July 14, 2025
People We Love

Rully Mallay dan Warisan Perjuangan Transpuan Yogyakarta

Rully Mallay menceritakan perjuangan komunitas transpuan Yogyakarta, dari tantangan global, ancaman kekerasan digital, hingga refleksi makna ‘Pride Month’.

  • June 24, 2025
  • 5 min read
  • 895 Views
Rully Mallay dan Warisan Perjuangan Transpuan Yogyakarta

Kepergian Shinta Ratri pada 1 Februari 2023 meninggalkan duka mendalam bagi komunitas transpuan di Yogyakarta. Sebagai pendiri Pondok Pesantren Waria Al-Fatah dan sosok pemersatu, komunitas ini merasakan kehilangan figur sentral yang telah lama menjadi penopang perjuangan.

Namun, semangat yang ia tanam tak ikut padam. Rully Mallay, 64, sahabat dekat Shinta sekaligus Ketua Divisi Pemberdayaan Santri di Al-Fatah, memastikan bahwa perjuangan tetap berjalan. Menurutnya, kekuatan komunitas justru terletak pada sistem kelembagaan yang kokoh dan terorganisasi.

“Meskipun Bunda Shinta sudah tidak ada, atau misalnya saya besok tidak ada, sistem kita ini sebetulnya sudah berjalan. Komunitas ini dibangun berbasis sistem,” kata Rully kepada Magdalene (18/6).

Baca juga: Sepotong Sore Dekat Idul Adha Bersama Shinta Ratri

Ia menjelaskan bahwa keberlanjutan dijaga melalui berbagai pelatihan penguatan kapasitas, dari advokasi hingga manajemen keuangan, serta pendekatan seni dan budaya dalam kampanye publik.

Salah satu upaya penting dalam regenerasi adalah Smart Transchool, program pendidikan inklusif untuk transpuan muda yang memberikan pengetahuan umum serta keterampilan hidup dasar.

Meski sistem berjalan, dinamika tetap menjadi bagian dari realitas organisasi. Pergantian anggota karena kematian, perpindahan, atau keputusan untuk fokus ke kehidupan pribadi, adalah hal yang harus dihadapi.

Namun bagi Rully, sosok Shinta tetap tak tergantikan. Selain kharisma dan kepemimpinan, kedekatan Shinta dengan Keraton Yogyakarta berkat latar keluarganya yang ningrat, menjadi kekuatan tersendiri dalam membangun relasi eksternal.

“Koneksi khusus ini adalah sesuatu yang sulit diwariskan begitu saja,” ujar Rully, transpuan asal Bone, Sulawesi Selatan, yang menetap di Yogyakarta sejak 2003.

Meski begitu, roda komunitas terus bergerak. Sekretariat baru telah tersedia, pengajian rutin setiap Minggu tetap berjalan, dan jumlah santri pun stabil. Semua ini, menurut Rully, tak lepas dari dukungan guru-guru agama dan jaringan yang solid.

Baca juga: 15 Tahun Tanpa Identitas, Transpuan Jogja Dapat Kado E-KTP

Tantangan global, ancaman era digital

Di balik kekuatan internal komunitas, ancaman dari luar tetap menjadi tantangan utama. Rully menyoroti kebijakan global yang berdampak pada dukungan donor, resesi ekonomi akibat perang, serta meningkatnya gelombang kebijakan anti-LGBT di berbagai wilayah.

“Kita juga dihadapkan pada ketidakjelasan regulasi di Indonesia yang belum melindungi hak kelompok keragaman gender,” ujarnya.

Kerentanan transpuan, lanjut Rully, diperparah oleh minimnya dukungan dari lingkungan terdekat. Banyak dari mereka yang ditolak keluarga sejak muda, tak punya tabungan, ijazah, atau jaminan sosial dan kesehatan. Umumnya hanya lulusan SD atau SMP tanpa keterampilan memadai, sehingga sulit mengakses pekerjaan yang layak.

Akibatnya, banyak transpuan terjebak dalam siklus kemiskinan dan pengucilan sosial yang berkepanjangan.

Selain marginalisasi struktural, komunitas transpuan kini juga menghadapi kekerasan digital. Rully menyebut bahwa sejak era reformasi, ruang publik dibanjiri ujaran kebencian terhadap kelompok gender non-normatif.

Menurutnya, kebebasan yang lahir dari reformasi kerap disalahgunakan oleh kelompok mayoritas untuk menyebarkan hasutan. Jika dulu kebencian banyak muncul di ruang fisik, kini ruang digital menjadi medan baru yang memperluas jangkauan serangan.

Ancaman ini makin serius dengan maraknya fobia terhadap komunitas transgender di skala global, yang turut berdampak di Indonesia. Untuk menghadapi ini, komunitas bekerja sama dengan mitra seperti SAFEnet untuk membekali diri dengan pengetahuan keamanan digital.

Namun perlindungan belum sepenuhnya efektif. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), menurut Rully, kerap dimanfaatkan untuk menjebak kelompok keberagaman gender. “Kawan-kawan yang tidak awas bisa sangat rentan terhadap kriminalisasi,” katanya.

Rully sendiri pernah menjadi korban kekerasan digital dalam bentuk penipuan. Sejak itu, ia memilih mengatur akun media sosialnya menjadi privat, dan aktif mendampingi kawan transpuan yang mengalami kekerasan serupa.

“Kami berusaha sedapat mungkin memberikan perlindungan kepada kawan-kawan transpuan yang menghadapi persoalan terkait dengan serangan di sosial media,” ujarnya.

Dukungan yang diberikan mencakup bantuan hukum melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, serta dukungan teknis dari para ahli teknologi informasi yang bekerja secara pro bono. Tak kalah penting, ada juga dukungan psikologis berupa layanan konseling bagi transpuan yang mengalami tekanan mental akibat serangan digital.

Baca juga: Sejarah Istilah “Transpuan” dan Perjuangan Keadilan di Dalamnya

Pride Month sebagai ruang refleksi

Di tengah berbagai tekanan, komunitas transpuan Yogyakarta tetap merayakan Pride Month dengan cara yang lebih hening dan reflektif. Bagi Rully, Pride bukan sekadar euforia, tapi momen untuk menguatkan kesadaran bahwa transpuan adalah bagian sah dari masyarakat dan negara.

Pride bagi kami adalah pengingat bahwa kami adalah bagian dari keluarga, bagian dari masyarakat, dan bagian de jure dan de facto dari bangsa ini,” ujar Rully.

Perayaan biasanya dilakukan dalam bentuk pembacaan puisi atau malam budaya bersama jaringan komunitas. Bukan dalam kemasan besar, tetapi sebagai ruang untuk saling menguatkan.

Di balik refleksi tersebut, ada perjuangan tak kalah penting, yakni menciptakan dan mempertahankan ruang aman. Bagi Rully, ruang aman haruslah inklusif terhadap berbagai bentuk identitas dan pengalaman, dari isu gender, disabilitas, hingga status ekonomi.

Meski Yogyakarta dikenal lebih terbuka, ia tetap menaruh kekhawatiran. “Kalau tidak ada yang terus memperjuangkan, kemunduran bisa terjadi, dan generasi selanjutnya akan menghadapi tantangan yang lebih berat,” katanya.

Ia meyakini bahwa perjuangan membangun ruang aman dimulai dari lingkar terdekat—keluarga, tetangga, dan komunitas. Namun perubahan juga harus menyentuh sistem formal negara.

“Rebut ruang-ruang aman agar kita bisa berkembang sebagai pribadi queer yang utuh. Kalau orang melihat kita sebagai manusia seutuhnya, mereka akan belajar untuk menerima individu yang berbeda,” tegas Rully.

Ia menyuarakan harapan agar ada keterwakilan kelompok queer di parlemen, sebagai bagian dari perjuangan mewujudkan keadilan sosial yang inklusif. “Kita butuh orang yang bisa menyuarakan hak-hak kita secara formal,” pungkasnya.



#waveforequality
About Author

Brigitta Novia Lumakso

Gita menyukai percakapan yang masuk akal dan logis. Tapi, di banyak kesempatan, ia justru sering membiarkan intuisi menuntun jalan hidupnya. Di luar itu, ia gemar menyelami keindahan lirik lagu Taylor Swift.