Kenapa Kita Butuh Perempuan Jadi Pemimpin di Desa?
Belajar dari NTB, meski budaya patriarkal kental, kehadiran perempuan pemimpin di desa bisa memelihara semangat demokrasi.
Kelompok perempuan dan disabilitas kerap dihadapkan pada berbagai tantangan akibat pandangan patriarkal masyarakat. Buktinya, masih banyak perempuan di daerah yang tak dianggap layak memimpin.
Di ranah pedesaan, kehadiran pemimpin perempuan masih langka. Berbagai macam tantangan budaya, yang masih berorientasi patriarki, masih mewarnai pengambilan keputusan di desa. Padahal, eksistensi kepala desa perempuan sangat strategis dalam merawat demokrasi di akar rumput.
Jumlah perwakilan perempuan yang masih jauh dari harapan dalam lembaga pemerintahan di daerah tentu berdampak pada minimnya pembahasan isu perempuan dan kaum marjinal, terutama dalam agenda perumusan kebijakan pembangunan inklusif di desa, yang merupakan unit pemerintahan paling dekat dengan rakyat.
Baca juga: Jadi Perempuan Pemimpin di Kampus Bantu Persiapkan Diri Di Dunia Kerja
Minimnya Kepemimpinan Perempuan
Strategi Pengarusutamaan Gender (PUG) merupakan upaya terintegrasi pemerintah dengan berbagai pemangku kepentingan untuk mendorong partisipasi perempuan dalam ruang-ruang politik baik dalam kelembagaan pemilu maupun nonpemilu.
Di level nasional, misalnya perempuan yang berkontestasi dalam Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019 adalah sekitar 20,5 persen atau 118 dari total seluruh 575 kursi DPR calon anggota legislasi (caleg). Dalam Pileg 2024, jumlahnya meningkat menjadi 37,7 persen atau sebesar 2.896 caleg perempuan. Namun angka tersebut masih jauh bila dibandingkan 62,3 persen atau 6.427 caleg laki-laki.
Pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo menjadi yang paling banyak memiliki menteri perempuan dalam kabinet dan menunjuk duta besar perempuan paling banyak sepanjang sejarah.
Faktanya, kondisi kepemimpinan perempuan di daerah masih timpang. Di level daerah, terbilang hanya ada empat perempuan yang menjabat sebagai Sekretaris Daerah (Sekda) definitif selama dua periode masa pemerintahan Jokowi.
Selain itu, persentase kepesertaan dalam Pelatihan Kepemimpinan Nasional tingkat I dan II di Lembaga Administrasi Negara (LAN) juga menunjukkan perbedaan sangat tajam antara perempuan dan laki-laki. Representasi perempuan yang diutus dari daerah pada tahun 2004, 2005, 2019 dan 2021 bisa dikatakan tidak ada.
Kondisi kepemimpinan perempuan di level desa juga masih sama terbatasnya: hanya 5,5 persen atau 4.120 dari total kepala desa di seluruh Indonesia adalah perempuan. Perempuan desa juga terlibat sebagai perangkat desa sebesar 149.891 atau 22,1 persen dari total 677.355 perangkat desa di penjuru negeru. Sebagai contoh, Kabupaten Lombok Timur mengungkapkan dari segi jumlah, data Dinas DP3AKB Kabupaten Lombok Timur kepala desa perempuan di Lombok Timur saat ini hanya berjumlah satu orang dari 239 desa.
Sementara data Badan Pusat Statistik (BPS) Lombok Utara menunjukkan bahwa tidak ada satupun perempuan menjadi kepala desa di Kabupaten Lombok Utara di tahun 2016-2018. Begitu pula di Kabupaten Lombok Barat, hanya ada satu dari 114 desa yang memiliki kepala desa perempuan semenjak tahun 2014. Kondisi sangat memprihatinkan membuat banyak pihak, terutama kelompok masyarakat sipil, menjadi pesimis.
Baca juga: 7 Rekomendasi Drama Korea dan Serial TV Soal Perempuan Pemimpin
Belajar dari Kepala Desa di NTB
Terlepas dari budaya patriarki mencengkeram kuat di wilayah Lombok, kehadiran segelintir kepala desa perempuan di Lombok Barat yaitu Desa Labuhan Lombok, Lombok Timur pada Desa Sesaot, dan Lombok Tengah pada Desa Saba’, ternyata mampu memelihara semangat demokrasi yang mulai tergerus di tataran nasional.
Ketua Majelis Adat Sasak, Lalu Sajim Sastrawan menyampaikan bahwa suksesnya otonomi daerah bertumpu pada tiga komponen: demokrasi, pelayanan, dan pemberdayaan masyarakat.
Kepedulian para kepala desa (kades) perempuan tangguh seperti Ibu Yuni Hari Seni dari Desa Sesaot, Ibu Baiq Muliati dari Desa Saba’, dan Ibu Siti Zaenab Masarro dari Desa Labuhan Lombok menularkan semangat pembangunan yang inklusif.
Demokrasi sebagaimana dicontohkan Kades Sesaot, Kabupaten Lombok Barat, Yuni Hari Seni menempatkan keberadaan pemimpin bukan hanya sebagai pemimpin pembangunan namun juga sebagai mediator konflik. Ketiga Kades, Baiq Mulyati, Yuni Hari Seni, dan Siti Zaenab Masarro mengoptimalkan Balai Mediasi untuk berdialog dengan masyarakat sekaligus meredam konflik yang tak jarang berisiko tinggi.
Misalnya saja, Kades Zaenab melakukan penolakan atas pembukaan tambak ikan bersama-sama dengan warga masyarakat. Sementara, Kades Yuni menghabiskan malam berkeliling dengan motor menyapa warga bahkan melerai perkelahian antar warga.
Dalam hal pelayanan, Kades Yuni memulai pengabdian sebagai kepala desa dengan membuka PAUD di sekitar tempat tinggalnya. Kades Yuni melihat kebutuhan masyarakat akan sekolah dan pemberian layanan administrasi berupa akta kelahiran dengan biaya terjangkau.
Begitu pula, Kades Zaenab memberikan pelayanan inovatif berkeadilan seperti pembuatan KK pekerja migran perempuan, isbat nikah bagi 400 pasangan demi melindungi perempuan dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) serta perlindungan ekonomi perempuan.
Upaya pemberdayaan ekonomi dilakukan Kades Baiq Muliati merupakan salah satu figur kepala desa sekaligus pemimpin adat perempuan yang berhasil memberdayakan petani tembakau perempuan di daerahnya. Sementara, Kades Yuni melakukan pemberdayaan ekonomi dengan membangun pariwisata berbasis ekologi berujung Desa Sesaot mendapatkan sertifikasi desa wisata berkelanjutan.
Baca juga: 10 Rekomendasi Film tentang Perempuan Pemimpin
Kades Perempuan untuk Demokrasi
Peran kades perempuan sangat krusial dalam konteks otonomi dan pembangunan daerah. Kehadiran lebih banyak figur perempuan dalam kepemimpinan desa dapat membantu menyukseskan program pembangunan di level paling bawah.
Ini karena perempuan dapat membawa perspektif inklusif dan responsif terhadap kebutuhan komunitas. Inilah mengapa kades perempuan diharapkan dapat menjadi agen perubahan yang efektif dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang lebih baik.
Oleh karena itu, peningkatan kualitas kepemimpinan kades perempuan adalah mutlak demi penguatan demokrasi di level bawah, sebagai penawar dahaga di tengah menurunnya kualitas demokrasi kancah nasional.
Ratri Istania, Dosen Tetap Bidang Politik Pemerintahan dan Kebijakan Publik, Politeknik STIA LAN Jakarta dan Aulia Rahmawati, Dosen tetap Prodi Administrasi Pembangunan Negara, Politeknik STIA LAN Jakarta.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.