December 8, 2025
Lifestyle Madge PCR Opini

Perempuan Matang dan Laki-laki yang Belum Selesai

Perempuan matang secara emosional sering jadi magnet bagi laki-laki yang belum berdamai dengan dirinya sendiri. Bagaimana ini terjadi?

  • November 17, 2025
  • 4 min read
  • 1177 Views
Perempuan Matang dan Laki-laki yang Belum Selesai

Di banyak percakapan soal relasi romantis, sering kali perempuan yang matang secara emosional jadi magnet bagi laki-laki yang “belum selesai” dengan dirinya sendiri. Mereka datang dengan niat tulus atau setidaknya tampak begitu. Mereka bicara soal “teman hidup,” “pasangan diskusi,” atau “pendamping.” Enggak jarang dibarengi dengan tingkah laku lembut, perhatian, niat baik. Singkatnya, semua terlihat ideal. 

Namun di bawah permukaan, pola ini menciptakan struktur terselubung di mana perempuan ditempatkan sebagai infrastruktur emosional, bukan mitra setara. 

Fenomena ini bukan cerita pribadi semata. Penelitian feminis lintas dekade menunjukkan hal serupa. bell hooks dalam All About Love (1999) menulis laki-laki sering tidak diajarkan bahasa cinta, cara mengelola emosi, atau bagaimana cara mengambil tanggung jawab emosional. Imbasnya, mereka memasuki hubungan sebagai pencari cinta, tetapi menolak proses emosional yang memungkinkan cinta berkembang. 

Meminjam pernyataan hooks, perempuan sering menjadi “wadah perawatan tanpa batas” alias tempat laki-laki belajar menerima kasih sayang, afirmasi, dan kestabilan yang tidak pernah diajarkan sistem patriarki. 

hooks menambahkan, perempuan diajarkan memaknai cinta sebagai kerja emosional. Sebaliknya, laki-laki melihat cinta sebagai sesuatu yang diterima. Inilah sebabnya, dalam banyak hubungan heteroseksual, perempuan bekerja mempertahankan cinta, sedangkan laki-laki sekadar hadir untuk menikmatinya. 

Baca juga: Cinta yang Tak Pulang: Membaca ‘Concerning My Daughter’ dan Bayangan Keluarga

Perempuan Jadi Cermin dan Jangkar Emosional 

Pertemuan antara perempuan matang dan laki-laki yang belum selesai sering berakhir bukan sebagai hubungan setara, melainkan disparitas kognitif yang samar. Perempuan yang sudah berdamai dengan dirinya—mampu menamai emosi, menafsirkan motif, dan memetakan relasi—membaca seseorang tidak hanya dari kata-kata. Namun, dari bagaimana ia hadir secara batin. Laki-laki yang belum matang sering mendekati perempuan bukan sebagai subjek, tapi sebagai sosok yang bisa mengisi kekosongan emosional dalam dirinya. 

Banyak perempuan menceritakan pengalaman serupa. Laki-laki cepat kagum pada perempuan “lebih dewasa” atau “lebih stabil secara batin.” Kekaguman ini datang terlalu cepat dan intens bak cinta, tapi sebenarnya lebih struktural. 

Pujian seperti, “Kamu keren banget, beda dari perempuan lain” atau “Aku nyaman sama kamu karena kamu dewasa” terdengar positif. Namun jika dibaca lewat lensa hooks, itu bisa menjadi tanda idealisasi atau mekanisme pertahanan psikologis untuk menutupi ketidakstabilan emosional mereka. Kekaguman ini sering tidak tentang perempuan itu sendiri, tapi tentang apa yang ia bisa berikan: Kestabilan, pengertian, penopang batin. 

Perempuan matang, yang terbiasa memikul tanggung jawab dan merawat diri sendiri, menjadi cermin yang memantulkan apa yang laki-laki ingin lihat dalam diri mereka sendiri. Bukan karena laki-laki siap tumbuh, tapi karena kehadiran perempuan memberi ilusi pertumbuhan instan. Ini sering disebut ego supply, validasi sementara yang membuat laki-laki merasa lebih utuh. 

Baca juga: Menyoal ‘Tepuk Sakinah’ dan Modal Nikah yang Lebih dari Sekadar Jargon

Beban Emosi Tak Terlihat 

Beban ini jarang terlihat. Dalam banyak hubungan heteroseksual, perempuan tetap diharapkan mengelola rumah tangga, menstabilkan emosi pasangan, dan menambal kekosongan yang diciptakan sistem patriarki. Penelitian lintas negara menunjukkan perempuan berpendidikan tinggi pun tetap memikul mayoritas mental load dan emotional labor. 

Ironisnya, generasi perempuan modern dibentuk untuk mandiri, kompeten, dan matang. Pun, laki-laki mengidamkan pasangan seperti itu. Tapi ketika dihadapkan pada hubungan nyata, perempuan sering diminta menukar kematangannya demi menjaga struktur lama. Banyak perempuan akhirnya “trade themselves”—meredam ambisi, memberi ruang pribadi, dan memeluk luka pasangan yang bukan tanggung jawab mereka. 

Saat perempuan menolak peran itu, dunia menilai mereka sulit, terlalu independen, atau “tidak butuh laki-laki.” Padahal sesungguhnya mereka hanya menolak pekerjaan emosional yang dilegitimasi sebagai cinta. 

Relasi heteroseksual modern masih mempertemukan dua manusia dari luka berbeda. Laki-laki membawa wounded masculine, ketidakmampuan mengakses batin sendiri akibat sosialisasi maskulinitas; perempuan membawa wounded feminine, kekuatan yang terpaksa dipelajari karena dunia menuntutnya. Pertemuan keduanya bisa menjadi ruang penyembuhan, tapi lebih sering perempuan diminta menambal luka yang tidak ia ciptakan. 

Perempuan tidak mencari kesempurnaan. Mereka mencari kesalingan atau kesediaan untuk tumbuh bersama, bukan hubungan yang dimulai dari kekaguman terhadap kedewasaannya lalu berakhir dengan beban mempertahankannya. Yang perempuan inginkan adalah hadir sebagai manusia penuh, bukan sebagai infrastruktur emosional yang menopang laki-laki menjadi versi dewasa yang seharusnya mereka bangun sendiri. 

Anindwitya Rizqi Monica adalah co-founder, konsultan, dan pembicara di bidang kesetaraan gender dan pariwisata. Ia merupakan pendiri visioner Women in Tourism Indonesia (WTID) dan pemilik JogJamu Indonesia. Ia meraih gelar Sarjana Pariwisata dan gelar Magister Psikologi. 

Ilustrasi oleh Karina Tungari

About Author

Anindwitya Rizqi Monica