Issues

Kekerasan Anak Aghnia Punjabi, Tak Mudah buat Ibu Pekerja Tinggalkan Anak

Banyak warganet yang menyalahkan Aghnia Punjabi buntut kekerasan yang dialami sang anak. Saya ngobrol dengan dua ibu pekerja tentang sulitnya mereka tinggalkan anak di rumah.

Avatar
  • April 4, 2024
  • 7 min read
  • 1597 Views
Kekerasan Anak Aghnia Punjabi, Tak Mudah buat Ibu Pekerja Tinggalkan Anak

Pekan lalu, anak influencer Aghnia Punjabi menjadi korban kekerasan oleh pengasuhnya, (28/3) dini hari. Hal itu terjadi saat Aghnia dan suami pergi ke Jakarta untuk menghadiri acara selama dua hari. Sehingga, keduanya memutuskan untuk menitipkan anak ke pengasuh.

Buntut kekerasan, korban menderita luka memar dan bengkak di wajah, termasuk bagian mata. Setelah mengetahui penyebabnya dari CCTV dan mengusut kasus ke polisi, Aghnia membagikan kejadian itu ke media sosial. 

 

 

Namun, respons netizen terbelah dua: Ada yang bersimpati, tapi tak sedikit menyalahkan Aghnia karena menggunakan jasa pengasuh untuk merawat anak. Netizen menilai, sebagai ibu, seharusnya Aghnia enggak bekerja dan mengasuh anaknya sendiri. 

Respons tersebut menunjukkan, netizen gagal memahami bahwa kekerasan seharusnya tak terjadi pada anak Aghnia—atau siapa pun. Mereka tak melihat dilema yang dialami ibu pekerja, lantaran harus meninggalkan anak dan memercayakan orang lain untuk mengurus. 

Baca Juga: Daycare adalah Dukungan untuk Ibu Pekerja 

Dilema Ibu Pekerja 

Pandangan tersebut dilatarbelakangi oleh pola pikir patriarkal, yang membatasi perempuan dan laki-laki berdasarkan peran gender normatif. Laki-laki bekerja di ranah publik, sedangkan perempuan sebatas melakukan perawatan di rumah—seperti mengasuh anak dan melakukan pekerjaan rumah tangga. 

Menurut aktivis dan akademisi Dorothy Dinnerstein dalam The Mermaid and The Minotaur (1976), masyarakat menganggap perempuanlah yang sepenuhnya memegang ranah domestik, serta harus selalu mendampingi dan melindungi anak. Karenanya, masyarakat menyalahkan perempuan saat terjadi kesalahan dalam urusan rumah tangga—salah satunya terjadi dalam kasus kekerasan anak Aghnia. 

Ironisnya, ketika perempuan tidak menjalankan perannya sebagai istri dan ibu dengan baik menurut lensa patriarki, mereka merasa bersalah lalu menyalahkan diri sendiri. Seolah gagal menjadi ibu, atau istri yang baik. Ini terjadi karena perempuan menginternalisasi peran gender normatif yang melekat di masyarakat. 

Perasaan bersalah itu pun diungkapkan Aghnia lewat postingan Instagram. Aghnia menyebut dirinya sebagai ibu yang buruk, gagal, layak mati, dan merasa berhak dihukum atas peristiwa yang terjadi pada anaknya. 

Yang enggak disadari masyarakat, tak mudah bagi ibu pekerja ketika harus mendelegasikan perawatan anak pada orang lain. Mereka memikirkan risiko apabila pengasuh tak bertanggung jawab, atau sebagai ibu belum meluangkan cukup waktu bersama anak. 

Situasi itu dihadapi Arni, 35, pekerja swasta dan ibu dari dua anak. Selama Arni dan suami bekerja, anak-anaknya diasuh oleh ibu Arni. Kesibukannya mencari nafkah membuat Arni tak bisa sepenuhnya menyaksikan tumbuh kembang anak. Terlebih kedua anak Arni sudah sekolah. 

Karena itu, sebisa mungkin Arni terlibat dalam berbagai keseharian anak. Seperti mengantar jemput di sekolah, atau datang ke kegiatan mereka. Arni juga mengambil cuti kantor atau izin pada atasan, untuk merawat anak-anak saat sakit. 

Baca Juga: ‘Working from Home’ bagi Ibu Bekerja adalah Mitos 

Meski demikian, ada momen yang membuat Arni merasa bersalah, lantaran tak bisa selalu mendampingi anak-anak. Waktu itu, anak sulung Arni bertanya, kenapa ibunya harus bekerja dan jarang jemput di sekolah. Enggak seperti ibu teman-temannya yang selalu hadir. 

“Pas dengar anakku ngomong gitu, rasanya deg. Merasa bersalah juga,” ucap Arni. 

Pilihan untuk jadi ibu rumah tangga sebenarnya sempat dipertimbangkan Arni dan suami sebelum punya anak. Ada dua hal yang mereka pikirkan saat itu: Arni harus beradaptasi dari rutinitas sebagai perempuan pekerja ke ibu rumah tangga, dan kebutuhan hidup yang tak tercukupi jika hanya suami Arni yang bekerja. Kedua alasan inilah yang mendorong Arni untuk tetap bekerja.  

Melihat respons netizen yang menyalahkan Aghnia maupun yang memandang buruk ibu pekerja, Arni justru menyayangkan. Sebab, netizen tak memahami kehidupan ibu pekerja, sampai harus menitipkan pengasuhan anak pada orang lain. 

“Ibu pekerja itu enggak sekadar bekerja. Ada alasan sendiri kenapa (seorang ibu) harus bekerja, tapi kan orang-orang enggak tahu,” ungkap Arni. 

Perihal tak bisa selalu mendampingi anak, hanyalah satu hal dilematis yang dialami ibu pekerja. Mereka juga harus mempertimbangkan pengasuhnya: Apakah menitipkan anak pada orang tua, daycare, atau pengasuh. 

Kondisi tersebut dialami Laura, 35. Selama hamil anak kedua, Laura dan suami menitipkan anak sulungnya di rumah orang tua Laura, di Cilegon, Banten. Ini lantaran mereka harus bekerja, dan membutuhkan bantuan orang lain untuk merawat anak. 

Di sisi lain, Laura merasa tersiksa karena harus berhubungan jarak jauh dengan anak. Ia hanya bertemu seminggu sekali di akhir pekan. Itu pun perlu mengeluarkan biaya lagi untuk transportasi. 

Untuk mencari opsi lain, Laura dan suami sempat meninjau daycare di sekitar kantor maupun rumah. Sayang, biayanya tak masuk akal. Dari segi jam operasional pun enggak efektif karena layanan tersebut hanya buka sampai jam lima sore. Sedangkan kantor Laura dan suami terletak di Jakarta, dan daycare berada di BSD, Tangerang Selatan. 

“Akhirnya kami cari pengasuh. Itu pun sulit, sempat beberapa kali ganti karena nggak cocok. Sampai ketemu pengasuh yang sekarang, udah empat tahun (mengasuh anak-anak),” tutur Laura. 

Sebelum memutuskan untuk mempekerjakan pengasuh, Laura sempat ragu. Butuh waktu baginya sebelum memercayakan anaknya pada orang lain. Maka itu, Laura memilih pekerja yang direkomendasikan kenalan, dibandingkan dari yayasan. 

Saat menyeleksi pun, daripada mengajarkan apa saja yang perlu dilakukan, Laura memilih melihat langsung pendekatan pengasuh pada anak. Menurutnya, dengan cara tersebut, pengasuh bisa menemukan kecocokannya dengan anak dan menumbuhkan rasa sayang. 

“Terus aku izin kerja di rumah selama satu sampai dua minggu, untuk memantau langsung pekerjaannya. Kalau udah deket sama anak, aku balik ke kantor dan ngawasin lewat CCTV,” terang Laura. 

Dari cerita Arni dan Laura, kita bisa melihat, menyeimbangkan peran sebagai ibu sekaligus pekerja bukan sesuatu yang mudah. Karenanya, hal paling sederhana yang bisa dilakukan adalah mendukung mereka. 

Baca Juga: Salah Sendiri Punya Anak: Derita Orang Tua di Era Pandemi 

Mendukung Ibu Pekerja 

Alih-alih melanggengkan peran gender normatif yang menuntut perempuan sepenuhnya melakukan tugas domestik dan pengasuhan, seharusnya masyarakat menunjukkan support untuk ibu pekerja.  

Misalnya dengan memahami, menjadi ibu pekerja atau memerlukan bantuan orang lain dalam mengurus anak, bukan berarti mengurangi keibuan seseorang. Masyarakat juga perlu berhenti menyalahkan ibu, ketika insiden terjadi di ranah rumah tangga. Sebaliknya, kita perlu melihat gambar yang lebih besar dari suatu peristiwa. Atau pada kasus yang dialami Aghnia, sesederhana bersimpati dan menyemangati juga dapat memberikan dampak positif. 

Sebab, tanpa perlu menyalahkan, ibu akan merasa bersalah saat sesuatu yang buruk terjadi pada anaknya. Keadaan ini disebut mom guilt, yang umumnya terjadi ketika orang tua merasa tak mampu mengasuh anak dengan baik.  

Hal itu diamini Laura. “Tanpa disalahkan, kami (ibu pekerja) merasa bersalah nitipin anak sama orang lain,” ucapnya. “Saya juga pengennya 24 jam sama anak-anak, tapi kan mesti kerja untuk mencukupi kebutuhan.” 

Kepada PsychCentral, psikolog klinis Ellen Kolomeyer menjelaskan, mom guilt muncul dari kekhawatiran dalam parenting untuk melakukan segala hal terbaik bagi anak. Perasaan itu dilatarbelakangi oleh banyaknya informasi terkait parenting yang diterima. Contohnya dari keluarga, sesama orang tua, medsos, pakar pengasuhan anak, serta perbandingan sosial. Alhasil, ketika tidak memenuhi “standar” tersebut, orang tua menganggap dirinya enggak cukup baik. 

Dampaknya, ibu akan merasa kewalahan, mengalami kecemasan dan gangguan tidur, buruknya kesehatan mental, berbicara negatif pada diri sendiri, serta harga diri yang rendah. 

Beberapa hal tersebut menggarisbawahi pentingnya dukungan pada ibu—dan setiap ibu membutuhkan dukungan yang berbeda. Bagi Arni, dukungan itu berbentuk keterlibatan suami. Baik dalam menyelesaikan pekerjaan domestik, maupun mengurus anak. 

Kebutuhan Arni selaras dengan penjelasan Dinnersteins. Ia menyebutkan, pengasuhan ganda merupakan cara untuk berhenti membebankan tugas perawatan anak pada perempuan, menghapus ketimpangan gender, sekaligus mendorong ibu memiliki kuasa atas dirinya sendiri—sehingga enggak perlu mendengarkan omongan orang lain terkait pola pengasuhannya. 

Sementara Laura lebih ingin mendengar kata-kata positif, yang menyemangati kesehariannya sebagai ibu pekerja. “Makanya aku pun sering share tentang anak-anak dan kelelahanku di medsos. Bukan sekadar ngeluh, tapi sharing aja untuk saling support (ke sesama ibu),” katanya. 



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *