December 18, 2025
Environment Issues Politics & Society

Perempuan Sukatani Tolak Proyek Panas Bumi Gunung Gede Pangrango 

Perempuan Sukatani rolak proyek panas Bumi Gunung Gede Pangrango. Mereka cemas sumber penghidupan rakyat bakal hancur.

  • December 18, 2025
  • 10 min read
  • 67 Views
Perempuan Sukatani Tolak Proyek Panas Bumi Gunung Gede Pangrango 

Pagi itu, 12 November, udara dingin masih memeluk erat Desa Sukatani, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Di lereng Gunung Gede Pangrango, Nina, 33, bersama tiga saudara perempuannya sedang berkebun. Suasana hening yang menyelimuti ketiganya saat perlahan mencabut satu persatu rumput di kebun bayam harus terusik oleh kedatangan puluhan orang yang tidak mereka kenal. Menggunakan pakaian berwarna oranye, tanpa permisi orang-orang itu mulai mematok lahan-lahan warga. Pemandangan itu terasa ganjil di mata Nina.’ 

“Orang-orang yang biasanya di kantor pegang pensil atau pulpen, sekarang pegang alat tulisnya kebun. Mereka sibuk mencatat, mematok kilometer demi kilometer, dan menancapkan benda-benda asing di tanah kami,” kenang Nina dengan nada getir. 

Sontak, Nina meletakkan alat taninya. Ia berteriak, menuntut penjelasan mengapa tanah mereka dipatok tanpa pemberitahuan. Jawaban yang ia terima justru lebih mengejutkan. Mereka mengklaim lahan itu telah dijual dan uang pelepasannya sudah diberikan untuk proyek panas bumi. Padahal, bagi Nina dan keluarganya, tidak pernah ada transaksi, apalagi kata sepakat.  

“Enggak ada kata menjual selama ini. Kita enggak tahu dan enggak diberitahu,” tutur Nina miris. 

Peristiwa itu mengubah segalanya. Proyek panas bumi yang bakal membabat desanya kini menghantui pikiran Nina, merampas ketenangan tidurnya, dan mengaburkan fokusnya saat bertani. Rasa cemas ini ternyata tidak hanya dirasakan Nina sendiri, banyak ibu-ibu lain di desanya yang merasakan hal yang sama. 

Dari rumah ke rumah dan di sela-sela kepulan uap kopi, para perempuan Desa Sukatani mulai duduk bersama dan bertukar cerita. Mereka menyadari bahwa diam bukan lagi pilihan jika ingin menyelamatkan ruang hidup mereka. 

“Yang tadinya ibu-ibu hanya diam di rumah dan terima bersih, sekarang kami semua bergerak untuk menolak. Kami harus keluar, karena kehidupan kami sedang terancam,” tegas Nina. Bagi mereka, berjuang di garis depan kini terasa jauh lebih tenang daripada harus berdiam diri menyaksikan sumber penghidupan serta masa depan anak-anak mereka ikut terpatok oleh kepentingan proyek. 

Perjuangan para ibu-ibu Desa Sukatani berlanjut pada Rabu, 10 Desember di depan Pendopo Bupati Cianjur, Jawa Barat. Selama kurang lebih dua jam, para perempuan lengkap dengan poster dan banner mengecam pembangunan proyek panas bumi yang digolkan lewat Keputusan Menteri ESDM Nomor 2778 Tahun 2014.  

Kebijakan ini menetapkan lahan seluas 92.790 hektare di kawasan Gunung Gede Pangrango sebagai Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP). Cakupan proyek ini begitu masif, membentang melintasi tiga wilayah administratif yakni Kabupaten Bogor, Sukabumi, dan Cianjur. 

Yang lebih mengkhawatirkan, peta kerja proyek ini tidak hanya menyentuh lahan garapan warga, tetapi juga merambah benteng terakhir ekosistem pegunungan. Di dalam luasan tersebut, terdapat lebih dari 9.459 hektare hutan produksi dan 1.826 hektare hutan produksi terbatas yang terancam beralih fungsi. Bahkan, sekitar 25.380 hektare hutan konservasi. 

Nay, 23, adalah salah satu perempuan selain Nina yang ikut aksi penolakan saat itu. Sama seperti warga desa Sukatani lainnya, ia tidak pernah mendapatkan sosialisasi apapun terkait panas bumi. Pengetahuannya tentang dampak sosial dan ekologis, semua ia dapatkan dari informasi yang tersedia di internet dan hasil berdiskusi dengan para ibu-ibu lain.   

Nay pun geram dibuat geram dengan pemerintah daerah dan perusahaan yang tak mau repot-repot bertemu warga. Nay bahkan mengungkapkan kekecewaan beratnya pada Bupati Cianjur Muhammad Wahyu.  

“Dia dulu pas kampanye menolak panas bumi, sekarang malah dibiarkan masuk. Kami mau menuntut janjinya dulu,” kata Nay.  

Baca juga: Perempuan Torobulu Berjuang Tolak Tambang: Dirikan Tenda, Kehilangan Pekerjaan, Dikriminalisasi Perusahaan 

Sumber Penghidupan yang Terancam Hilang  

Kehidupan di Desa Sukatani adalah ritme yang terjaga oleh kesuburan tanahnya. Sebagai lumbung sayur, kebun-kebun di sana merupakan hulu bagi brokoli, pakcoy, wortel, dan bayam yang setiap hari mengisi meja makan warga Jakarta hingga Bogor. Keberlimpahan ini bukan tanpa sebab, Gunung Gede Pangrango berdiri kokoh sebagai pelindung sekaligus penyedia sumber mata air yang murni tanpa polusi.  

Bagi warga, melihat air yang merembes segar dari pori-pori tanah perkebunan setiap pagi bukanlah sebuah keajaiban, melainkan karunia alami yang sudah menjadi bagian dari napas mereka sehari-hari. Selama lintas generasi, gunung tersebut telah menjadi tumpuan tunggal. Dari tanah yang gembur dan air yang jernih itulah, warga Sukatani merajut ketahanan hidup dan menyemai harapan bagi masa depan keluarga mereka. 

“Pencarian nafkah kami ya di situ. Kami bertani untuk menghidupi anak-anak, dari sekadar uang jajan sampai membiayai sekolah mereka agar punya masa depan lebih baik,” tutur Nina dengan nada penuh penekanan. 

Namun, ketenangan ini kini berada di ujung tanduk. Rencana pembangunan proyek panas bumi yang lokasi sumur terdekatnya berjarak tak sampai 1000 meter dari kebun warga menjadi bayang-bayang yang mengancam. Jaraknya yang sangat dekat bukan hanya soal angka di peta, melainkan ancaman nyata terhadap kesejahteraan dan keberlangsungan hidup yang telah mereka rawat turun-temurun. 

Kekhawatiran Nina dan warga Desa Sukatani bukan tanpa alasan, sebab proyek panas bumi memang terkenal rakus air. Satu sumur panas bumi membutuhkan ribuan liter pasokan air tawar setiap harinya untuk proses pengeboran dan menjaga tekanan uap (injeksi). Angka yang lebih spesifik dipaparkan oleh Walhi Jawa Tengah bahwa penambangan panas bumi memerlukan setidaknya 40 liter per detik, atau sekitar 6.500-15.000 liter air untuk menghasilkan 1 MWh listrik.  

Selain rakus air, pengeboran sumur panas bumi sering kali gagal memenuhi standar keamanan. Proses pengeboran sumur panas bumi yang menembus lapisan kerak bumi sedalam ribuan meter membawa risiko kebocoran gas berbahaya dan pencemaran air tanah. Hal ini didokumentasikan dalam laporan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan Center of Economic and Law Studies (Celios) pada 2024.  

Laporan tersebut menyoroti bahwa aktivitas pengeboran seringkali memicu pelepasan gas hidrogen sulfida ke udara dan merusak struktur akuifer (lapisan pembawa air) di bawah tanah, yang menyebabkan air sumur warga berubah warna, berbau, hingga tak layak konsumsi. Contoh nyata dari risiko fatal ini ada di wilayah Mataloko, NTT, yang memicu munculnya semburan lumpur panas dan gas di luar titik bor (blowout) dan berakibat pada rusaknya mata air dan lahan pertanian warga di sekitarnya secara permanen. Di situasi ini, perempuan lagi-lagi yang akan membayar mahal dampaknya.  

Dalam struktur domestik, perempuan adalah kelompok yang paling akrab dengan air. Mereka menggunakan air dari urusan dapur, mencuci pakaian, hingga memastikan kesehatan anak-anak. Jika sumber air mengering atau tercemar, perempuan tidak hanya kehilangan alat untuk bekerja, tetapi juga menjadi pihak pertama yang disalahkan dalam keluarga.  

Ketika pakaian tak bersih karena air keruh, atau anak-anak terserang penyakit kulit akibat air yang terpapar polutan, telunjuk sering kali mengarah kepada sang ibu, seolah kegagalan menjaga keluarga adalah kesalahan mereka semata. 

Realitas pahit inilah yang mengubah peta perjuangan di Desa Sukatani. Para ibu yang dulu memilih menghabiskan waktu dengan kesibukan di dalam rumah, kini terpaksa melangkah keluar melampaui pagar kebun mereka. Kesadaran bahwa keberadaan proyek panas bumi akan mengancam hak dasar mereka atas air bersih telah mengubah rasa takut menjadi keberanian kolektif.  

“Kami ini perempuan yang akan menanggung dampak paling besar, jika air hilang, kami yang akan paling banyak disalahkan. Itu kenapa kami yang tadinya diam di rumah, sekarang turun ke jalan untuk menyelamatkan gunung dan mata air kami,” tegas Nina. 

Baca juga: Masyarakat Dairi Menolak Tambang: Kami Berjuang Sampai Mati  

Biyoung yang Menebar Teror  

Perjuangan perempuan menolak proyek panas bumi bukan tanpa kendala. Semenjak direncanakan pada 2022, proyek panas bumi Gunung Gede Pangrango telah banyak menciptakan konflik sosial baru di desa Sukatani. Warga yang menolak proyek ini boleh jadi makin banyak, tapi yang masih cenderung permisif dan mendukung juga tidak kalah banyak. 

Salah satu penyebabnya adalah karena kehadiran biyong atau makelar tanah. Memanfaatkan ketidaktahuan warga, para biyong ini menjual tanah-tanah warga ke pihak perusahaan. Beberapa biyong ini sebut Nay datang dengan latar agama yang kuat, sehingga memudahkan mereka membujuk warga. 

“Suami istri jadi banyak yang pro kontra. Suami saja juga nanya ‘kenapa ibu jadi ikut-ikutan?’, saya bilang saja lihat tuh masa depan anakmu itu. Kalau dia (biyong) paham agama harusnya ngerti tidak boleh merusak alam,” ujar Nay.  

Bukan cuma menciptakan konflik horizontal, biyong juga menebar teror. Nina menjadi salah satu sasaran utama intimidasi tersebut karena sikap vokal dan keteguhannya menolak proyek panas bumi. Tekanan itu datang bertubi-tubi. Rumahnya didatangi dan ia diteriaki saat hendak turun aksi.  

Para biyong ini nampaknya sengaja menyasar identitasnya sebagai perempuan untuk meruntuhkan nyalinya, menggunakan narasi gender untuk mendomestikasi kembali gerakan perlawanan yang sedang tumbuh. Ancaman yang mereka lontarkan pun tidak main-main, mereka berusaha menakut-nakuti Nina dengan bayang-bayang kekuatan aparat negara guna membungkam suaranya. 

“Kita kan turun tuh diancam. ‘Kenapa cewek-cewek ikutan teriak-teriak? Perempuan harusnya di rumah aja diam kalau tidak nanti kamu dicomot sama Kapolda sama Kapolri’ gitu bilangnya,” kenang Nina menirukan intimidasi yang dialaminya. 

Teror ini jelas bertujuan untuk mengisolasi para perempuan dari ruang publik dan mematikan nyali mereka sebelum perlawanan semakin membesar. Namun bagi Nina, ancaman ditangkap aparat terasa jauh lebih kecil dibandingkan rasa marah karena ruang hidupnya diusik.  

Baca juga: 6 Pelanggaran HAM Berat yang Dihilangkan dari Proyek Penulisan Ulang Sejarah Nasional  

Proyek Energi “Super Maskulin” yang Harus Dibenahi 

Perlawanan para perempuan desa Sukatani menambah daftar panjang perlawanan perempuan terhadap proyek panas bumi di Indonesia. Perlawanan serupa meledak di Poco Leok, Flores, di mana para perempuan berdiri tegak di garis depan untuk menghadang alat berat yang hendak masuk ke tanah adat mereka. Fenomena ini mencerminkan betapa timpangnya tata kelola sektor energi di Indonesia yang masih sangat maskulin.  

Dalam wawancara bersama Magdalene pada Selasa (16/12) lalu, Manajer Program Energi Terbarukan Trend Asia, Beyrra Triasdian, menyoroti data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat sekitar 90 persen posisi di sektor ini masih didominasi oleh laki-laki. Dominasi ini bukan sekadar soal jumlah, melainkan soal cara pandang yang sempit dan tercerabut dari realitas kehidupan manusia sehari-hari. 

Beyrra menjelaskan bahwa sistem yang sangat maskulin ini menciptakan pemisahan kaku antara “ruang kerja” dan “ruang hidup”. Para pengambil kebijakan sering kali melihat proyek energi hanya dari kacamata keuntungan kapital, seolah-olah aktivitas industri tersebut tidak akan merampas hak hidup orang lain di sekitarnya. Aspek-aspek seperti kerja-kerja perawatan di level rumah tangga dan keberlangsungan komunitas, dianggap sebagai hal yang tidak relevan dalam perhitungan bisnis.  

Dalam pandangan Beyrra, pendekatan ini merupakan perpaduan beracun antara maskulinitas yang kaku dan logika kapitalistik yang murni mengejar profit. Proyek energi yang seharusnya dirancang sebagai instrumen pembantu kehidupan manusia justru kehilangan subjek utamanya.  

Akibatnya, masyarakat lokal hanya diposisikan sebagai penerima dampak buruk dari kerusakan lingkungan, sementara seluruh keuntungan ekonomi tersedot ke tangan korporat. Kehilangan dimensi manusiawi ini membuat kebijakan energi tidak lagi berbicara tentang siapa yang butuh atau siapa yang tidak boleh dirugikan, melainkan hanya tentang akumulasi modal yang terus menggilas ruang hidup warga. 

Tidak mengherankan di lapangan dalam proyek-proyek energi prinsip Persetujuan Bebas, Awal, dan Terinformasi (FPIC – Free, Prior, and Informed Consent) tidak berjalan. Masyarakat sedari awal tidak dilibatkan dalam proses perencanaan, sehingga sebut Beyrra banyak proyek panas bumi bahkan dekat dengan pemukiman dan sumber mata air utama warga. Mereka juga tidak diberikan sosialisasi dampak apalagi mekanisme ganti rugi yang adil. 

“Kita enggak punya skema di mana masyarakat yang mendapatkan dampak dari pembangunan hingga pengelolaan energi dapat keuntungan yang lebih atau ganti rugi jangka panjang. Di dalam undang-undang (UU Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi), RUU EBET, atau RUKN (Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional) juga tidak ada,” jelas Beyrra. 

Absennya jaminan kesejahteraan manusia dalam payung hukum tersebut menunjukkan bahwa tolok ukur kesuksesan energi terbarukan kita saat ini masih sangat dangkal dan mekanistis. Padahal, keberhasilan sebuah proyek panas bumi tidak bisa hanya diukur dari angka megawatt yang berhasil dialirkan ke jaringan listrik nasional, melainkan dari seberapa kuat tata kelola, ketatnya kajian ilmiah, dan sejauh mana publik dilibatkan secara tulus sejak awal. Tanpa transparansi dan standar keamanan yang mumpuni, risiko teknis yang melekat pada proses eksplorasi dan eksploitasi panas bumi akan terus menghantui dan memicu ketakutan nyata bagi masyarakat di akar rumput.  

Oleh karena itu, pemerintah perlu meninjau ulang arah kebijakan energinya agar tidak terjebak dalam ambisi yang justru merugikan rakyatnya sendiri. Transisi energi yang berkelanjutan seharusnya menjadi jalan keluar dari krisis iklim, bukan justru menciptakan krisis baru di pemukiman warga dan lahan pertanian.  

“Karena mau bagaimanapun transisi energi tidak boleh menjadi alasan untuk mengorbankan masyarakat,” tegas Beyrra. 

Ilustrasi oleh Karina Tungari

About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.