Peran Perempuan Vital dalam Restorasi Lahan Gambut
Hilang dan terbakarnya ratusan ribu hektar lahan gambut dapat diatasi dengan keterlibatan perempuan.
Beberapa tahun yang lalu, Unan merasa patah hati ketika harus menjelaskan ke anak pertamanya bahwa mereka belum mampu untuk mendaftarkannya ke sekolah yang diinginkannya karena kesulitan biaya. Namun hal itu kemudian mendorong semangat perempuan berusia 40an tahun itu untuk terus menganyam purun bersama perempuan-perempuan desa lainnya di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan.
“Alhamdulilah, dari hasil anyaman saya itu sekarang anak pertama saya sudah kuliah di Banjarmasin dan anak kedua saya sudah masuk SD,” ujar Unan yang hadir pada diskusi Jurnal Perempuan untuk merayakan Hari Perempuan Pedesaan Nasional di Jakarta (15/10).
Purun adalah jenis rumput yang tumbuh di lahan gambut, biasanya dijadikan tas, bakul, juga topi atau tikar. Kegiatan menganyam purun sudah diwariskan dari generasi ke generasi perempuan di Kalimantan Selatan selama kurang lebih 500 tahun. Namun seperti halnya industri kecil lainnya yang digerakkan oleh perempuan, akses terhadap permodalan serta ruang gerak sempit akibat domestikasi menjadi faktor penghambat. Selain itu, populasi purun pun menurun akibat degradasi ekosistem gambut.
Luas area gambut di Indonesia awalnya mencapai hingga lebih dari 20 juta hektar dan tersebar di Sumatera hingga Papua. Tetapi karena kurangnya pengetahuan tentang manfaat gambut, lahan gambut terus dihilangkan dan dikeringkan untuk perkebunan kelapa sawit. Pada Juni hingga September 2014 saja sudah ada 4.000 hektar gambut yang hilang untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan luas lahan gambut yang terbakar mencapai 227 ribu hektar selama 2019 ini.
Catharina Indriastuti, spesialis gender Kemitraan Indonesia, mengatakan, anggapan tentang gambut yang tidak bermanfaat inilah yang menjadi dasar mengapa lahan gambut terus berkurang bahkan hingga sekarang. Padahal gambut adalah materi organik yang terbentuk secara alami dari sisa-sisa tumbuhan berkayu yang tidak terurai sempurna dan berfungsi untuk mencegah banjir dan menjamin pasokan air bersih sepanjang tahun, ujarnya.
“Mengeringkan gambut juga adalah salah satu faktor besar dalam kebakaran hutan. Jika kering, gambut menjadi sumber utama emisi gas rumah kaca. Selain itu, gambut yang kering juga menjadi bahan bakar yang sulit dipadamkan karena tumpukan gambut sangatlah dalam dan dapat menjalar ke tempat lain,” ujarnya.
“Jika mencoba untuk memadamkannya, yang akan padam hanyalah bagian permukaan, dan api ini bahkan bisa bertahan hingga berbulan-bulan,” lanjutnya.
Memburuknya kondisi lingkungan ini menyebabkan ekosistem purun dan gambut terancam, sehingga menghambat perempuan untuk melanjutkan tradisi menganyam purun dan melemahkan kemandirian ekonomi perempuan pedesaan.
“Kalau kita membahas tentang kebakaran hutan, kita akan selalu berpikir secara otomatis bahwa yang turun ke lapangan adalah laki-laki, yang terkena dampak hanya laki-laki. Padahal ketika kita datang ke desa, kita bisa melihat perjuangan dan kesulitan perempuan-perempuan desa yang tidak terlihat oleh kebanyakan orang,” kata Catharina.
“Saya pernah mendengar cerita tentang seorang ibu di Kalimantan Tengah, seorang janda yang tinggal sendiri di sebuah rumah kecil di tengah-tengah perkebunan. Pada saat terjadi kebakaran, rumahnya dikepung. Tentu perempuan juga turun ke lapangan dan terpengaruh oleh kebakaran hutan, itu kan juga lahan mereka.”
Baca juga: Pentingnya Dorong Keterlibatan Perempuan Muda dalam Sektor Pertanian
Ia juga menjelaskan bahwa selain berkontribusi dalam kerusakan lingkungan dan melemahkan kemandirian ekonomi perempuan, ada ketidakadilan gender dalam degradasi ekosistem gambut ini. Isu-isu yang muncul adalah sebagai berikut:
1. Migrasi laki-laki dan anak-anak muda
Degradasi ekosistem gambut berakibat laki-laki dan anak muda migrasi ke daerah lain untuk mencari sumber penghidupan yang baru. Yang sering tidak terlihat akibatnya adalah meningkatnya perempuan-perempuan yang menjadi kepala keluarga karena migrasi ini.
2. Adanya pemiskinan perempuan dan kelompok marginal
Karena hilangnya kemandirian pangan akibat lahan-lahan yang terbakar, terjadi pemiskinan perempuan dan kelompok marginal. Ini beralih ke perempuan petani menjadi buruh harian lepas dalam perkebunan sawit dengan segala risiko kerja tak terlindungi.
3. Tingginya risiko kesehatan perempuan dan anak
Sementara itu, degradasi ekosistem gambut juga menyebabkan langkanya air bersih dan meningkatnya polusi asap karena kebakaran hutan yang terjadi setiap tahun. Ini dapat berdampak kepada kesehatan reproduksi, infeksi dan juga penyakit saluran pernapasan lainnya.
4. Tingginya angka kawin anak perempuan
Karena kondisi ekonomi keluarga sering kali tidak stabil, anak perempuan sering kali disuruh untuk menikah saja. Bahkan, daerah gambut termasuk daerah yang paling banyak perkawinan anak. Menurut Koalisi Perempuan pada tahun 2017, dari seluruh jumlah pernikahan anak di bawah 18 tahun di Indonesia 40 persen darinya di Kalimantan Selatan; 40 persen di Kalimantan Tengah; 36 persen di Kalimantan Barat; dan kemudian diikuti dengan Jambi, Sumatera Selatan dan Riau.
5. Tingginya angka stunting
Selain perkawinan anak perempuan yang tinggi, angka stunting atau tidak optimalnya tumbuh kembang anak akibat kurang gizi, juga tinggi akibat kondisi perekonomian keluarga di daerah gambut. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan juga Riau termasuk menjadi provinsi dengan tingkat stunting yang tinggi.
6. Berkurangnya pengetahuan perempuan
Bersamaan dengan hilangnya tanaman, berkurang juga pengetahuan perempuan seperti tentang obat-obatan yang herbal atau dari alam, bahan baku anyaman, bahan pangan lokal dan banyak lainnya.
7. Tingginya angka putus sekolah pada anak-anak dan kelompok marginal
Meningkatnya angka putus sekolah pada anak dan kelompok marginal, terutama di wilayah pesisir. Ini disebabkan oleh kecenderungan mereka untuk lebih memilih bekerja di kapal daripada harus bersekolah.
Menurut Myrna Asnawati Safitri, Deputi III Badan Restorasi Gambut (BRG), semua masalah ini dapat dicegah dengan keterlibatan perempuan dalam upaya restorasi lahan gambut.
Restorasi lahan gambut sudah tertulis dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut dan dapat dilakukan dengan tiga konsep, yaitu pemulihan hidrologi, vegetasi, dan daya dukung sosial-ekonomi ekosistem gambut yang terdegradasi, ujarnya. Selanjutnya adalah perlindungan ekosistem gambut, serta pemanfaatan ekosistem gambut berkelanjutan.
“Namun pemulihan ini susah untuk dicapai kalau tidak ada niat atau kemampuan untuk terus merawatnya,” kata Myrna.
“Perempuan memiliki peran yang penting di dalam restorasi ini karena perempuan memiliki kemampuan yang unik untuk merawat sesuatu dengan baik dan peduli terhadap lingkungan,” lanjutnya.
“Saya percaya keterlibatan perempuan dalam restorasi lahan gambut akan membantu mempercepat pemulihan ekosistem gambut di tujuh provinsi ini dan berdampak baik pada ekonomi, sosial, dan ekologi.”
Ilustrasi oleh Sarah Arifin