Mengasuh anak disabilitas itu mengasah sabar sepanjang hayat.
Begitu kata “Ina”, seorang ibu dari anak perempuan dengan disabilitas netra di Yogyakarta. Butuh waktu bertahun-tahun baginya untuk melatih anaknya memakai baju sendiri, sembari melatih dirinya sendiri untuk bersabar dan telaten. Sepatu anaknya harus tanpa tali, seragam berkancing banyak membuat pagi hari penuh drama, dan urusan menguncir rambut bisa jadi sumber tangis. Sarapan pun tak jarang memakan waktu lebih lama dari jadwal berangkat sekolah.
Baca juga: Menggugat Standar Cantik bagi Perempuan dengan Disabilitas Netra
Setelah dua dekade mengasuh, Ina sampai pada kesimpulan bahwa anak disabilitas bisa mandiri, asalkan orang-orang yang mendampinginya mau mengubah pola pikir. “Jangan bandingkan dengan anak non-disabilitas seusianya,” katanya. Artinya, bukan hanya anak yang harus belajar, tapi juga kita yang mendampinginya.
Konsep waktu pun jadi relatif. Semua serba lebih lama dibandingkan anak tanpa disabilitas. Ina tahu itu karena ia juga membesarkan anak pertama yang non-disabilitas.
Ia mengakui pernah diliputi rasa bersalah karena harus memberikan perlakuan khusus kepada anak keduanya. Ketidaksabaran sering membuatnya mengambil alih tugas sang anak demi mempercepat segalanya. Tapi dari situlah ia belajar: kemandirian butuh waktu, dan waktu itu harus diberi ruang.
Proses penerimaan diri sebagai ibu dari anak dengan disabilitas tidaklah mudah. Saat mengantar anaknya ke sekolah luar biasa (SLB), Ina hanya memastikan anaknya sampai dengan selamat. Ia menghindari menatap lama interaksi sang anak dengan teman-teman sesama disabilitas—bukan karena malu, tapi ia tak ingin tenggelam dalam kekhawatiran. Sering kali ibunda Ina—sang nenek—yang menggantikan, mengantar cucu dan menungguinya hingga pelajaran usai, sementara Ina tetap harus mengurus anak pertamanya.
Baca juga: Annisa Emery Manik: Perempuan Tuli Penggerak Advokasi Gender Inklusif
Sistem sekolah yang tak selalu ramah
Sebagai ibu tunggal, beban Ina berlapis-lapis. Selain membesarkan dua anak, ia harus bekerja keras mencari penghasilan tambahan demi menutupi kebutuhan anaknya.
“Kalau anak biasa cukup A, anak disabilitas butuh A-B-C-D,” katanya, sambil menyebut biaya alat bantu, transportasi khusus, dan waktu pendampingan sebagai tantangan tersendiri.
Di tengah keletihan fisik dan mental, Ina harus berjuang dengan keterbatasan pilihan sekolah. Meski Yogyakarta adalah salah satu provinsi yang dianggap lebih ramah terhadap penyandang disabilitas, opsinya tetap terbatas. Ia menyesal pernah menyekolahkan anaknya di SLB swasta. Dalam satu kelas, siswa dari tingkat SMP kelas 7 hingga 9 digabung tanpa materi yang berbeda. Anak Ina sempat mogok sekolah selama lebih dari setahun akibat sistem belajar yang monoton dan kekerasan dari guru maupun teman sekelas.
Dengan sabar, Ina dan ibunya mendorong sang anak kembali bersekolah. Kini, di usia 20 tahun, ia duduk di kelas 10. Ina bersyukur anaknya tidak menjadi bagian dari statistik. Menurut Profil Anak Indonesia (2024) terbitan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, satu dari dua anak disabilitas tak menyelesaikan pendidikan SMP pada usia 16–18 tahun.
Ina sempat mempertimbangkan sekolah inklusif. Namun, ia khawatir anaknya mungkin kesulitan beradaptasi, dan ia merasa anaknya sudah terlalu tertinggal dibanding teman sebayanya.
Masalah Ina bukan kasus tunggal. Data Registrasi Sosial dan Ekonomi (Regsosek) 2022 mencatat ada 205.000 anak penyandang disabilitas di Indonesia, sementara hanya tersedia 2.329 sekolah berkebutuhan khusus. Itu berarti satu sekolah harus menampung rata-rata 88 peserta didik—beban yang sangat berat bagi kapasitas dan tenaga pengajar yang tersedia.
Baca juga: Pemangkasan Anggaran KND: Bukti Pemerintah Remehkan Hak Orang dengan Disabilitas
Bahkan ketika anak tidak memiliki hambatan kognitif, banyak sekolah umum menolak mereka. Alasannya? Tak siap dengan fasilitas dan metode belajar yang mendukung kebutuhan disabilitas. Inisiatif sekolah inklusif pun belum merata. Guru pendamping khusus kerap juga merangkap sebagai guru kelas karena jumlah tenaga masih minim.
Ina tahu, pendidikan saja tidak cukup menjamin masa depan anaknya. Ia tak bisa berharap banyak apakah anaknya akan bisa bekerja atau menikah. Negara memang punya kebijakan afirmatif di sektor pekerjaan: instansi pemerintah wajib menerima 2 persen pekerja disabilitas, sektor swasta 1 persen. Berbagai program pendampingan juga mengarahkan penyandang disabilitas untuk berwirausaha. Tapi Regsosek 2022 mencatat hanya satu dari lima perempuan disabilitas yang memiliki akses ke pekerjaan.
Maka, yang Ina lakukan adalah bekerja sekuat tenaga, menabung, dan membangun rumah kontrakan sebagai investasi jangka panjang demi membekali anak ketika ia sudah tiada. Ia juga melibatkan anak pertamanya untuk menerima dan mendampingi adiknya. Sebab, menurut Ina, “masyarakat baru bisa menerima disabilitas kalau mereka bisa hidup mandiri.” Dan itu yang sedang ia siapkan.
Irmaningsih Pudyastuti biasa dipanggil Irma, bekerja sebagai Tim GEDSI (Gender Equality, Disability, and Social Inclusion) di Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak (SAPDA).
















