6 Pelanggaran HAM Berat yang Dihilangkan dari Proyek Penulisan Ulang Sejarah Nasional

Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Kebudayaan besutan Menteri Fadli Zon, tengah menggarap penulisan ulang sejarah nasional. Proyek ini ditargetkan rampung pada Agustus 2025, bertepatan dengan peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia.
Fadli Zon bilang kepada Tempo, tujuan utama penulisan ulang ini adalah untuk menyelaraskan kembali pengetahuan sejarah dengan berbagai temuan baru dari disertasi, tesis, atau penelitian sejarawan. Ia menilai ada sejumlah temuan baru yang relevan untuk dimasukkan. Ini termasuk peristiwa-peristiwa yang belum tercakup dalam buku-buku sejarah terdahulu.
“Buku ini akan menjadi semacam buku sejarah resmi Indonesia, dan bakal menjadi acuan utama dalam pendidikan sejarah di semua jenjang,” ungkap politisi Gerindra tersebut.
Dalam perkembangannya, proyek penulisan sejarah itu menuai kontroversi. Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) mengkritik proses penulisan ulang yang dianggap terburu-buru, tidak transparan, dan berpotensi menghasilkan tafsir tunggal sejarah. Jika dibiarkan, ini dapat digunakan sebagai alat legitimasi kekuasaan. Mereka juga mengkhawatirkan penghilangan peristiwa-peristiwa penting yang tidak sejalan dengan pandangan rezim saat ini.
Dalam draft Kerangka Konsep Penulisan “Sejarah Indonesia” yang didapatkan Magdalene, sejumlah pelanggaran HAM berat ternyata tidak dimasukkan dalam proyek ini. Hal ini jadi alarm bahaya karena penghapusan pelanggaran HAM berat oleh negara dapat berdampak pada pemahaman kolektif masyarakat tentang masa lalu dan masa depan bangsa. Berikut setidaknya beberapa pelanggaran HAM berat yang tidak ditulis dalam draf tersebut:
Baca Juga: Menolak Lupa, Kerusuhan Mei 1998
1. Pembantaian Massal 1965-1966
Dalam Jilid 9 tentang Orde Baru disebutkan Peristiwa Gerakan 30 September 1965 merupakan tonggak sejarah Indonesia yang menghasilkan trauma panjang. Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam hal ini dinarasikan sebagai dalang penculikan dan pembunuhan para jenderal yang kemudian mendorong pembubaran partai.
Sayangnya draf ini tak menyertakan narasi soal pembantaian massal di luar hukum pada mereka yang dituduh sebagai anggota atau simpatisan PKI. Pembantaian ini dilakukan sistematis, dikendalikan Angkatan Darat, dan melibatkan milisi sipil. Bahkan dalam buku Metode Jakarta, Vincent Bevins mengungkapkan ada intervensi AS dalam penumpasan anggota PKI maupun orang-orang yang dituduh komunis di Indonesia.
Karena dilakukan tanpa pengadilan, banyak masyarakat sipil yang tidak punya kaitan apa-apa dengan PKI juga dibunuh. Sejarawan Australia Robert Cribb dalam buku The Indonesian Killing 1965-1966 memperkirakan setidaknya ada 1.500.000 jiwa terbunuh dalam peristiwa ini. Sementara dari hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), sekitar 32.774 orang hilang dan beberapa tempat diketahui menjadi lokasi pembantaian korban.
2. Penembakan Misterius (Petrus)
Selain tidak ada narasi sejarah pembantaian massal 1995-1996, jilid Orde Baru juga tidak membahas operasi Penembakan Misterius (Petrus) pada kurun 1962-1985. Ketua Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM Yosep Adi Prasetyo dikutip dari Antara memperkirakan jumlah korban petrus mencapai 10.000 nyawa. Sementara itu, jumlah korban versi Komnas HAM mencapai 2.000 orang lebih.
Yosep mengatakan pada era Orba, Petrus merupakan jalan pintas yang digunakan pemerintah untuk mengurangi angka kejahatan. Caranya, lanjut Yosep, dengan mengeksekusi mati sejumlah orang dengan menembak mereka yang dituduh sebagai preman dan membiarkan mayatnya tergeletak di jalanan. Para korban Petrus biasanya memiliki ciri-ciri yang hampir sama–memiliki tiga luka tembak di tubuh atau luka cekik.
Hasil penyelidikan Komnas HAM pada 2008-2012 menyatakan, operasi Petrus merupakan pelanggaran HAM berat. Dilansir dari Majalah Tempo, pelakunya adalah para tentara dan polisi di bawah koordinasi Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Republik Indonesia dan Presiden Suharto.
Baca Juga: 20 Tahun Tragedi Mei 1998, Keluarga Korban Terus Minta Keadilan
3. Penghilangan Paksa Aktivis 1997-1998
Peristiwa Penculikan dan Penghilangan Orang Secara Paksa periode 1997-1998, terjadi pada masa Pemilihan Presiden Republik Indonesia (Pilpres) untuk periode 1998-2003. Mengutip laporan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) pada 2017, laporan khusus Tirto (2020), dan laporan Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM) (2012), terdapat dua agenda politik besar kala itu. Pertama, Pemilihan Umum (Pemilu) 1997 dan Sidang Umum (SU) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada Maret 1998, untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden RI. Sebagai informasi, pada saat kasus ini terjadi, presiden RI masih dijabat oleh Suharto.
Demi menjaga “stabilitas negara” Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat membentuk kesatuan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Group IV, Tim Mawar. Tim ini bertugas mendeteksi kelompok radikal, pelaku aksi kerusuhan, dan teror. Saat itu mereka menyusun rencana penangkapan sejumlah aktivis yang diduga terlibat dalam peristiwa ledakan di Rusun Tanah Tinggi, Jakarta Pusat pada 18 Januari 1998.
Dalam operasi yang bergerak secara rahasia dan dengan menggunakan metode hitam atau undercover, ada sembilan aktivis yang ditangkap. Mereka adalah Desmond Junaedi Mahesa, Pius, Haryanto, Faisol, Raharja, Aan, Mugiyanto, dan Nezar Patria, serta Andi Arief. Kesembilan aktivis ini dipulangkan setelah mendapatkan berbagai penyiksaan selama interogasi. Namun ada 13 orang lainnya termasuk Wiji Tukul yang juga ditahan oleh Tim Mawar. 13 aktivis tersebut hingga kita belum diketahui keberadaannya.
Mengacu langsung pada laporan akhir tim penyelidikan Komnas HAM pada 30 Oktober 2006, mereka berkali-kali ditinju dengan kepalan tangan, ditendang dengan sepatu lars, disetrum dengan menggunakan alat electrical shock, dicambuk dengan tali tambang, ditodong senjata laras panjang di area leher, dan ditidurkan di balok es.
4. Tragedi Trisakti dan Semanggi I-II
Tragedi Trisakti terjadi pada 12 Mei 1998 di Universitas Trisakti, Jakarta, ketika ribuan mahasiswa melakukan demonstrasi menuntut pengunduran diri Presiden Suharto. Aksi yang awalnya damai, berubah jadi malapetaka saat aparat bersenjata menembaki mahasiswa yang sedang mundur ke dalam kampus. Empat mahasiswa tewas akibat tembakan timah panas. Mereka adalah Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie.
Selang tujuh bulan, mahasiswa dan masyarakat kembali turun ke jalan. Kini mereka berdemonstrasi menolak RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB). Aparat kembali merespons dengan kekerasan, menyebabkan 17 orang tewas, termasuk Bernardus Realino Norma Irmawan alias Wawan, mahasiswa Universitas Atma Jaya. Penembakan yang terjadi pada 13 November 1998 kemudian dikenal dengan Tragedi Semanggi I.
Pada 24–28 September 1999 terjadi penembakan kembali. Dikenal sebagai Tragedi Semanggi II, 11 warga sipil tewas dan 217 lainnya luka-luka dalam aksi penolakan RUU PKB dan penghapusan dwi fungsi ABRI. Meskipun telah dibentuk Tim Pencari Fakta Independen, hingga kini belum ada pertanggungjawaban hukum dari negara atas tiga tragedi ini.
Baca Juga: Catatan Hitam Indonesia dalam Lima Novel Sejarah
5. Pemerkosaan Perempuan Tionghoa di Tragedi Mei 1998
Di tengah runtuhnya rezim Orde Baru dan tekanan krisis moneter 1997/1998, Jakarta dan beberapa kota besar lain kacau balau. Ribuan toko dan bangunan dibakar, ratusan orang tewas, dan pemerkosaan massal terhadap perempuan etnis Tionghoa terjadi.
Menurut laporan dari Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk oleh pemerintah Indonesia pada 1998, terdapat sejumlah kesaksian dan bukti yang menunjukkan perempuan-perempuan Tionghoa menjadi sasaran pemerkosaan secara sistematis selama kerusuhan. Temuan yang sama didapati juga oleh Human Rights Watch dalam laporan mereka pada Juli 1998.
Tragedi ini meninggalkan luka yang mendalam dan memicu desakan untuk reformasi di berbagai sektor, termasuk penegakan HAM dan perlindungan terhadap perempuan hingga mendorong terbentuknya Komisi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Sayangnya hingga kini, keadilan bagi para korban kekerasan seksual dalam tragedi Mei 1998 belum sepenuhnya terpenuhi.
6. Kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh dan Papua (1999-2004)
a. Peristiwa Simpang KKA (1999)
Terjadi pada 3 Mei 1999 di Simpang Kuala Kertas Aceh (KKA), Aceh Utara, Peristiwa Simpang KKA diawali dari demonstrasi ratusan warga berdemonstrasi yang menuntut pertanggungjawaban atas penyiksaan dan pembunuhan warga oleh aparat TNI. Di tengah demonstrasi, pasukan TNI yang berusaha membubarkan massa melepaskan tembakan yang berakibat pada tewasnya 21 orang dan melukai puluhan lainnya. Kejadian ini menjadi simbol represi militer terhadap masyarakat sipil di masa konflik Aceh.
b. Peristiwa Wasior (2001-2002)
Peristiwa Wasior diawali oleh penyerangan dan pembunuhan lima anggota Brimob dan seorang warga sipil di base camp perusahaan CV, Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat. Penyerangan ini adalah buntut dari tuntutan terhadap hak ulayat masyarakat adat ke CV. Untuk menindaklanjuti penyerangan dan pembunuhan, kepolisian Indonesia melakukan operasi keamanan untuk memburu mereka yang dituduh terlibat dalam pembunuhan. Kepolisian pun melakukan penangkapan dan penghilangan paksa, dan pembunuhan terhadap warga sipil. Antara 2001–2002, sedikitnya 9 orang tewas dan banyak lainnya mengalami kekerasan.
c. Peristiwa Jambo Keupok (2003)
Pada 17 Mei 2003, di Desa Jambo Keupok, Aceh Selatan, 16 warga sipil ditangkap oleh aparat TNI tanpa proses hukum. Sebagian besar dari mereka kemudian ditemukan tewas dalam kondisi terbakar di rumah yang turut dibakar. Peristiwa ini terjadi saat diberlakukannya status Darurat Militer di Aceh dan menjadi sorotan karena menunjukkan pola pembunuhan di luar hukum.
d. Peristiwa Wamena (2003)
Peristiwa Wamena terjadi pada 4 April 2003 setelah serangan terhadap pos TNI. Aparat melakukan operasi sweeping terhadap masyarakat sipil di Distrik Wamena, Papua. Sebanyak 9 orang tewas, puluhan luka-luka, dan lebih dari 7.000 warga mengungsi akibat kekerasan, penyiksaan, dan pembakaran rumah.
e. Peristiwa Paniai (2014)
Peristiwa Paniai terjadi pada 8 Desember 2014, ketika aparat keamanan menembaki warga sipil yang sedang memprotes tindakan kekerasan TNI terhadap pemuda sehari sebelumnya. Aksi tersebut berlangsung di Lapangan Karel Gobai, Kabupaten Paniai, Papua. Empat remaja tewas dan belasan lainnya luka-luka. Kasus ini terjadi di awal pemerintahan Presiden Joko Widodo dan hingga kini belum menemui titik terang.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
