June 16, 2025
Environment People We Love

Dari Kompos ke Komunitas: Perempuan Petani Kota Menanam Harapan di Tengah Beton

Di tengah kepadatan kota, Siti Nuzulia membuktikan bahwa perubahan bisa dimulai dari halaman rumah. Lewat kompos, kebun kecil, dan semangat berbagi, ia membangun gerakan keberlanjutan yang sunyi tapi berdampak besar.

  • June 11, 2025
  • 4 min read
  • 393 Views
Dari Kompos ke Komunitas: Perempuan Petani Kota Menanam Harapan di Tengah Beton

Di sebuah komplek perumahan modern Bandung Timur, halaman kecil milik Siti Nuzulia Astiti Purwanto tak hanya ditumbuhi sayuran, tapi juga semangat keberlanjutan. Ia menyebut dirinya urban farmer, namun sebutan itu tak cukup merangkum perannya sebagai petani kota, pegiat lingkungan, dan aktivis akar rumput, yang semuanya dijalankan tanpa sorotan media atau jargon pembangunan.

Lulusan Agroteknologi dari Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung ini memulai semuanya dari hal sederhana, karena ingin memenuhi kebutuhan sayur keluarganya. Namun kebun kecil itu tumbuh menjadi ruang belajar, berbagi, dan perlawanan. “Kota ini terlalu cepat membangun, tapi lupa menyediakan ruang untuk tumbuh,” ujar Nuzul, nama panggilannya

Apa yang ia lakukan jauh lebih konkret. Ia mengubah sisa dapur menjadi kompos, mengubah halaman rumah menjadi kebun, dan mengubah rutinitas menjadi sebuah gerakan berkala dan konsisten.

Nuzul menanam di pot-pot bekas, mengubah sisa dapur jadi kompos, dan menolak menggunakan bahan sintetis. Ia percaya bahwa bertani di kota bukan sekadar hobi, tapi aksi politis.

“Makanan bukan produk, tapi proses,” katanya. Dari situ, lahirlah praktik sadar: memilih varietas lokal, menjaga keberagaman hayati mikro, dan menghargai siklus hidup dari tanah ke meja makan. Urban farming menjadi ruang perlawanan terhadap sistem pangan global yang menstandarkan rasa, memonopoli benih, dan mengasingkan manusia dari apa yang ia makan.

Baca juga: Peran Vital Ibu Rumah Tangga dan Petani Perempuan dalam Aktivisme Lingkungan

Berkebun sebagai gerakan

Nuzul menamai akun Instagram-nya Oleriid, dari kata olericulture, yang berarti ilmu budidaya sayur. Ia ingin sayur tidak lagi dianggap remeh, tapi jadi pintu masuk diskusi tentang keberlanjutan dan kedaulatan pangan. Meski berkebun kerap dianggap sebagai aktivitas “ibu-ibu”, ia membuktikan bahwa ada pengetahuan ekologis dan kerja reproduktif yang berharga di balik setiap aktivitas menyiram tanaman.

“Tanah yang saya garap, meski kecil, mengajarkan banyak hal. Tentang kesabaran, keterbatasan, juga tanggung jawab,” ujarnya. Kini, ia bergabung dalam komunitas Seni Tani, sebuah skema Community Supported Agriculture (CSA) yang menjembatani petani dengan konsumen. Di sana, ia tidak hanya berbagi hasil panen, tapi juga cerita dan solidaritas.

Bagi Nuzul, berkebun bukan soal panen semata, melainkan bentuk kepercayaan bahwa sesuatu yang dirawat akan tumbuh, meski butuh waktu. Ia menolak anggapan bahwa perubahan harus selalu bising. Justru, dari dapur dan halaman, perubahan bisa lahir dalam diam dan dijalankan secara konsisten.

Tentu, perjuangan tak selalu romantis. Ada hari-hari ketika tanaman mati, kompos gagal, atau tetangga mencibir karena halaman terlihat “berantakan.” Tapi Nuzul tetap bertahan. Sebab baginya, berkebun bukan sekadar panen, melainkan proses menyemai nilai, relasi, dan kehidupan.

“Menanam itu bentuk percaya,” katanya. “Percaya bahwa apa yang kita rawat hari ini akan tumbuh, meskipun butuh waktu.”

Baca juga: #TanahAirKrisisAir: Kebun Kali Code, Fitri Nasichudin, dan Penyelamatan Air dari Rakyat Biasa

Dari sampah ke siklus

Dari sekian aktivitas berkebun, satu hal yang paling membekas bagi Nuzul adalah mengolah sampah organik sendiri. “Sejak mulai berkebun, saya tidak lagi membuang sampah organik ke TPS atau TPA,” katanya. “Sebisa mungkin, semua selesai di rumah.”

Bagi banyak orang, membuang sampah adalah urusan sekali jalan: masuk plastik, diikat, lalu dibuang. Tapi Nuzul memilih memutus siklus itu. Limbah dapur dialihkan ke komposter, sisanya jadi pakan ayam. Ia bahkan rela mengangkut sayur busuk dari pasar untuk dijadikan pupuk. Meski bagi orang lain ini tampak remeh atau menjijikkan, baginya ini adalah praktik spiritual sekaligus ekologis.

“Kalau kita tidak bisa mengolah sampah kita sendiri, bagaimana bisa bicara soal mencintai bumi?” ujarnya.

Bagi Nuzul, zero waste bukan sekadar gaya hidup, melainkan tanggung jawab langsung terhadap krisis lingkungan. Dengan tidak mengirim sampah organik ke TPA, ia membantu memangkas potensi emisi metana, gas rumah kaca yang 25 kali lebih kuat dari karbondioksida. Ia menciptakan sistem tertutup di rumahnya yang meniru alam: tak ada limbah, hanya daur ulang.

Ia juga menolak bahan sintetis seperti pupuk pabrik dan pestisida kimia. Semua yang ia pakai datang dari alam: fermentasi daun, rendaman bawang putih, larutan EM4 buatan sendiri. Hasilnya, tanahnya subur, cacing hidup, dan mikro-ekosistem seimbang.

Langkah-langkah Nuzul mungkin tampak kecil dibandingkan krisis iklim global, tapi seperti kata aktivis Swedia, Greta Thunberg, “Tidak ada yang terlalu kecil untuk membuat perbedaan.” Petani dan penulis Wendell Berry pun bilang bahwa makan adalah pilihan politik.

Baca juga: Perempuan Desa Rendu: ‘Pembangunan Waduk Merampas Hidup Kami’

Lewat kebun kecilnya, Nuzul menunjukkan bahwa praktik keberlanjutan bisa dimulai dari rumah. Tanpa konferensi mewah atau proyek jutaan dolar, perubahan bisa datang dari tangan yang menyiram tanaman setiap pagi.

Kota ideal bukan hanya soal gedung dan jalan tol, tapi soal ruang hidup. Dan perempuan seperti Nuzul sedang menciptakan ruang itu: dengan tanah, cinta, dan keberanian untuk menanam. Dalam dunia yang makin bising dengan algoritma, ia justru memilih diam bersama tanah.

Seperti kata Vandana Shiva: soil, not oil. Dari tanah kita tumbuh, dan di sanalah perubahan yang sesungguhnya dimulai. Bukan dari atas, tapi dari bawah. Dari halaman rumah, dari kompos, dari seorang perempuan yang memilih menunduk dan merawat.

Foggy FF adalah penulis fiksi dan esai. Ia aktif berkegiatan literasi dan sosial.



#waveforequality
About Author

Foggy FF