Ketika Banjir Melanda: Krisis Iklim dan Beban Ganda bagi Perempuan
Banjir bukan hanya bencana alam bagi perempuan, namun juga berarti beban ganda yang mencakup pengasuhan, pekerjaan rumah tangga, dan tanggung jawab sosial.
Di penghujung Desember lalu, sejumlah kawasan di Surabaya dilanda banjir usai diguyur hujan sejak pukul 14.00 hinga 18.00. Sore itu (24/12), aktivitas transportasi lumpuh total, banyak rumah warga tergenang air, dan tidak sedikit kendaraan bermotor mogok akibat nekat menerjang banjir. Namun, berita yang paling mengerikan adalah hilangnya balita yang masuk ke selokan dan hingga sekarang belum ditemukan.
Malam itu saya berpapasan dengan Bu Idah, penjual gorengan langganan saya. Langkahnya terburu-buru karena anaknya demam dan ia juga ingin memastikan keluarganya cukup makan dan minum meski dapur rumah mereka terendam. Dengan keterbatasan bahan makanan dan air bersih, ia berimprovisasi menggunakan peralatan darurat untuk memasak. Selain itu, Bu Idah juga harus mencuci pakaian yang basah dan membersihkan lumpur yang terus masuk ke dalam rumah.
Betapa mengerikan banjir yang terjadi di kota-kota besar di Indonesia. Hanya karena hujan deras empat jam saja, timbul masalah yang kompleks. Apalagi jika hujan turun lebih dari itu.
Baca juga: Muslimah yang Menolak Menyerah di Tengah Krisis Iklim
Perempuan dan Krisis Iklim
Saat ini, banjir bukan lagi sekadar bencana alam musiman, melainkan manifestasi paling nyata dari krisis iklim. Krisis iklim menyebabkan atmosfer mampu menahan lebih banyak uap air, sehingga menghasilkan hujan dengan intensitas lebih tinggi dalam waktu singkat. Menurut laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), fenomena ini meningkatkan risiko banjir besar, terutama di wilayah-wilayah yang sebelumnya sudah rawan.
Tak hanya itu, krisis iklim juga semakin memperburuk ketimpangan sosial, dan perempuan sering kali menjadi kelompok yang paling rentan dan terdampak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Namun, dampak ini kerap diabaikan dalam diskusi kebijakan maupun langkah mitigasi.
Sejalan dengan itu, berdasarkan laporan UN Women (2022), krisis iklim memperburuk ketidaksetaraan gender yang sudah ada. Perempuan, terutama di wilayah pedesaan dan urban miskin, sering kali memiliki akses yang lebih terbatas terhadap sumber daya seperti tanah, pekerjaan formal, dan perlindungan sosial. Ketika banjir melanda, kerentanan ini menjadi lebih nyata. Mereka tidak hanya kehilangan tempat tinggal, tetapi juga harus menghadapi tanggung jawab tambahan dalam mengurus keluarga dan memastikan kebutuhan dasar terpenuhi.
Baca juga: Krisis Iklim Persulit Korban Kekerasan Mengakses Keadilan
Perempuan di Garis Depan Krisis Banjir
Di Indonesia, menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), lebih dari 60 persen korban terdampak banjir adalah perempuan dan anak-anak. Seperti terlihat dalam situasi Bu Idah, perempuan sering kali berada di garis depan dalam memastikan keberlangsungan hidup keluarga. Ketika fasilitas dasar seperti air bersih dan sanitasi terganggu, beban ini meningkat berkali lipat.
Ketika banjir menghancurkan tempat tinggal, perempuan sering kali terpaksa tinggal di pengungsian yang tidak memadai. Di tempat-tempat ini, kurangnya fasilitas seperti air bersih, sanitasi, dan privasi menjadi tantangan serius. Risiko kesehatan meningkat, terutama bagi perempuan hamil dan anak-anak. Selain itu, beban emosional yang ditanggung perempuan sering kali lebih berat karena mereka merasa dan yang dianggap bertanggung jawab untuk menjaga stabilitas keluarga di tengah kekacauan.
Banjir dan situasi darurat lainnya juga meningkatkan risiko kekerasan berbasis gender. Dalam situasi pengungsian yang padat dan kurang aman, perempuan lebih rentan terhadap pelecehan, eksploitasi, dan kekerasan domestik. Laporan dari International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies (IFRC) pada tahun 2020 menunjukkan bahwa bencana alam sering kali memperburuk ketegangan dalam rumah tangga, yang dapat berujung pada peningkatan kekerasan terhadap perempuan.
Selain itu, perempuan sering kali kehilangan akses terhadap layanan kesehatan reproduksi selama krisis banjir. Kebutuhan seperti alat kontrasepsi, layanan kebidanan, dan perawatan pasca-melahirkan sering kali terabaikan. Hal ini memperburuk kerentanan mereka, terutama pada komunitas miskin yang sudah mengalami keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan.
Baca juga: 4 Kegagalan COP29: Seret Pendanaan Iklim hingga Hak Perempuan yang Diabaikan
Perempuan sebagai Agen Perubahan dalam Krisis Iklim
Meskipun perempuan sering kali menjadi pihak yang paling rentan dalam , mereka juga memiliki potensi besar untuk menjadi agen perubahan dalam menghadapi krisis iklim. Studi dari Climate Policy Initiative (2021) menunjukkan bahwa komunitas yang melibatkan perempuan dalam perencanaan mitigasi bencana memiliki tingkat keberhasilan yang lebih tinggi dalam mengurangi dampak bencana. Perempuan membawa perspektif unik yang sering kali lebih holistik, mulai dari pengelolaan sumber daya hingga membangun solidaritas komunitas.
Di beberapa daerah di Indonesia, perempuan telah mengambil peran penting dalam upaya adaptasi terhadap banjir. Misalnya, kelompok perempuan di desa-desa pesisir Jawa Tengah telah mengembangkan program pengelolaan mangrove sebagai benteng alami terhadap banjir rob. Inisiatif ini tidak hanya melindungi lingkungan tetapi juga menciptakan sumber penghidupan baru bagi komunitas setempat.
Namun, kontribusi perempuan sering kali tidak diakui atau didukung secara memadai. Menurut World Economic Forum (2023), hanya 20 persen dari posisi pengambil keputusan di bidang kebijakan lingkungan dan bencana dipegang oleh perempuan. Ketidakhadiran mereka dalam proses ini menunjukkan kurangnya perhatian pada kebutuhan spesifik yang mereka hadapi.
Baca juga: Seberapa ‘Relate’ Generasi Z dengan Isu Krisis Iklim? Ini Kata Mereka
Perspektif Gender Kunci Kebijakan Lingkungan
Mengatasi beban ganda perempuan dalam konteks banjir dan krisis iklim membutuhkan langkah nyata dan strategis. Pertama, kebijakan mitigasi dan adaptasi iklim harus dirancang dengan mempertimbangkan perspektif gender. Pemerintah dan organisasi non-pemerintah perlu memastikan bahwa kebutuhan perempuan, terutama akses terhadap fasilitas dasar, perlindungan sosial, dan keamanan di pengungsian, menjadi prioritas. Misalnya, penyediaan fasilitas sanitasi yang aman dan layak di pengungsian dapat mengurangi risiko kesehatan dan kekerasan terhadap perempuan.
Kedua, perempuan harus dilibatkan secara aktif dalam pelatihan mitigasi bencana, manajemen risiko, dan perubahan iklim. Dengan cara ini, mereka dapat menjadi agen perubahan yang efektif dalam menghadapi dampak krisis iklim. Program-program berbasis komunitas yang melibatkan perempuan, seperti pelatihan pemanfaatan teknologi ramah lingkungan, juga dapat meningkatkan ketahanan mereka terhadap bencana.
Ketiga, meningkatkan representasi perempuan dalam pengambilan keputusan. Representasi perempuan dalam pengambilan keputusan di tingkat lokal, nasional, dan internasional perlu ditingkatkan. Keterlibatan mereka akan memastikan bahwa kebijakan yang dihasilkan lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan spesifik perempuan. Kuota perempuan dalam lembaga terkait lingkungan dan bencana dapat menjadi langkah awal yang efektif.
Keempat, penguatan jaringan solidaritas perempuan. Jaringan solidaritas perempuan dapat menjadi alat yang kuat untuk meningkatkan ketahanan komunitas terhadap krisis. Kelompok-kelompok perempuan dapat berperan dalam berbagi informasi, pengalaman, dan sumber daya dalam menghadapi banjir dan dampak krisis iklim lainnya.
Krisis iklim adalah tantangan bersama, tetapi dampaknya tidak dirasakan secara merata. Perempuan, terutama mereka yang hidup dalam kemiskinan, memikul beban yang jauh lebih berat. Mengabaikan kenyataan ini hanya akan memperparah ketidaksetaraan dan memperlambat upaya kita untuk menghadapi krisis iklim secara holistik.
Jadi memang sudah saatnya perspektif gender menjadi inti dari setiap kebijakan lingkungan dan mitigasi bencana. Dengan memastikan perempuan tidak hanya sebagai korban tetapi juga sebagai pemimpin dalam upaya adaptasi iklim, kita dapat membangun masa depan yang lebih adil, tangguh, dan berkelanjutan. Seperti yang dikatakan oleh Christiana Figueres, mantan Sekretaris Eksekutif UNFCCC, “Perempuan adalah kekuatan utama dalam transformasi iklim. Ketika mereka diberdayakan, seluruh masyarakat akan bergerak maju.”
Uswah Sahal adalah mahasiswa pascasarjana Kajian Sastra dan Budaya Universitas Airlangga Surabaya.