Environment Feminism A to Z Issues

Perempuan di Tengah Rezim Ekstraktif: Pemimpin Perlawanan untuk Lingkungan

Dari Papua hingga Jawa Tengah, perempuan memimpin perlawanan terhadap dominasi rezim ekstraktif yang merusak lingkungan dan mengabaikan hak-hak masyarakat lokal.

Avatar
  • January 28, 2025
  • 6 min read
  • 1672 Views
Perempuan di Tengah Rezim Ekstraktif: Pemimpin Perlawanan untuk Lingkungan

Indonesia termasuk dalam rezim ekstraktif, yakni sistem ekonomi dan politik yang sangat bergantung pada eksploitasi sumber daya alam. Praktik ekstraksi seperti tambang emas, batu bara, nikel, marmer, serta penggundulan hutan untuk perkebunan kelapa sawit telah berlangsung selama beberapa dekade. Selain itu, pembangunan infrastruktur, reklamasi, dan ekspansi industri juga memperburuk pencemaran lingkungan. Sistem ini sering mengabaikan kesejahteraan manusia dan lingkungan demi keuntungan ekonomi jangka pendek.

Dampak dari pembangunan ekstraktif ini terlihat nyata dalam bentuk bencana lingkungan seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, pencemaran air tanah, dan polusi udara—baik di kawasan perkotaan maupun pedesaan. Akibatnya, kelompok masyarakat yang secara struktural tereksklusi, seperti perempuan, masyarakat adat, kelas pekerja, penyandang disabilitas, dan komunitas LGBTIQ, merasakan dampak yang paling besar.

 

 

Mama Yosepha Alomang (Foto oleh The Goldman Enviromental Prize)

Khususnya bagi perempuan, rezim ekstraktif membawa dampak serius, seperti berkurangnya akses air bersih, meningkatnya kasus perkawinan anak, kekerasan berbasis gender, dan kemiskinan akibat hilangnya sumber daya alam. Situasi ini memperlihatkan bagaimana perempuan tidak hanya menjadi korban utama kerusakan lingkungan, tetapi juga harus menghadapi ketidakadilan sosial dan ekonomi yang semakin parah.

Dalam konteks ini, filsuf Amerika Nancy Fraser, dalam bukunya Cannibal Capitalism (2023), menjelaskan bahwa krisis ekologis tidak berdiri sendiri. Krisis ini merupakan hasil interaksi antara faktor alam dan non-alam, termasuk ketidakadilan gender, sosial, politik, dan ekonomi. Pandangan ini relevan dengan realitas rezim ekstraktif di Indonesia, di mana ketimpangan struktural memperburuk dampak kerusakan lingkungan dan menyulitkan kelompok rentan untuk bangkit.

Namun, meskipun sebagai salah satu kelompok yang paling terdampak, perempuan menunjukkan keberdayaan luar biasa. Banyak gerakan yang dipimpin oleh perempuan di Indonesia menggunakan pendekatan feminis untuk melindungi lingkungan dan komunitas mereka. Gerakan ini tidak hanya menantang rezim ekstraktif, tetapi juga membawa narasi keadilan gender, solidaritas, dan keberlanjutan lingkungan sebagai bagian dari perjuangan.

Baca juga: Perempuan Bali Mimpi Terlibat Aktif dalam Gerakan Lingkungan Hidup

Gerakan perempuan penjaga lingkungan: Kisah-Kisah Inspiratif

Di tengah tantangan yang berat, perempuan memainkan peran penting dalam melawan rezim ekstraktif. Kisah mereka menunjukkan bahwa perjuangan untuk lingkungan tidak terpisah dari perjuangan untuk keadilan gender.

Mama Yosepha Alomang adalah seorang pemimpin perempuan adat di Papua yang sejak tahun 1994 memimpin perlawanan terhadap tambang emas Freeport. Ia menggunakan budaya tradisional dan aksi kolektif untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat adat. Salah satu aksinya yang paling berani adalah memotong pipa Freeport dan bersama komunitasnya menduduki Bandara Timika selama tiga hari. Meskipun menghadapi penyiksaan dan penahanan, Mama Yosepha tetap gigih memperjuangkan lingkungan dan masyarakatnya.

Di Mollo, Nusa Tenggara Timur, Mama Aleta Baun memimpin perlawanan terhadap tambang marmer sejak tahun 1996. Ia bersama perempuan adat lainnya menggunakan menenun kain tradisional sebagai bentuk protes damai. Menenun memiliki makna mendalam bagi komunitas Mollo, tidak hanya sebagai tradisi tetapi juga simbol perlawanan terhadap eksploitasi. Mama Aleta percaya bahwa “pohon adalah rambut, air adalah darah, batu adalah tulang,” dan kerusakan alam adalah kerusakan tubuh manusia.

Mama Aleta Baun (Foto oleh Wikimedia Commons)

Gerakan perempuan di Kendeng, Jawa Tengah, yang dikenal sebagai Kartini Kendeng, melawan pembangunan pabrik semen di wilayah mereka. Salah satu aksi mereka yang paling ikonik adalah mengecor kaki dengan semen di depan Istana Presiden pada tahun 2016. Ritual ini dilakukan untuk menyuarakan perlindungan terhadap Pegunungan Kendeng, yang menjadi sumber kehidupan komunitas setempat. Selain itu, mereka juga mempromosikan pertanian lokal dan menyanyikan lagu-lagu tradisional untuk menyebarkan pesan pelestarian lingkungan.

Di Garut, Jawa Barat, Nissa Wargadipura mendirikan Pesantren Ekologi At-Thariq, yang memadukan nilai-nilai Islam dengan prinsip-prinsip ekofeminisme. Ia mengajarkan generasi muda tentang pertanian berkelanjutan, pentingnya menjaga keanekaragaman hayati, dan menghormati alam sebagai amanah dari Tuhan. Nissa percaya bahwa menjaga keberlanjutan hidup manusia adalah bagian dari tanggung jawab spiritual.

Nissa Wargadipura

Di Demak, Jawa Tengah, organisasi perempuan nelayan Puspita Bahari memperjuangkan hak-hak perempuan pesisir. Mereka tidak hanya melawan dampak perubahan iklim, seperti naiknya permukaan air laut, tetapi juga memberdayakan perempuan nelayan melalui pendidikan gender, advokasi kebijakan publik, dan dukungan ekonomi. Salah satu pencapaian penting mereka adalah mengadvokasi pengakuan identitas perempuan nelayan, sehingga mereka dapat mengakses asuransi dan layanan publik lainnya.

Hal yang sama juga ditunjukkan oleh perempuan pesisir di pulau-pulau kecil yang bergerak dan menghimpun solidaritas untuk melawan tambang pasir dan reklamasi. Perempuan di Pulau Kodingareng, Sulawesi Selatan, mengelola hasil laut berupa produk abon dan ikan kering karena ekosistem laut yang rusak. Mereka juga melakukan aksi demonstrasi kepada pemerintah dan mengahadang aktivitas tambang pasir.

Di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, perempuan merawat ekosistem mangrove, mempromosikan sistem perikanan ramah lingkungan, mengikutsertakan diri dalam forum pengambilan keputusan di tingkat desa, hingga aktif melakukan protes pembangunan yang tidak ramah lingkungan secara fisik maupun dengan memanfaatkan sosial media.

Puspita Bahari (Foto oleh Universitas Islam Indonesia)

Baca juga: ‘Our Mothers’ Land’: Bagaimana Perempuan Lawan Korporasi Perusak Alam

Strategi perlawanan perempuan terhadap perusakan lingkungan

Gerakan perempuan menggunakan berbagai strategi unik untuk menantang rezim ekstraktif, mulai dari strategi kultural, religius, simbolik, hingga advokasi hukum. Mama Aleta Baun dan komunitasnya di Mollo melakukan aksi dengan cara menenun untuk menunjukkan bahwa saat kerusakan ekologis terjadi, maka kehidupan dan penghidupan perempuan juga akan hilang.  

Sementara itu, Kartini Kendeng mengecor kaki dengan semen, lalu berdoa, mempersembahkan makanan hasil bumi, serta menyanyikan lagu tradisional. Aksi ini melibatkan nilai dan simbol kultural yang lekat dengan alam.

Narasi keagamaan terbukti menjadi alat yang efektif dalam upaya pelestarian lingkungan. Di Garut, Nissa Wargadipura menyebarkan ajaran Islam mengenai nilai-nilai keadilan lingkungan dan keadilan gender. Ia menekankan peran manusia, tanpa memandang gender, sebagai khalifah atau pemimpin di bumi, yang bertanggung jawab menjaga keberlanjutan lingkungan sebagai ciptaan Tuhan. Hal serupa terlihat di Desa Pantai Bahagia, Muara Gembong, Bekasi, dengan lahirnya Gerakan Kebaya (Kelompok Bahagia dan Berkarya). Gerakan ini terdiri dari ibu-ibu rumah tangga yang merawat dan memanfaatkan hasil mangrove sembari membangun solidaritas warga melalui forum pengajian.

Selain itu, gerakan perempuan nelayan seperti Puspita Bahari di Demak aktif dalam advokasi kebijakan untuk melindungi hak-hak perempuan nelayan, menunjukkan bahwa ruang advokasi hukum juga diisi oleh perempuan. Perlawanan serupa dilakukan oleh perempuan pesisir di Pulau Kodingareng, Sulawesi Selatan, yang melawan tambang pasir, serta perempuan di Pulau Pari, yang berhadapan dengan ancaman reklamasi. Para perempuan ini memanfaatkan berbagai strategi untuk melawan rezim ekstraktif yang tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga memperburuk ketidakadilan gender.

Baca juga: Belajar dari Aktivisme Lokal Perempuan untuk Menjaga Lingkungan

Perlawanan perempuan terhadap rezim ekstraktif bukan hanya tentang melindungi lingkungan, tetapi juga membawa keadilan gender ke tingkat akar rumput. Gerakan ini menghubungkan perjuangan ekologi dengan hak asasi manusia dan kesetaraan gender, membangun solidaritas lintas isu yang kuat.

Kisah-kisah ini membuktikan bahwa perempuan memegang peran kunci dalam menciptakan perubahan. Gerakan perempuan lingkungan di Indonesia mengingatkan kita bahwa perjuangan untuk lingkungan adalah perjuangan untuk keadilan sosial dan gender. Ini adalah ajakan untuk kita semua bergabung melawan rezim ekstraktif demi masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan.

Ilustrasi oleh Karina Tungari



#waveforequality


Avatar
About Author

Andi Misbahul Pratiwi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *