Gender & Sexuality Issues

Kak Itwill dan Ruang Aman Perempuan Bicara Seksualitas

Seksualitas perempuan masih dianggap tabu. Namun, kreator seperti Kak Itwill adalah contoh ruang aman untuk membicarakan isu ini.

Avatar
  • March 22, 2025
  • 5 min read
  • 236 Views
Kak Itwill dan Ruang Aman Perempuan Bicara Seksualitas

Belakangan, konten kreator Kak Itwill banyak disorot netizen di media sosial. Ketenarannya bukan cuma karena tinggal di luar negeri, melainkan kebiasaan dia membicarakan seksualitas bersama followers. Di antara topik yang dia bicarakan adalah hubungan seks, relasi romantis, dan orientasi seksual. 

Lewat Instagram pribadi, Kak Itwill menjawab pertanyaan netizen. Contohnya soal perlakuan pasangan, tips melakukan hubungan seks, dan pentingnya mengomunikasikan kepuasan seksual. Bahkan, Kak Itwill juga terbuka soal kehidupan bersama suaminya. 

 

Beberapa topik tersebut rutin ditanyakan netizen, yang mayoritas adalah perempuan—mereka menyebutkan identitas gendernya saat curhat ke Kak Itwill. Mereka menganggap Kak Itwill sebagai ruang aman untuk membicarakan seksualitas, topik yang selama ini dianggap tabu dibicarakan oleh perempuan karena ekspektasi sosial: Perempuan harus patuh, enggak aktif secara seksual sebelum menikah, enggak banyak bicara, dan hubungan seks hanya soal kepuasan laki-laki. 

Baca Juga: Memangnya Kenapa Kalau Aku Tak Perawan Lagi? 

Ekspektasi sosial itu dilalui Ria Camelina, 32. Sejak kecil, orang-orang di sekitarnya memberi tahu, seksualitas bukanlah topik yang bisa dibahas secara terbuka. Bahkan enggak perlu dibicarakan. Amel yang punya keingintahuan soal seksualitas pun bingung, bagaimana bisa mempelajari topik ini dari sumber yang kredibel. Kemudian ia mengeksplorasi bacaan dan bertanya pada orang yang lebih tua. 

Dua bulan terakhir, Amel mengikuti Kak Itwill di Instagram karena kontennya berupa pendidikan seks. Menurut Amel, cara penyampaian Kak Itwill pun menyenangkan—enggak menghakimi dan relate dengan kehidupan sehari-hari. 

Kak Itwill dan followers-nya justru nambah insight baru, sama pemahaman lebih sehat soal hubungan dan seksualitas, tanpa harus merasa malu atau takut dihakimi,” ujar Amel. 

Ia bukan satu-satunya followers Kakak Itwill yang merasa demikian. Arniati Purnami, 37 pun sepakat, Kak Itwill memberikan ruang aman bagi perempuan untuk membicarakan seksualitas. Salah satunya lewat kosakata yang digunakan setiap menjawab pertanyaan followers. 

“Misalnya lagi ngobrol sama temen, pengen berhubungan seks. Kami bilangnya kepengen ‘hohe-hohe’,” cerita Arni. “Jadi merasa lebih nyaman karena nggak semua orang ngerti (artinya).” 

Membicarakan seksualitas menggunakan kosakata tertentu, mencerminkan kultur yang menilai hal ini tak pantas dibicarakan. Karena itu, orang-orang yang lebih terbuka membahasnya—seperti Arni—memilih menggunakan istilah tertentu. Mereka yang punya platform, contohnya Kak Itwill, dapat Mengikis stigma sosial terkait seksualitas dengan menormalisasi pembahasannya secara terbuka. 

Pertanyaannya, mengapa seksualitas perempuan ditabukan? 

Baca Juga: Edukasi Seksual Komprehensif untuk Orang Muda Queer 

Di Balik Seksualitas yang Dianggap Tabu 

Biasanya, pandangan tabu soal seksualitas perempuan berawal dari lingkungan keluarga. Sejak pertama kali menstruasi di usia 10 tahun, ibu saya sering mengingatkan darah menstruasi itu kotor dan menjijikkan. Sementara di agama yang saya anut, Katolik, menganggap masturbasi adalah dosa karena menggunakan kemampuan seksual di luar pernikahan. 

Kedua hal yang saya alami adalah gambaran, bagaimana perempuan “dibiasakan” menyangkal tubuhnya dan mengutamakan keinginan laki-laki. Mengingat seksualitas laki-laki cenderung dianggap sesuatu yang normal dan perlu diprioritaskan. Hal ini disampaikan oleh penulis asal India Deepa Narayan, dalam Chup: Breaking the Silence about India’s Women (2018). 

Contoh lainnya, ketika laki-laki pertama kali mimpi basah, lebih sering dipandang sebagai proses pendewasaan. Sedangkan perempuan yang pertama kali menstruasi justru diingatkan, supaya berhati-hati dalam bergaul untuk mencegah kehamilan. 

Ini adalah bentuk norma sosial hasil budaya patriarki, yang membatasi kebebasan perempuan untuk mengontrol tubuh dan reproduksi. Pengekangan ini memperlakukan seksualitas perempuan sebagai produk, seolah bagi perempuan, seks hanya untuk reproduksi dan memuaskan hasrat laki-laki. Dengan kata lain, perempuan harus tunduk terhadap laki-laki, termasuk dalam berhubungan seks. 

Masalahnya, pengekangan ini berdampak bagi perempuan—juga laki-laki dalam konteks tertentu. Bahkan bisa menyebabkan konflik dalam relasi, terkait kebutuhan dan batasan seksualitas. 

Contohnya yang dialami karakter Basri dan Salma dalam Basri & Salma dalam Komedi yang Terus Berputar (2023). Pasangan suami istri ini tak ingin punya anak, dan melakukan hubungan seks untuk rekreasi. Salma pun tak ingin Basri ejakulasi di dalam, yang kemudian menjadi sumber masalah di hidup mereka: Tuduhan Basri impoten, atau punya penis berukuran kecil. Sebab, bagi keluarga Basri dan Salma, hubungan seks adalah untuk prokreasi. 

Di luar urusan relasi, menabukan seksualitas perempuan membuat topik ini enggak dibahas secara terbuka, sekalipun di kalangan teman dekat. Misalnya Arsinta, 37. Baginya, membicarakan seksualitas dan relasi dengan pasangan termasuk membeberkan urusan rumah tangga. 

Enggak hanya itu, seksualitas juga berkaitan dengan kesehatan seksual—yang melekat pada kesehatan fisik dan mental, serta relasi perempuan dengan tubuhnya. Contohnya saat perempuan memiliki Polycystic Ovary Syndrome (PCOS), atau gangguan hormon yang menyebabkan siklus menstruasi perempuan enggak teratur, masalah ovulasi, dan hormon androgen yang berlebihan sehingga mengganggu kesuburan. 

Perempuan yang memiliki PCOS harus memerhatikan gaya hidup. Kemudian berdampak pada kondisi kesehatan mentalnya, dan berhadapan dengan masalah body image yang bisa memengaruhi hasrat seksual. Artinya, kondisi ini menjadi tantangan tersendiri bagi perempuan untuk membangun keintiman, dan bisa berdampak pada kesehatan seksual. 

Karena itu, dibutuhkan ruang aman bagi perempuan supaya nyaman membicarakan seksualitas. Lalu, apa yang bisa dilakukan? 

Baca Juga: Orgasme Perempuan: Bahkan di Ruang Privat pun Perempuan Distigma 

Pentingnya Ruang Aman untuk Membahas Seksualitas 

Menciptakan safe space untuk membicarakan seksualitas perempuan, artinya membuka ruang untuk mengomunikasikan keinginan, fantasi, batasan, dan preferensi—tanpa menghakimi maupun menolak. Manfaatnya, kamu bisa merasa lebih terlihat dan diterima. 

Namun, sebagai individu pun kamu bisa belajar menyampaikan hal-hal tersebut, sekaligus tetap membangun batasan saat membicarakannya. Hal ini disampaikan konselor klinis dan terapis seks Julie Labanz dalam tulisannya di Psychology Today. Ia juga menyinggung hak privasi yang dimiliki setiap individu. Karenanya, ketika kamu ingin membicarakan seksualitas, kamu perlu mempertimbangkan aspek yang ingin dibagikan pada orang lain. 

Seperti dilakukan Arni, yang punya safe space untuk membicarakan seksualitas dengan salah satu grup teman-teman terdekatnya. Salah satunya saling merekomendasikan posisi seks. Namun, ia menekankan bahwa tetap menerapkan batasan dalam obrolan tersebut. Dan pentingnya membaca situasi, kapan topik ini bisa dibicarakan. 

“Buat kami, masih oke untuk ngomongin seks secara umum, kayak posisi (seks) itu. Asalkan enggak to the point seks dalam rumah tangga sendiri,” ungkap Arni. 

Yang penting, ketika membicarakan ruang aman, yang penting adalah sejauh mana kamu bisa berada dengan orang-orang yang dianggap nyaman, untuk mengidentifikasi dan mengeksplorasi seksualitas. Baik itu teman-teman dekat, keluarga, ataupun komunitas online dan offline. 

Ilustrasi oleh Karina Tungari



#waveforequality
Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *