Perjalanan Penerimaan Diri Sebagai Seorang Gay
Penerimaan diri ini sangat penting bagi seorang gay untuk kesehatan mental dan relasi sosialnya.
Tumbuh dewasa di lingkungan yang sangat religius dan konservatif membuat saya terbelenggu. Ekspresi diri dibatasi, saya selalu diliputi rasa berdosa, dan tidak pernah bisa menjadi diri sendiri. Menyadari bahwa saya adalah gay membuat saya takut, cemas, marah dan bingung karena ajaran agama yang dilekatkan pada saya sejak kecil menyatakan bahwa mencintai sesama jenis itu dilarang dan merupakan dosa yang sangat besar. Berbagai kekhawatiran muncul seiring karena menghadapi penolakan dari keluarga, yang menganggap saya membawa aib, dan masyarakat.
Saya merasa aneh karena saya berbeda dengan orang lain dan saya merasa perbedaan ini membuat saya merasa terasing dengan lingkungan sekitar saya. Saya merasa bahwa saya tidak boleh berbeda dengan orang lain karena bila tidak, saya akan dirisak dan dibenci oleh orang lain. Kata-kata seperti “bencong” atau “banci” kerap kali dilemparkan kepada saya karena ekspresi diri saya yang feminin, dan itu membuat saya sakit.
Akhirnya saya memilih untuk membenci diri saya sendiri dan mengabaikan bakat serta kelebihan yang diberikan Tuhan kepada saya. Saya menjadi pribadi yang tidak percaya diri, selalu merasa rendah diri, dan tidak memiliki teman. Selain berdampak buruk pada pergaulan saya, rasa benci kepada diri sendiri ini membuat prestasi akademis di sekolah menurun.
Namun, seiring berjalannya waktu, rasa ingin tahu saya mengenai informasi terkait gay tidak dapat dibendung lagi, dan saya mencarinya di internet. Delapan tahun lalu, saat saya berusia 22 tahun, saya menemukan sebuah grup Facebook untuk komunitas gay remaja di Jakarta yang bergerak dalam penanggulangan HIV/AIDS. Saya lalu bergabung dengan grup tersebut, YIMOet, yang dinaungi oleh Yayasan Intermedika Prana.
Lini masa grup ini berisi unggahan dan percakapan yang informatif seputar HIV dan AIDS serta komunitas gay di Jakarta. Saya mulai memberanikan diri berinteraksi dengan para anggota tersebut. Banyak pertanyaan yang saya lontarkan tentang seksualitas dan dijawab dengan baik oleh teman-teman.
Baca juga: Apakah Kelompok LGBT Memang ‘Ngelunjak’?
Setelah beberapa bulan bergabung di grup YIMoet, saya diajak ikut pelatihan tentang pendidik sebaya selama dua hari di Jakarta. Dalam pelatihan ini, saya bertemu dengan teman-teman sebaya dengan orientasi seksual yang sama, dan saya diajarkan tentang pengetahuan mengenai HIV dan AIDS, serta penerimaan diri.
Setelah mengikuti pelatihan tersebut, saya mulai merasa tidak sendiri. Ada banyak teman yang menghadapi permasalahan yang sama seperti saya, dan mereka tetap bisa berprestasi dan berbahagia menikmati hidupnya. Sejak saat itu, saya mulai bisa menerima diri saya apa adanya. Penerimaan diri ini sangat penting bagi seorang gay untuk kesehatan mental dan relasi sosialnya, karena melibatkan pemahaman diri, kesadaran yang realistis, serta pemahaman soal kekuatan dan kelemahan seseorang. Semua hal ini menghasilkan perasaan individu tentang diri saya, bahwa saya bernilai unik.
Saya juga terinspirasi oleh penyanyi Ricky Martin, yang dikenal lewat lagu-lagu hit-nya di berbagai belahan dunia, seperti “Livin’ La Vida Loca”, “La Copa de la Vida”, dan “Maria”. Pada 2010 dia melela ke publik bahwa dia seorang gay dan dia terus berkarya dan dicintai penggemarnya. Bahwa ternyata masyarakat tidak melihat Ricky Martin dari orientasi seksualnya, melainkan dari apa yang dia lakukan dan hasilkan.
Meskipun masih banyak anggota masyarakat yang beranggapan bahwa homoseksualitas itu adalah penyakit seksual menyimpang dan berdosa, namun saya tidak lagi merasa keadaan diri saya ini salah. Homoseksualitas tidak lagi dikategorikan sebagai gangguan jiwa atau penyimpangan seksual sejak. Penghapusan paham homoseksual sebagai gangguan jiwa adalah keputusan dari Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) pada 17 Mei 1990 dan sudah dicantumkan Kementerian Kesehatan RI dalam buku Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia edisi II tahun 1983 (PPDGJ II) dan PPDGJ III (1993).
Baca juga: Bagaimana Aku Berdamai dengan Agamaku Sendiri
Dari kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa orientasi seksual adalah tendensi alamiah, terlepas dari aspek-aspek moralitas dan sosial. Artinya, merasakan suka pada sesama jenis atau lawan jenis adalah sebuah kecenderungan biologis seseorang. Oleh karena itu, akan sangat tidak adil jika saya mendapatkan perlakuan yang diskriminatif, seperti dihina, dicemooh, dikucilkan, hanya karena orientasi seksual saya tidak sejalan dengan ekspektasi atau standar masyarakat umum yang konservatif, seperti masyarakat Indonesia sejauh ini.
Dari semua proses yang saya alami selama ini, faktor terpenting dalam proses penerimaan diri saya adalah adanya sistem pendukung yang baik dari teman dan keluarga karena itu akan membantu kita untuk percaya diri dan merasa bahwa kita tidak sendiri. Selain itu kita juga harus bisa menerima segala kekurangan dan kelebihan agar bisa berkembang menjadi pribadi yang luar biasa.
Dua hal yang saya lakukan adalah mengenali diri sendiri dan berdamai dengan orang lain. Untuk menjadi seseorang yang luar biasa hebat dan sukses diawali dari penerimaan diri, dan saya akan dilihat bukan hanya dari orientasi seksual saya namun kontribusi yang dapat saya berikan kepada orang lain.
Artikel ini adalah hasil dari pelatihan menulis oleh Magdalene, bekerja sama dengan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM).