Safe Space

Perbuatan Asusila, Kekerasan Seksual, dan Tafsir Masyarakat

Perkara kesusilaan sering dianggap wilayah abu-abu dan tak jarang diwarnai tindakan sewenang-wenang.

Avatar
  • November 30, 2021
  • 5 min read
  • 12032 Views
Perbuatan Asusila, Kekerasan Seksual, dan Tafsir Masyarakat

Di tengah sambutan positif masyarakat, Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) mendapat serangan-serangan dari kelompok konservatif. Mereka mempermasalahkan frasa “tanpa persetujuan” dalam aturan anyar Kemdikbud tersebut. Dalam hemat mereka, frasa itu dianggap membuka jalan bagi seks bebas, zina, atau perbuatan asusila.

Perbincangan tentang perbuatan asusila ini memang sering kali mendatangkan bermacam tafsir. Sebenarnya, seperti apa definisi perbuatan asusila dalam hukum kita? Dan bagaimana kaitannya dengan kekerasan seksual, hal yang menjadi fokus perhatian untuk dilawan melalui Permendikbud ini?  

 

 

Apa itu Perbuatan Asusila?

Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, kesusilaan diartikan sebagai perihal susila; adat istiadat yang baik, sopan santun; kesopanan; keadaban; dan pengetahuan tentang adab. Dengan demikian, tindakan yang melanggar kesusilaan atau asusila dapat dimaknai sebagai hal-hal yang bertentangan dengan adat dan nilai-nilai tersebut. 

Dalam wawancara dengan Magdalene (26/11), advokat pro bono di Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG) dan peneliti di Lembaga Bantuan Hukum Pers Jakarta, Mona Ervita, memaknai tindakan asusila sebagai “Perbuatan yang menyimpang dari norma yang ada di masyarakat, yang melanggar nilai kesopanan, agama, dan budaya.” 

Ia mencontohkan, berciuman di muka umum adalah salah satu hal yang dianggap tidak sesuai dengan norma kesopanan kita dan dianggap asusila.

Sementara dilansir HukumOnline, menurut R. Soesilo dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, kata kesopanan atau “kesusilaan” dikaitkan dengan perasaan malu yang berhubungan dengan nafsu kelamin. Misalnya bersetubuh, meraba alat kelamin perempuan, memperlihatkan alat kelamin perempuan atau laki-laki, mencium dan sebagainya.

Dalam hukum kita, perbuatan asusila diatur salah satunya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bab XIV, yang menggunakan bahasa “Kejahatan terhadap Kesusilaan”. Di dalamnya, terdapat 23 pasal (281-303) yang mengatur tentang berbagai hal terkait kesusilaan mulai dari pelanggaran kesusilaan di muka umum (termasuk memperlihatkan/menyebarkan/menawarkan konten asusila), zina, pemerkosaan, perbuatan cabul, aborsi, pemberian minuman memabukkan, mempekerjakan anak di bawah umur, penganiayaan hewan, hingga perjudian. 

Baca juga: Permendikbud Kekerasan Seksual yang Penuh ‘Catatan Kaki’

Definisi dan Tafsir yang Problematik

Dari hal-hal yang dicakup dalam bab XIV KUHP ini, kita dapat melihat lingkup perbuatan melanggar kesusilaan begitu luas. Ditambah lagi seiring waktu, terdapat regulasi-regulasi lain yang juga menyinggung perihal kesusilaan, seperti UU Pornografi dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).   

Akan tetapi menurut Mona, sebenarnya belum benar-benar jelas terkait masalah kesusilaan di KUHP karena tafsirannya masih karet. Sampai sekarang, definisi kesusilaan masih mengundang perdebatan baik di kalangan pakar hukum maupun masyarakat sendiri. 

“Contohnya soal zina. Zina yang dimaksud di KUHP berbeda dengan konteks Islam. Pacaran bisa dikatakan zina dalam Islam. Tapi di KUHP, seseorang dikatakan berzina apabila salah satunya terikat perkawinan,” jelas Mona.

Ia menambahkan, pasal-pasal kesusilaan yang ada sekarang ini dalam hukum kita belum mengakomodasi berbagai bentuk tindakan kekerasan seksual yang jamak di masyarakat. Padahal, kekerasan seksual jelas melanggar nilai agama maupun budaya yang berlaku.  

Pemaknaan yang bervariasi terkait perbuatan asusila dapat berimbas buruk bagi perlindungan korban kekerasan seksual. Mona mencontohkan, dalam mendampingi salah seorang korban kekerasan berbasis gender online (KBGO), ia sempat mendapati polisi yang mengenakan pasal pornografi kepada korban. 

“Padahal, si korban dimanipulasi oleh pelaku untuk membuat konten seksual dan kemudian konten tersebut disebarkan oleh pelaku. Karena itu, orang yang saya dampingi menjadi korban dua kali: Jadi korban kekerasan seksual dan korban kriminalisasi,” kata Mona.  

Faktanya, Permendikbud itu justru berusaha memerangi berbagai bentuk kekerasan seksual–suatu hal yang bertentangan dengan kesusilaan–yang dalam KUHP hanya disebutkan sebagian.

Lebih lanjut, Mona menyayangkan tafsiran kelompok masyarakat tersebut yang terlalu melebar, khususnya dalam memaknai frasa “tanpa persetujuan” yang disebut-sebut dalam Permendikbud PPKS. Mereka menilai, kalau ada frasa tersebut, berarti ada kondisi dengan persetujuan yang tidak diatur oleh Permendikbud itu dan serta merta diartikan membolehkan zina atau perbuatan asusila.

“Kita harus memahami dan membaca baik-baik konteks dalam peraturan pemerintah. Dalam pembuatan kebijakan itu, ada asas legalitasnya: jika menyinggung hal yang sudah dirumuskan, ada unsur seperti yang disebutkan, itulah yang dimaksud tindak pidana,” jabar Mona.

“Di sini [Permendikbud] juga sudah ada kata korban, bukan orang, bukan siapa pun. Korban artinya dia yang merasakan kekerasan fisik/nonfisik/secara daring. Sebenarnya Permendikbud ini sudah bagus sekali, tetapi orang masih salah kaprah dalam membacanya.” 

Pembahasan mengenai konsep persetujuan atau “consent” memang kerap mendatangkan pro-kontra yang tak habis-habis di masyarakat dan pemangku kepentingan kita. Sebelum Permendikbud PPKS dirilis saja, hal ini sudah menjadi perhatian dan hal yang dipermasalahkan sekelompok orang di DPR saat membahas tentang RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Karenanya, perbincangan tentang masalah kesusilaan, yang tidak bisa lepas juga dari konsep ini, sering masuk wilayah abu-abu tempat pihak-pihak tertentu bertarung untuk memenangkan kepentingannya.

Baca juga: Sedikit-dikit Dibilang Zina, Soal Seks Konsensual dalam Permen PPKS

Perlakuan Sewenang-wenang Petugas

Di tengah pemaknaan kesusilaan yang beragam, berulang kali muncul tindakan aparat yang mengundang macam-macam reaksi masyarakat: sweeping atau penggerebekan terhadap pasangan yang dianggap melakukan zina. Ketika berita terkait Satpol PP atau polisi menggerebek pasangan muda atau remaja di sejumlah hotel merebak, sebagian masyarakat menyetujui tindakan petugas tersebut karena merasa ini efektif memberi efek jera bagi mereka. Namun, sebagian lainnya merasa petugas dalam hal itu telah keluar dari kewenangannya dalam bertindak. Pun, definisi zina di KUHP yang ada sekarang tidak mengatur aktivitas seksual yang dilakukan orang-orang yang sama-sama ada di luar pernikahan.

“Dalam hal ini, ada ranah privat yang diintervensi oleh negara (melalui Satpol PP atau polisi yang melakukan sweeping). Pidana itu kan hukum publik, bukan privat. Urusan penggerebekan di hotel dengan dalih perbuatan zina atau percabulan sebenarnya bukan kewenangannya polisi atau Satpol PP,” ungkap Mona.

Ia mengatakan, berbeda konteksnya bila sweeping oleh petugas itu dilakukan di daerah yang punya peraturan berbasis syariat Islam: hal itu bisa dibilang legal. Atau, bila sweeping dilakukan atas dugaan tindak pidana lainnya seperti transaksi narkoba. 

“Jika tujuannya menggerebek hotel untuk kasus zina itu tidak dibenarkan,” kata Mona. 

Selain itu, Mona juga menyoroti adanya perlakuan diskriminatif dalam aksi sweeping petugas atas nama pemberantasan tindak asusila. 

“Kenapa yang di-sweeping hotel-hotel murah, sementara hotel-hotel besar atau bintang lima tidak dilakukan hal yang sama?” kata Mona. 

Ilustrasi oleh Karina Tungari 



#waveforequality


Avatar
About Author

Patresia Kirnandita

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *