Laporan Femisida Jakarta Feminist: Kasus Naik hingga Transpuan Jadi Korban

*Peringatan pemicu: Femisida atau pembunuhan terhadap perempuan karena gendernya.
Jakarta Feminist merilis Laporan Femisida 2024 di Cikini, Jakarta Pusat, (30/6). Laporan ini mencatat ada sebanyak 204 kasus femisida, meningkat dibandingkan tahun lalu sebanyak 184 kasus.
Dari 204 kasus yang dipantau, 165 korbannya adalah cis-perempuan, 7 transpuan, 13 anak perempuan, 14 kasus bermotif kejahatan, dan 5 kasus pembunuhan relasional agresif. Dari sisi usia, 29 persen korban adalah perempuan berusia 26–40 tahun, 25 persen berusia 18–25 tahun, dan 21 persen berusia 41–60 tahun.
Seperti tahun lalu, kasus femisida paling banyak terjadi di Pulau Jawa (42 persen), dengan Jawa Barat mencatat jumlah tertinggi (32 kasus), diikuti Jawa Tengah (24 kasus), dan Jawa Timur (20 kasus).
Kendala pemantauan pun masih sama: Tidak ditemukan pemberitaan terkait femisida di Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Maluku Utara, Papua Barat, dan Sulawesi Barat.
Syifana Ayu Maulida, peneliti Jakarta Feminist, menegaskan tidak adanya pemberitaan bukan berarti kasusnya tidak terjadi. Selama negara belum memiliki data terpilah gender, pencarian data kasus femisida hanya bergantung pada peliputan media. Ini diperparah aksesibilitas media yang masih terpusat di Pulau Jawa.
“Pemberitaan kasus di daerah lain jadi lebih sulit ditemukan, apalagi untuk kasus yang tidak viral dan tidak diangkat media nasional,” jelas Syifana dalam peluncuran laporan, (30/6).
Relasi korban dan pelaku pun tak berubah. Sebanyak 48 persen perempuan dibunuh oleh pasangan intim mereka—baik suami, pacar, selingkuhan, mantan, hingga teman kencan. Sebagian besar pembunuhan (53 persen) bahkan terjadi di rumah korban—ruang yang seharusnya aman justru menjadi yang paling berbahaya.
Baca juga: Femisida Bukan Sekadar Pembunuhan Biasa, Ada Misogini di Dalamnya
Transpuan juga Korban Femisida
Jakarta Feminist tetap memasukkan transpuan sebagai korban femisida. Langkah ini cukup progresif mengingat Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) bahkan belum mengidentifikasi secara spesifik cis-perempuan dan transpuan dalam laporan mereka.
Identifikasi ini penting untuk mengungkap diskriminasi berlapis yang dialami transpuan. Sebagai perempuan, transpuan dianggap melanggar norma patriarki. Sebagai trans, mereka dipandang menantang norma heteronormatif. Keduanya memicu kekerasan sebagai bentuk kontrol atas tubuh mereka.
Meski mengalami kekerasan berlapis, kekerasan terhadap transpuan jarang dibaca sebagai femisida—baik dalam hukum, media, maupun statistik. Mereka dianggap “tidak sah” dicatat sebagai korban perempuan. Dalam Whipping Girl, Julia Serano menyebut ini sebagai transmisogini—ketakutan terhadap ekspresi feminin yang ditampilkan transpuan, karena dianggap mengancam hirarki patriarki.
Jakarta Feminist memaparkan kasus femisida terhadap transpuan di Mataram, NTB. Seorang pria (26) membunuh transpuan (30) setelah mengetahui korban bukan cis-perempuan. Korban saat itu hendak memberi tumpangan pada pelaku. Setelah tertarik dan mengikuti korban ke kosan, pelaku mencekik korban hingga tewas.
Media kemudian membingkai kasus ini dengan narasi “penjebakan” atau “kebohongan”, seolah pembunuhan bisa dimaklumi. Echa Waode, Sekretaris Jenderal Arus Pelangi, menilai ujaran kebencian dari pejabat publik turut memperburuk situasi.
“Ujaran itu menaikkan stigma dan diskriminasi terhadap transpuan. Ketika femisida terjadi, penyelidikan makin sulit, padahal kasusnya sangat mendesak,” ujar Echa.
Baca juga: Budaya Kehormatan Bikin Perempuan di Turki jadi Korban Femisida
Perlu Pengakuan Negara
Kompol Endang Sri Lestari, Kepala Unit PPA Polda Metro Jaya, mengakui banyak aparat penegak hukum (APH) belum dibekali pemahaman gender. Akibatnya, motif kebencian, relasi kuasa, dan superioritas gender kerap luput dalam penyidikan.
Untuk mengidentifikasi motif gender, penyidik seharusnya melibatkan ahli seperti psikolog forensik. Namun, tidak semua kasus melibatkan ahli. Penyidik akhirnya harus menafsirkan sendiri motif pembunuhan.
“Penyidik bekerja berdasar fakta. Mereka tidak selalu berpikir soal motif gender. Karena itu pendidikan sangat penting agar penyidik bisa memahami penjiwaan kasus,” jelas Endang.
Erni Mustikasari dari Kemenko Polhukam menambahkan, memang belum ada konsep pembunuhan spesifik femisida dalam pidana. Namun, ini tak bisa jadi alasan APH dan jaksa mengabaikan kasusnya.
“APH harus mampu membedakan satu kejahatan dari yang lain. Pelatihan bersama penyidik dan jaksa penting agar motif gender sampai ke berkas perkara,” ucap Erni.
Endang juga menyebut adanya rencana penyusunan Peraturan Kapolri (Perkap) tentang perempuan berhadapan dengan hukum. Selama ini, Polri memiliki Perkap No. 8/2016 tentang perlindungan perempuan dan anak, namun baru sebatas tindak pidana umum.
“Kami ingin ada Perkap khusus supaya penyidik dari mabes, polda, hingga polres lebih paham perspektif korban, tidak reviktimisasi, dan tidak mempersulit secara administratif,” ujarnya.
Rapat kerja penyusunan Perkap akan segera digelar. Endang meminta bantuan koalisi masyarakat sipil agar peraturan ini benar-benar melindungi korban femisida.
Baca juga: Cukup Sudah: Hentikan Eksploitasi Kematian Korban Kekerasan Seksual!
Femisida Bukan Kejahatan Biasa
Siti Aminah Tardi, Direktur Eksekutif Indonesian Legal Resource Center (ILRC), menyatakan negara harus lebih dulu mengakui femisida sebagai bentuk kekerasan khusus. Pengakuan ini jadi langkah awal untuk membangun kebijakan pencegahan, penegakan hukum, dan perlindungan korban yang efektif serta sensitif gender.
Tanpa pengakuan, kekerasan terhadap perempuan akan terus dianggap kejahatan terisolasi—bukan pola sistemik yang harus diselesaikan secara serius.
Siti menyadari tantangannya tidak kecil. Femisida sebagai konsep sosial-politik feminis memang sulit diterjemahkan ke dalam bahasa hukum pidana. Namun selama isu ini terus digaungkan, ia yakin akan menjadi perekat penting dalam gerakan perempuan di Indonesia.
