December 6, 2025
Gender & Sexuality Issues Opini People We Love Politics & Society

Membuka Pintu, Menenun Harapan: Perjalanan Luna sebagai Transpuan di Dunia Kerja

Seorang transpuan dengan semangat belajar tinggi menavigasi dunia kerja formal yang sering menutup pintu bagi komunitasnya.

  • July 18, 2025
  • 4 min read
  • 7354 Views
Membuka Pintu, Menenun Harapan: Perjalanan Luna sebagai Transpuan di Dunia Kerja

Luna selalu datang dengan senyum dan semangat penuh ke pelatihan kerja inklusif yang saya fasilitasi bersama Perkumpulan Suara Kita. Selama tiga kali pelatihan, ia tidak pernah absen, bahkan saat kegiatan tak disertai per diem. Tidak ada keluhan, hanya antusiasme yang terus menyala.

Sikapnya membuat saya ingin mengenalnya lebih jauh, dan ketika kami akhirnya duduk berbincang, ia membuka percakapan dengan jujur, “Aku harus cerita dulu bahwa aku punya privilege ya, Kak.” Kalimat itu menjadi pintu masuk ke kisah hidupnya, dan dengan izinnya pula, saya menuliskan cerita ini, lengkap dengan foto-foto yang telah ia setujui untuk dibagikan kepada publik.

Luna adalah seorang transpuan yang tumbuh di tengah keluarga yang menerima identitas gendernya. Dukungan ini, meski tak selalu lembut, menjadi landasan penting dalam hidupnya. Ibunya mendorongnya untuk segera mandiri selepas SMA.

“Meskipun saya diterima, saya juga dididik keras dan disiplin,” katanya. “Itu bekal luar biasa bagi saya untuk bertahan sampai sekarang.”

Luna tidak dibiarkan berdiam diri di rumah. Dengan kepercayaan diri yang tumbuh dari tempaan keluarga, ia mulai melamar pekerjaan dengan penampilannya yang sesuai dengan identitasnya, tanpa menutupi siapa dirinya.

Baca juga: Rully Mallay dan Warisan Perjuangan Transpuan Yogyakarta

Menembus dunia kerja dengan identitas utuh

Dengan dukungan keluarga dan bekal kedisiplinan sejak kecil, Luna memasuki dunia kerja tanpa menyembunyikan identitasnya sebagai transpuan. Pekerjaan pertamanya adalah di sebuah restoran milik orang asing. Ia bekerja selama empat tahun dan menjadi salah satu karyawan kesayangan rekan kerja serta atasan. Ia dikenal rajin, cekatan, dan sangat disiplin—semua nilai yang ia kaitkan kembali pada pola asuh orang tuanya.

Tentu saja, bukan berarti perjalanannya tanpa hambatan. Ia tetap menghadapi perundungan dan perlakuan diskriminatif dari lingkungan sekitar. Tapi Luna memilih untuk fokus. Ia menanamkan pada dirinya bahwa pekerjaan dan integritas lebih penting dari komentar negatif. Saat suasana kerja semakin tak nyaman, ia memilih mundur demi menjaga martabat dan kesehatan mentalnya.

Setelahnya, Luna beberapa kali berpindah kerja, namun tetap di industri Food & Beverage. Ia tidak hanya menjadi pelayan, tapi juga pernah dipercaya sebagai kepala kasir dan asisten koki.

“Tidak semua orang, apalagi transpuan, bisa dapat kesempatan seperti ini,” ujarnya.

Ia bahkan ingat satu momen ketika diminta memotong rambut demi mengikuti aturan tempat kerja. Tanpa banyak protes, ia melakukannya. Keyakinannya sederhana: performa akan berbicara. Dan benar saja, setelah atasan melihat kinerjanya, tak ada lagi protes ketika ia kembali menampilkan identitasnya secara penuh. Luna tidak hanya membuktikan diri, tapi juga secara perlahan mendobrak stigma melalui kerja nyata.

Apa yang membuatnya terus semangat? Jawabannya sederhana: kepercayaan. “Kalau sudah dipercaya, saya akan jaga amanah itu sebaik-baiknya,” katanya.

Ia sadar betul bahwa peluang bagi transpuan di dunia kerja formal sangat terbatas. Karena itu, setiap kesempatan adalah tanggung jawab yang besar. Luna membalasnya dengan kerja keras, loyalitas, dan konsistensi. Nilai-nilai yang ia bawa dari rumah, dari disiplin hingga rasa tanggung jawab, ia terapkan sepenuhnya di tempat kerja.

Baca juga: Stasiun Duri: Jejak Perjalanan dan Ruang Sosial Transpuan di Jakarta

Pandemi dan ketangguhan seorang transpuan

Di usia yang tak lagi muda, Luna tak berhenti belajar dan terus mencari ruang untuk tetap relevan di pasar kerja yang makin sempit. Namun, segalanya berubah saat pandemi COVID-19 melanda. Banyak tempat makan tutup, dan Luna kehilangan pekerjaan. Faktor umur juga menambah tantangan. Meski pengalamannya banyak, ia merasa perlu terus belajar agar tetap relevan di pasar kerja. Inilah yang membawanya ke pelatihan-pelatihan seperti yang saya fasilitasi. Ia ikut tanpa hitung-hitungan, demi mendapatkan ilmu.

“Yang penting saya dapat pengetahuan yang bisa saya pakai, dan kalau bisa saya bagi juga ke teman-teman transpuan lain,” ucapnya.

Kisah seperti Luna bukan hal langka di komunitas transpuan, namun jarang terdengar. Di tengah diskriminasi struktural dan akses kerja yang sempit, cerita seperti ini bisa menjadi bahan bakar kolektif. Luna tak hanya belajar untuk dirinya sendiri, tapi juga membawa semangat kolektif untuk memberdayakan yang lain. Ia adalah bentuk nyata kepemimpinan akar rumput, bukan lewat jabatan, tapi lewat keteladanan, konsistensi, dan kemauan berbagi.

Selama diskusi kami, hampir tak ada keluhan dari Luna. “Tantangan kita semua sudah tahu lah ya,” katanya santai. Ia lebih memilih berbicara tentang rasa syukur ketika diberi kepercayaan, dan tentang pentingnya kesiapan saat pintu kesempatan terbuka. Ia percaya bahwa meski seseorang belum punya pengetahuan atau koneksi, jika ada kemauan kuat dan bertemu orang yang bersedia memberi ruang, maka kemampuan akan tumbuh seiring waktu.

Baca juga: Payudara Transpuan: Dari Ilusi Identitas hingga Isu Keamanan

“Itu yang saya alami sendiri,” katanya.

Luna menunjukkan bahwa representasi tidak selalu harus bising. Kadang hadir secara utuh, bekerja dengan jujur, dan terus belajar adalah bentuk perlawanan paling kuat. Kisahnya bukan hanya tentang perjuangan pribadi, tapi juga tentang harapan kolektif, bahwa transpuan, seperti siapa pun, berhak atas ruang yang aman, setara, dan bermartabat.

Mia Olivia adalah Program and Community Development Specialist, Konselor, dan penikmat nasi goreng pedas. Seorang individu non-binary.

About Author

Mia Olivia

Mia adalah seorang konselor, pendamping korban, dan konsultan untuk program dan community development. A non binary person and a single parent.