#PerempuanRawatBumi: Menuju Kampung ‘Zero Waste’, Perlawanan Senyap dari Rawageni Depok
Dua pekan setelah Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Cipayung ditutup sementara awal Januari 2025, sampah mulai menumpuk di depan rumah warga Depok—termasuk di komplek tempat kami tinggal. Truk pengangkut tak kunjung datang. Setiap pagi, kantong-kantong plastik makin banyak, membuat tong sampah kian menggunung. Kami hanya bisa menunggu, sambil bertanya-tanya: Sampai kapan halaman rumah akan jadi tempat pembuangan sementara?
Penutupan TPA Cipayung seperti ini bukan yang pertama. Tempat pembuangan tersebut telah kelebihan kapasitas sejak 2014. Menurut catatan Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Depok, hingga kini TPA Cipayung masih menerima lebih dari 1.256 ton sampah per hari—jauh melampaui batas tampungnya. Jumlah ini bahkan setara dengan berat enam ekor paus biru. Tak heran jika beberapa kali terjadi longsoran di sana. Penutupan sementara di sisi lain, cuma penanda kecil dari krisis pengelolaan sampah yang lebih besar dan sistemik.

Meski TPA Cipayung kelebihan kapasitas, hanya 263 truk pengangkut yang tersedia di Depok, tulis Media Indonesia. Artinya satu truk harus melayani sekitar 9.000 warga tiap hari. Yang lebih memprihatinkan, TPA Cipayung masih menerapkan metode open dumping, yakni membuang sampah secara terbuka tanpa pengelolaan lanjutan.
Padahal, metode ini bertentangan dengan UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Open dumping, mengutip Waste4Change, bahkan bisa mencemari tanah, air, dan mengancam kualitas udara. Masalahnya, menurut Khalisa Khalid, Public Engagement & Action Manager Greenpeace Indonesia, metode ini masih jadi pilihan karena dianggap paling murah. Masalah yang sama juga terjadi di banyak tempat pembuangan akhir di Indonesia.
Namun di sudut lain kota Depok, tepatnya di Kampung Setaman, RW 07, Kelurahan Ratujaya, pemandangannya kontras. Tak ada sampah berserakan. Tong-tong sampah warna-warni berjajar rapi, masing-masing diberi label organik dan anorganik. Tanaman markisa merambat dari satu sisi rumah ke sisi lainnya, menggantung di atas jalan, menyambungkan rumah-rumah warga dan membentuk lorong hijau yang teduh.

Di tembok rumah warga, mural-mural edukatif menghiasi dinding. Ada gambar anak-anak memungut sampah, ibu-ibu mengaduk kompos, hingga tulisan yang mengajak menjaga lingkungan dari rumah. Di tengah kampung berdiri kantin sampah, tempat warga bisa menukar botol plastik, kardus, dan kemasan sachet dengan sembako atau jajanan buatan tetangga sendiri.
Hampir setiap rumah memiliki pot tanaman di halaman sempit atau di selasar rumah. Beberapa menanam bayam, pare, atau kangkung. Sebagian lain menanam tanaman obat seperti jahe, serai, dan daun sirih. Warga menyiasati keterbatasan lahan dengan menanam di pot gantung, rak vertikal, bahkan ember bekas cat tembok.
Di sepanjang gang, komposter kecil ditanam langsung ke badan jalan. Lubang-lubang berlapis semen ini menampung sampah organik dari beberapa rumah. Di titik lain, lubang biopori dibuat untuk menyerap air hujan agar tak menggenang. Setiap rumah mengelola sampahnya sendiri. Sejak petugas kebersihan jarang datang, warga—termasuk para ibu—mulai gerah dengan sampah yang tak terangkut dan bau yang menyelinap ke dapur.
Saya sempat berhenti di salah satu halaman rumah yang asri. Di sana ada puluhan pot tanaman warna-warni. Namun, pot tersebut tak dibuat dari plastik biasa. “Itu pampers,” kata lelaki sambil menyiram satu pot. Namanya Edo, 60, warga Rawageni yang sejak 2022 mengumpulkan sampah popok sekali pakai, membersihkan, dan menyulapnya jadi pot tanaman warga.

“Banyak orang bilang pampers enggak bisa diapa-apain. Tapi ya kalau dibersihin dan jadi pot, bisa tahan lama,” kata Edo. Di depan rumahnya, saya lihat ada lusinan pampers bekas yang sedang dijemur, siap diolah jadi pot.
Baca juga: Dear Pandawara, Sampah Pembalut Bukan Karena Perempuan Jorok tapi…
Mulai dari Diri Sendiri, Menular, dan Berakhir Jadi Gerakan Bersama
Kampung Rawageni tak hanya jadi pengecualian di tengah krisis sampah Depok. Ia adalah bukti perubahan bisa dimulai dari bawah. Dari solidaritas warga biasa yang memilih bergerak ketimbang menunggu negara turun tangan.
Di RW 07, gerakan ekologis ini dirintis oleh Sanusi, 47, Ketua RW, tapi cepat berakar karena dukungan nyata dari para perempuan, termasuk ibu rumah tangga. Mereka bukan hanya menjalankan gagasan di lapangan, tapi juga ikut merancang, menyebarkan, dan menghidupkan inisiatif bersama lewat kerja kolektif sehari-hari.

Dari situ, lahirlah komitmen bersama yang terus digaungkan hingga kini: “Kita jaga alam, alam jaga kita.” Slogan ini bukan sekadar mural di gang atau tempelan di dinding rumah. Ia tumbuh dari praktik nyata warga sejak 2017—jauh sebelum krisis sampah menjamur. Dan seperti banyak hal besar lainnya, semuanya bermula dari langkah kecil.
Sanusi memulainya dengan menanam bayam, kangkung, dan tomat di lahan kosong belakang masjid dekat rumah, sekadar untuk kebutuhan dapur. “Kalau bisa makan dari yang ditanam sendiri, ya enak. Enggak usah beli,” ujarnya di teras rumahnya yang dipenuhi tanaman rambat dan pot bekas cat.
Tertarik dengan inisiatif Sanusi, lambat laun warga terutama pengurus Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) setempat mulai datang dan ikut belajar menghijaukan lingkungan rumah masing-masing. Aneka sayuran juga menjadi sumber pangan warga setempat.
“Tanaman yang kita buat untuk edukasi juga itu bikin PAUD-PAUD yang ada di sini tertarik untuk lihat. Nah akhirnya, melihat kondisi itu, saya jadi terpikir gimana membuat ruang interaksi lain khususnya buat anak belajar,” ujar Sanusi saat dijumpai Magdalene di Rawageni, (27/7).
Dari situ muncul ide lebih besar: Mengelola sampah dan menciptakan ekonomi sirkular. Hingga kini terdapat setidaknya lebih dari empat jenis aksi kolektif yang tercipta dalam rangka mewujudkan Kampung Rawageni yang nyaman, hijau, dan bersih dari sampah.
Tentu, perubahan tak selalu mudah. “Ini kan ngubah mindset. Kita biarin aja kalau ada yang ngomong macam-macam. Yang penting konsisten memberikan contoh.”
Selain konsisten memberikan contoh tanpa menggurui, kolaborasi bersama warga, terutama ibu-ibu setempat juga jadi faktor yang mendukung keberlanjutan aksi ini.

Beberapa upaya yang masif dilakukan oleh perempuan di Kampung Rawageni adalah pengelolaan sampah melalui Bank Sampah. Ada pula pemanfaatan plastik sebagai kerajinan anyaman. Semua ini jadi upaya yang konsisten mereka lakukan untuk merubah limbah jadi sesuatu yang berharga, tanpa menambah pencemaran lingkungan.
Aksi perempuan yang dikepalai Sanusi ini sebenarnya merupakan gambaran bagaimana kerja sama antar-gender penting untuk mewujudkan lingkungan yang lestari. Selaras dengan pernyataan The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) 2015, partisipasi perempuan dan laki-laki punya porsi yang sama dalam upaya menjaga Bumi.
Baca juga: Perempuan, Kabut Asap, dan Kerja yang Tak Terlihat
Merawat dan Melawan
Ambil bagian dalam pemanfaatan sampah, perempuan di Kampung Rawageni mengaku hal ini tidak bisa lepas dari cita-cita terwujudnya lingkungan nyaman untuk masa depan. Sebagai kawasan ramai anak, pelestarian lingkungan lewat metode olah sampah diharapkan bisa membawa manfaat dalam tumbuh kembang anak.
Maya, 40, salah satu pengrajin limbah plastik, menunjukkan tas jinjing dari kemasan kopi kepada Magdalene. “Anak saya sekarang bisa bantu pilah. Kalau main juga di halaman rumah yang bersih. Kita pengin mereka bisa bangga tinggal di sini.”
Kerja Maya dan perempuan-perempuan Rawageni sering kali tidak dianggap politis. Namun dalam studi ekofeminisme, hal ini disebut sebagai politik perawatan. Dalam artikel The Politics of Care (2021) yang dipublikasikan National Library of Medicine Amerika, politik perawatan sendiri didefinisikan sebagai pendekatan liberal yang menempatkan kepedulian sebagai sumber daya yang harus didistribusikan antar individu.
Dewi Candraningrum, aktivis perempuan dan penulis buku Ekofeminisme, menjelaskan, “Kalau sampai perempuan, termasuk di Rawageni melakukan kerja-kerja domestik di ruang publik, itu tandanya dunia sedang tidak baik-baik saja.”
Menurut Dewi, perawatan lingkungan oleh perempuan bukan sekadar respons domestik, tapi bentuk perlawanan terhadap sistem ekonomi yang mengeksploitasi sumber daya. “Perempuan melihat limbah punya nyawa lagi. Itu bentuk maternal ecology.”
Konsep ini juga selaras dengan gagasan dalam artikel di atas, bahwa merawat adalah tindakan politis yang menentang logika ekstraktif dan eksploitatif.

Selain Bank Sampah dan daur ulang plastik, praktik politis ini juga terlihat dari program Kantin Sampah. Menciptakan ekonomi sirkular, kantin tersebut menyulap sampah jadi alat tukar yang bernilai. Tiap orang di sana bisa menukar sampah dengan kebutuhan pokok seperti kopi, bahkan bahan pangan sehari-hari. Selain itu, sampah juga bisa jadi alat tukar untuk membeli makanan yang dikelola bersama usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) setempat.

Baca juga: Dari Kompos ke Komunitas: Perempuan Petani Kota Menanam Harapan di Tengah Beton
Pemerintah Jangan Terlena
Sebagai aksi kolektif mandiri, keberlanjutan gerakan ini memerlukan dorongan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah kota (Pemkot) Depok. Namun, Pemkot sayangnya tak sepenuhnya hadir sesuai dengan harapan warga.
Sanusi bilang perhatian Pemkot Depok tampak performatif. Sebab itu berhenti pada pemberian label Kampung Program Iklim (Proklim) dan bantuan seperti tempat sampah baru. “Ya, tahun 2021 itu Pemkot baru ke sini setelah sudah berjalan beberapa program. (Kampung Rawageni) dikasih label proklim dan paling bantuan-bantuan kayak tong sampah aja.”
Merespons hal ini, Khalisa dari Greenpeace menyebut bukan bantuan demikian yang sebetulnya dibutuhkan warga Rawageni. Agar tercipta Rawageni-Rawageni lain di kawasan Depok, keseriusan warga dalam mengelola sampah mestinya disambut dengan pembangunan sistem pengelolaan sampah berbasis komunitas yang berkelanjutan.
“Ini terkait dengan political will, ya. Karena aksinya sudah banyak, seharusnya pemerintah bisa support dari politik anggarannya. Buatlah pengolahan sampah berbasis komunitas yang sistematis, gitu,” jelasnya pada Magdalene.
Namun, Khalisa juga mengingatkan agar pemerintah tidak terlena dengan aksi kolektif yang masif dilakukan warga. Menurutnya, tanggung jawab terbesar dalam pengelolaan sampah masih ada di tangan pemerintah setempat.
“Aksi yang sudah baik ini harus didukung, tapi jangan jadi seolah-olah melempar tanggung jawab itu ke masyarakat.”
Ia menambahkan, pemerintah perlu meregulasi produsen penghasil sampah. Pasalnya, kecepatan produksi sumber sampah, seperti plastik, masih jauh lebih cepat daripada kemampuan warga mengelola limbah. Untuk itu, penerapan aturan soal pengelolaan sampah dari hulu sudah sepatutnya dilakukan.
“Jangan lupa juga untuk meregulasi korporasi atau produsen sumber sampah itu ya. Jangan sampai masyarakat ini terjebak pada aksi dan penanganan di hilirnya aja. Kecepatan kita (dalam mengelola sampah) itu sangat kecil,” pungkas Khalisa.
Allaam Faadhilah dan Rose Hendrika membantu dalam peliputan di Rawageni.
Artikel ini merupakan bagian dari serial liputan kolaborasi #PerempuanRawatBumi bersama media anggota Women News Network (WNN), didukung oleh International Media Support (IMS).
Informasi soal WNN bisa diakses di https://womennewsnetwork.id/
















