-nilai agama. Yang dibutuhkan adalah pemuka agama yang peka isu gender, atau pembagian peran antara perempuan dan laki-laki di keluarga.

Melihat panjangnya perjalanan merekognisi pekerjaan perawatan di masyarakat, lantas bagaimana masa depannya?

Baca Juga: Yang Tak Dilihat dari Cuti Perawatan: Tanggung Jawab Bersama, Bukan Beban Perempuan

Membangun Masa Depan Pekerjaan Perawatan

Menurut Early, lapisan masyarakat menjadi faktor rendahnya rekognisi pekerjaan perawatan di Indonesia. Padahal, rekognisi adalah langkah awal untuk mewujudkan ekosistem pekerjaan perawatan. Dengan mengenali dan mengakui, pekerjaan perawatan akan bernilai produktif sehingga bisa mencapai kesejahteraan fisik, psikologis, dan sosial.  

Untuk mencapai kesejahteraan tersebut, pemerintah bisa berinvestasi dalam bentuk kebijakan perlindungan sosial yang komprehensif. Artinya mencakup seluruh lapisan masyarakat—dari jaminan kecelakaan, kesehatan tenaga kerja, cuti melahirkan dan cuti ayah, serta dana pensiun. Pertanyaannya, dari mana biaya itu bisa disalurkan?

Early mengatakan, pemerintah bisa menetapkan mekanisme asuransi secara bertahap bagi semua orang di usia kerja, seperti Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Dengan sistem iuran, pemerintah memiliki layanan dana untuk mendukung berbagai kebutuhan masyarakat, misalnya fasilitas penitipan anak dan tunjangan kehamilan.

Harapannya, masyarakat tak hanya menerima jaminan semasa bekerja, tetapi juga setelah pensiun. Tujuannya supaya enggak membebankan anggota keluarga yang masih bekerja, seperti saat ini.

Sebenarnya, yang dibutuhkan untuk mewujudkan kebijakan perlindungan sosial tak hanya dari mekanisme asuransi. Ada pekerja informal di bidang perawatan yang perlu diakui—seperti PRT, suster perawat lansia, dan babysitter.

Mereka adalah aktor di balik pekerjaan perawatan, yang sering tak tersorot lantaran aktivitasnya dianggap bukan pekerjaan. Karena itu, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) perlu segera disahkan. Layaknya jenis pekerjaan lain, pekerja di sektor ekonomi perawatan juga membutuhkan perlindungan hukum yang mencakup upah, hubungan kerja, ranah pekerjaan, dan waktu kerja.

Setelah adanya pengakuan, barulah diikuti kepemilikan BPJS Ketenagakerjaan, agar ketersediaan layanan juga menunjang pekerjanya. Namun, apabila bagi pemerintah mekanismenya berat untuk dilakukan, Early menyarankan untuk menguatkan infrastruktur layanan daycare berkualitas.

“Misalnya yang ideal dalam 20 tahun ke depan, tiap satu desa punya daycare. Tapi bertahap, dari area padat seperti perkotaan yang rata-rata ibunya bekerja,” terangnya.

Dari perspektif pemerintah, upaya rekognisi pekerjaan perawatan dilakukan lewat penyusunan peta jalan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029.

Asisten Deputi PUG Bidang Ekonomi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Dewa Ayu Laksmi mengatakan, mereka bekerja sama dengan ILO, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Keuangan, Kementerian Ketenagakerjaan, dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB).

“Itu juga yang menjadi tantangan kami, untuk menyamakan persepsi terkait kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan,” jelas Laksmi.

Peta jalan itu nantinya mencakup jaminan sosial—termasuk bagi pekerja informal, fasilitas daycare, dan layanan bagi kelompok lanjut usia (lansia). 

Sementara di bidang perusahaan, mereka bisa mendukung pekerja perempuan dengan memahami norma gender diskriminatif yang masih berlaku—seperti proses rekrutmen yang mensyaratkan perempuan belum menikah, dan membatasi promosi jabatan bagi perempuan yang punya tanggung jawab keluarga. Perilaku diskriminatif ini merugikan perempuan dalam perkembangan karier.

Meski demikian, Wita mengatakan ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk merekognisi pekerjaan perawatan di perusahaan. Pertama, menyadari perbedaan perempuan dan laki-laki hanya terdapat di fungsi reproduksi. Namun, ini cukup sulit dipahami karena di Indonesia sering kali menggunakan narasi agama, seperti kodrat perempuan menjadi ibu dan ayah mencari nafkah.

Kedua, perusahaan membuat kebijakan dan menyediakan fasilitas yang adil dan setara. Contohnya menyediakan ruang laktasi dan fleksibilitas menyusui.

Ketiga, membangun budaya perusahaan dengan komitmen dari pimpinan. Yaitu mengadakan training terkait bias gender untuk karyawan, melibatkan perempuan dalam diskusi, dan menunda proses mutasi pekerja perempuan sampai merasa siap.

IBCWE sendiri memiliki program “Lelaki Turut Serta” untuk menciptakan ruang aman bagi karyawan laki-laki, dengan mendiskusikan tantangan yang dihadapi dalam menjalani peran di sektor domestik maupun sebagai profesional. Mereka juga sharing artikel atau film untuk membangun upaya kesetaraan.

“Kami ingin membangun kesadaran mereka, upaya kesetaran itu bukan hanya tugas perempuan untuk mendobrak, tapi juga laki-laki,” tutur Wita.

Sependapat dengan Wita, Early pun menegaskan pentingnya keterlibatan laki-laki. Sebab, peran ganda yang dialami perempuan juga didorong oleh pemahaman, tak perlu ada pembagian tugas perawatan. Riset ILO bersama KIC menyatakan, responden laki-laki meyakini pekerjaan perawatan lebih pantas dilakukan oleh perempuan.

Untuk keterlibatannya bisa melakukan berbagai pendekatan sekaligus pemahaman, laki-laki yang mengerjakan tugas perawatan bukan berarti feminin. Contohnya mengajarkan hal-hal tertentu yang belum bisa dilakukan—seperti mengganti popok. Atau lewat hobi dan aktivitas harian yang biasa dilakukan—olahraga, jalan-jalan, merakit barang. Yang penting, kebutuhan laki-laki tersalurkan sehingga dapat membantu tugas perawatan.

Dalam rangka Hari Ibu Nasional 2023, Magdalene dan ILO meluncurkan series liputan jurnalisme data bertema “Urgensi Ekonomi Perawatan Jilid 2”. Ada satu artikel utama dan 2 artikel lainnya yang tayang setiap pekan. Jika kamu menyukai liputan visual, Magdalene juga membuat laporan berformat video yang bisa diakses di Youtube kami.

Penanggung jawab/Pemimpin Redaksi: Devi Asmarani

Redaktur Pelaksana: Purnama Ayu Rizky

Editor: Aulia Adam

Reporter/ Periset:

Aurelia Gracia, Jasmine Floretta, Chika Ramadhea, Natanael F Gulo

Desainer Grafis: Jeje Bahri, Della Nurlaelanti Putri

Juru Kamera dan Editor: Tommy Triardhikara

Web Developer: Denny Wibisono

Media Sosial: Siti Parhani

SEO Specialist: Kevin Seftian

Community Outreach: Paul Emas



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *