Gugatan sebagai Deklarasi Kemenangan: Perempuan Pimpin Barisan Perceraian
Sepanjang 2025, belasan artis Indonesia resmi bercerai, termasuk Raisa-Hamish, Sherina Munaf-Baskara mahendra, Sabrina Chairunnisa-Deddy Corbuzier, Asri Welas-Galiech Ridha, hingga Tasya Farasya-Ahmad Assegaf Rahardja. Sebagian besar perceraian tersebut bermula dari gugatan istri.
Karena itu, bagi saya, perceraian-perceraian di atas menyimpan cerita perempuan yang berani menegaskan hidupnya sendiri. Dalam konteks ini, menggugat perceraian bukan tanda gagal melainkan keberanian dan penyelamatan diri.
Saya menyaksikannya sendiri minggu lalu. Sebagai saksi sidang perceraian sahabat, saya melihat ruang tunggu didominasi perempuan. Ada ketegangan, tapi juga aura keberanian yang nyata. Mereka datang bukan untuk menangis, melainkan mengambil kembali kendali atas hidup mereka. Setiap langkah di pengadilan adalah pernyataan diri: “Aku berhak bahagia, aku berhak aman, aku berhak dihormati.”
Baca juga: Belajar dari Kasus Sabrina, Benarkah Ibu Rumah Tangga Cukup Dibayar dengan Cinta?
Kenapa Perempuan Lebih Banyak Menggugat?
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024, tercatat 446.359 kasus perceraian, dengan mayoritas penggugat perempuan. Fenomena “cerai gugat” bukan sekadar angka melainkan mencerminkan pergeseran kuasa. Di era modern, perempuan semakin sadar akan hak, memiliki kemandirian finansial, dan berani mengambil keputusan sulit.
Keberanian itu lahir dari berbagai tekanan yang menumpuk. Ada mental load yang luar biasa. Perempuan harus mengurus pekerjaan rumah, anak, dan rumah tangga, sering kali sambil tetap bekerja di luar rumah. Suami yang pasif atau cuek membuat beban ini bertambah. Penulis komik asal Prancis, Emma, menyindir fenomena ini lewat The Mental Load. Ia menggambarkan beban mental yang kerap tak terlihat tapi nyata dirasakan perempuan.
Selain beban sehari-hari, perempuan menghadapi tindakan yang sulit diampuni seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perselingkuhan, poligami, atau keterlibatan suami dalam perjudian dan kriminalitas. Perceraian menjadi langkah protektif, bukan destruktif.
Di saat bersamaan, dukungan finansial juga mendorong keberanian ini. Semakin mandiri perempuan, semakin kecil toleransi terhadap hubungan merugikan. Pendidikan tinggi, karier mapan, dan akses sosial yang luas membuat perempuan lebih siap mengambil keputusan demi diri sendiri.
Sementara itu, laki-laki sering lebih nyaman mempertahankan status quo. Selama rumah tangga masih menguntungkan atau nyaman bagi mereka, perubahan dianggap tidak perlu. Ketimpangan ini menciptakan situasi di mana perempuan menanggung konsekuensi emosional dan finansial, sementara laki-laki relatif aman.
Baca juga: ‘Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah’: Menonton Pernikahan Sebagai Tokoh Antagonis
Kursi Kosong di Meja Hijau: Palu Hakim dan Beban Sosial
Sidang perceraian kerap memperlihatkan fenomena yang sama: Suami absen. Ketidakhadiran ini bukan sekadar malas, tapi bentuk penolakan menghadapi tanggung jawab dan kegagalan rumah tangga. Hadir berarti mengakui emosi, berdiskusi tentang hak anak, dan negosiasi harta. Banyak laki-laki memilih strategi penguluran waktu, sehingga gugatan perempuan menjadi proses yang lebih panjang dan melelahkan.
Tiga konsekuensi sosial selalu menunggu perempuan usai perceraian. Pertama, stigma negatif seperti julukan “janda”, “barang bekas”, atau anggapan bahwa ibu tunggal adalah gagal. Kedua, beban ekonomi bahwa meski ada hak nafkah, perempuan harus menagihnya sendiri, menghabiskan waktu dan energi yang seharusnya bisa digunakan untuk membangun hidup baru. Ketiga, perjuangan menegaskan diri di mana perempuan harus menghadapi pandangan masyarakat yang menilai nilai mereka berdasarkan status, bukan kualitas atau usaha.
Di sisi lain, perceraian selebriti membuktikan tren sosial baru. Perempuan semakin berani mengambil keputusan untuk diri sendiri. Publik mungkin ramai menyoroti drama, tapi keputusan ini adalah bentuk self-love dan empowerment. Mereka menegaskan batasan, menolak bertahan dalam hubungan merugikan, dan menegaskan hak hidup bahagia.
Palu hakim boleh diketuk, kursi di pengadilan boleh kosong karena absennya suami, tapi babak baru telah dimulai. Perceraian bukan aib, melainkan proses menyelamatkan diri dari hubungan yang tidak sehat, membangun hidup baru, dan menegaskan harga diri. Kepada perempuan yang menghadapi jalan ini: Kamu tidak sendirian, salah, apalagi gagal.
Gabby Allen – suka menulis isu perempuan, menjadikan narasi-narasinya sebagai bentuk kebebasan berpikir sekaligus senjata untuk melawan ketidakadilan.
















