Kasus KBGO Masih Marak, Bukti Platform Medsos Belum Jadi Ruang Aman
Kampanye 16HAKTP Remotivi dan SAFEnet menyoroti perlindungan terhadap korban KBGO di internet.
Bayangkan kamu bangun di suatu pagi setelah menerima pemberitahuan dari teman, bahwa foto dan video intimmu berseliweran di media sosial. Inilah yang diceritakan Magdalene dalam series liputan ancaman deepfake–salah satu kejahatan berbasis gender online (KBGO)—September lalu. Salah satu grup telegram bernama Rahasia Mantan, beranggotakan 25 ribu orang, menyebarkan konten pornografi dan gambar intim non-konsensual (NCII) dari para perempuan. Konten ini kemudian menyebar luar dan viral di Twitter (sekarang X).
Biasanya, para pengguna akan mengirim foto dan nama akun Instagram perempuan yang jadi target. Setelah itu, dengan menggunakan teknologi AI, admin bakal menyulapnya sebagai konten pornografi. Salah satu korban pernah call out kasus ini dan meminta ke admin Rahasia Mantan agar foto ia dihapus tapi diabaikan.
Maraknya kasus KBGO dengan motif yang kian beragam ini, membuat lembaga kajian media dan komunikasi Remotivi fokus mengangkatnya dalam momentum peringatan 16 HAKTP atau Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan tahun ini. Menggandeng SAFEnet, mereka menilai media sosial hingga kini masih belum jadi ruang aman buat para korban KBGO. Salah satunya tentang ketiadaan mekanisme pelaporan yang mudah dalam kasus KBGO di media sosial.
Baca juga: Ancaman Deepfake: KBGO dan Gerak Perempuan yang Makin Rentan
Peningkatan Kasus KBGO Setiap Tahun
SAFEnet sendiri mencatat ada peningkatan dari 60 kasus KBGO pada 2019 menjadi 2.055 kasus pada 2021. Sebanyak 1.077 aduan (52,40 persen) di antaranya berupa penyebaran konten intim non-konsensual.
Senada dengan temuan SAFEnet, Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) juga mencatat peningkatan laporan KBGO pada perempuan. Dari sebanyak 97 kasus pada 2018 menjadi 4.736 kasus pada 2022. Pola kasusnya pun sama masih didominasi oleh penyebaran konten intim non-konsensual disertai dengan sextortion, pemaksaan untuk melakukan sesuatu melalui ancaman dengan memiliki, atau mengklaim memiliki, konten seksual orang lain.
Pada 2023 hasil pantauan SAFEnet selama Januari sampai September saja sudah ada 647 aduan. Ada 236 kasus ancaman NCII, 178 kasus sextortion atau sekstorsi, dan 155 kasus NCII. Kasus-kasus ini hanya yang terlihat dari laporan saja, tapi justru masih ada banyak lagi kasus lain yang korbannya enggak pernah mengajukan aduan. Karena mereka takut untuk mengadu dan sebagian enggak tahu harus mengadu di mana.
“Namun sayang kasus-kasus KBGO ini biasanya viral dan mendapat perhatian masyarakat karena berkaitan dengan public figure. Sehingga banyak kasus yang ditangani oleh organisasi penyedia bantuan sering kali tak mendapat perhatian yang lebih,” ujar Bhenageerusthia, Manajer Program Media dan Keberagaman, Remotivi, saat hadir sebagai salah satu narasumber penutupan 16 HAKTP, (19/12).
Baca juga: Korban KBGO Belum Terlindungi, Desak Pemerintah Cabut Pasal Karet UU ITE
Yang Bisa Dilakukan
Sebetulnya KGBO di Indonesia itu sudah mempunyai beberapa regulasi yang bisa dijadikan acuan dalam penanganan. Seperti pasal-pasal di KUHP, UU ITE Pasal 27 ayat 1, UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, dan yang terbaru UU TPKS Pasal 14 ayat (1) dan (2).
“Terkait regulasi tadi, ada beberapa pasal karet seperti yang ada di KUHP. Misalnya pasal di KUHP, UU ITE Pasal 27, dan UU Nomor 44 tentang Pornografi. Mereka selalu mengambil sudut pandang dari kesusilaan. Makanya kalau kita ngomongin masalah kesusilaan, pasti ada kemungkinan juga korban KBGO ini yang diserang balik ketika ia melapor ke aparat penegak hukum. Karena mereka melihatnya dari sisi kemanusiaan,” ucap Wida Arioka, Divisi Kesetaraan dan Inklusi SAFEnet yang juga hadir pada acara yang sama.
Hal ini juga diamini oleh Bahrul Fuad, Komisioner Komnas Perempuan yang mengatakan undang-undang yang sudah ada sering kali malah memiliki keterbatasan dalam merespons perkembangan modus kekerasan seksual yang terjadi secara online. Yang lebih disayangkan, dalam beberapa kasus, aparat malah mengkriminalisasi korban menggunakan UU ITE dan UU Pornografi.
Terkait UU TPKS, kata Wida, meski sudah berpihak pada korban dan menjamin hak-hak mereka mulai dari penghapusan konten, namun perlu dikawal juga aturan turunan yang lebih detail. Harapannya, aparat dan masyarakat semakin memahami teknis penanganan konten, barang bukti, atau proses rehabilitasi yang mungkin dilakukan.
Baca juga: Sisi Gelap Roleplay: Celah Rentan Terjadinya KBGO
Untuk menutup momentum 16 HAKTP ini, Remotivi, SAFEnet, dan Komnas Perempuan menyuarakan beberapa tuntutan pada platform media sosial, seperti:
1. Memiliki community guideline atau aturan komunitas dan panduan keamanan dan kesetaraan, yang sesuai dengan perspektif HAM serta secara khusus anti-KBGO, mendorong perlindungan terhadap perempuan dan ekspresi gender marginal, serta mengkampanyekannya sebagai informasi dan pendidikan dalam pencegahan KBGO.
2. Menyediakan sistem pelaporan/aduan yang memudahkan korban serta user friendly, mengakomodasi perspektif anti-KBGO dan perlindungan terhadap korban.
3. Membuka peluang kerja sama dengan Aparat Penegak Hukum (APH) terkait dengan penanganan konten bermuatan KBGO dengan membuat skema pemberitahuan penurunan konten bagi korban yang dapat digunakan sebagai bukti untuk memproses secara hukum.
Baca Juga: Neraka Jurnalis Perempuan: Kena KBGO, Tak Dilindungi Perusahaan Media
4. Merespons laporan/aduan secara cepat dan tanggap dengan segera menurunkan konten KBGO yang dilaporkan.