Jadi perempuan saja sudah relatif sulit di Indonesia, apalagi perempuan pembela isu gender. Begitu kata Nur Azila, 23, mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Sudah lima tahun Zila aktif menyuarakan isu gender lewat media sosial dan organisasi yang ia ikuti. Dari Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Putri (KOPRI), Solidaritas Perempuan Kinasih Yogyakarta, hingga Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA).
Selama terlibat dalam aktivisme inilah, ia belajar perempuan di Indonesia menghadapi berbagai tantangan. Meskipun Badan Pusat Statistik mencatat ada penurunan Indeks Ketimpangan Gender (IKG) sebesar 0,459 pada 2022 dibanding 0,465 pada 2021, Indonesia masih tertinggal dalam persoalan kesehatan reproduksi perempuan, pemberdayaan, dan aksesibilitas terhadap lapangan kerja.
Belum lagi kekerasan berbasis gender yang membayangi perempuan setiap harinya. Survei Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) pada 2024 menyebut 1-4 perempuan mengalami kekerasan fisik, seksual, emosional, ekonomi, dan pembatasan aktivitas dari pasangan. Sementara dari luar pasangan, 1-5 perempuan juga jadi korban.
Selain menyadari perempuan terganjal hambatan-hambatan tersebut, ketertarikan Zila juga didorong oleh latar belakang personal. Ia anak buruh migran. Tak cuma ibunya, neneknya juga sama-sama mencari penghidupan sebagai pekerja di luar negeri. Lazimnya anak buruh migran, Zila enggak punya privilese mendapat pengasuhan orang tua yang memadai, meski ia beruntung bisa sekolah. Menjadi anak buruh migran juga membuatnya familier dengan isu fatherless, kekerasan berbasis gender, perkawinan anak, sampai beban ganda rumah tangga. Terlebih tinggal di lingkungan masyarakat konservatif, membuat ia memahami stigma terhadap perempuan dan anak buruh migran juga masih sukar dihilangkan.
“Kalau ngomongin soal perempuan tuh sebenernya cukup crowded gitu isunya di sekeliling aku. Aku banyak sekali menemukan kekerasan dalam rumah tangga, penelantaran anak, kekerasan berbasis gender,” kata Zila kepada Magdalene, (6/12).
Baca juga: Belajar dari Aktivisme Lokal Perempuan untuk Menjaga Lingkungan
Pengalaman inilah yang membuat Zila tergerak melakukan advokasi. Di 2019, ia pernah mengikuti diskusi Hari Perempuan Sedunia dan bertemu dengan sesama aktivis perempuan. Mendengar pengalaman perempuan ini membuat Zila merasa menemukan bahan bakar baru untuk bersuara. Pada praktiknya, enggak cuma isu buruh migran saja yang ia suarakan tapi juga isu-isu perempuan lainnya, termasuk kekerasan berbasis gender.
Sebelas dua belas dengan Zila, aktivisme dari perempuan muda juga ditunjukkan oleh Desimawaty, 23, mahasiswa Universitas Udayana, Bali. Ia bergabung dengan komunitas penyintas kekerasan seksual Sanggar Puan dan jadi advokat di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) setempat. Ketertarikannya juga lahir dari pengalaman personal. Sebelumnya, ia mengalami kekerasan seksual dalam hubungan pacaran. Pengalaman ini cukup membekas dan traumatis untuknya.
“Pas aku kuliah itu sempat, bisa dibilang mengalami kekerasan seksual dalam hubungan pacaran. Di situ aku ketemu sama kawan-kawan yang sekarang namanya Sanggar Puan yang membantuku jadi lebih berdaya. Mereka juga yang akhirnya mengajak aku untuk belajar (isu gender) bareng-bareng,” jelas Desi.
Lambat laun bukan sekadar isu kekerasan yang ia gaungkan tapi juga lingkungan. Ia pernah berkontribusi dalam advokasi menjaga Bali dari potensi kerusakan buntut gencarnya pemerintah dalam kampanye pariwisata. Kita mungkin akrab dengan overtourism atau membludaknya wisatawan Bali melebihi daya tampungnya. Meski mendongkrak perekonomian daerah, tapi ekses kerusakan lingkungannya juga tak main-main.
Liputan Kompas pada (8/12) mencatat, dampak paling kentara adalah penumpukan sampah plastik yang mencemari pantai utama, seperti Pantai Berawa di Kuta Utara yang mencapai 1,6 juta ton per tahun. Atau degradasi terumbu karang akibat aktivitas snorkeling dan penyelaman yang membabi-buta. Belum lagi terkikisnya ruang terbuka hijau dan keanekaragaman hayati lokal akibat pembangunan infrastruktur pariwisata.
Pengalaman personal juga jadi alasan Novita Sari, 21 terlibat dalam aktivisme. Ia lahir dan besar di Sorong, Papua. Di sana, kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menjadi momok yang cukup mengkhawatirkan. Setio Hastiarwo dari Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TPA) menyebutkan dalam diskusi yang diliput Suara Papua, perempuan Papua mengalami KDRT, kekerasan psikis, sampai kekerasan seksual.
“Akibat KDRT, banyak perempuan yang hidungnya berubah karena dipukul, dianiaya. Pasti kita akan jumpai di setiap sudut Kota Sorong. KDRT tidak terlihat karena perempuan (Sorong) mampu menyembunyikan hal tersebut,” kata Setio, dilansir dari media yang sama.
Hal ini selaras dengan pernyataan Novita. “Kakak tahu sendiri di Papua itu kasus kekerasan terhadap perempuan sering sekali terjadi. Makanya, aku ingin terus coba mendalami isu tersebut,” kata Novita, (6/12).
Ia memang belum lama terjun ke dunia aktivisme perempuan. Apalagi keterbatasan akses terhadap informasi dan jaringan, membuat langkahnya dalam aktivisme, tak berjalan mulus. Kini Novita berdomisili di Jakarta untuk kuliah, sehingga paparan terhadap informasi ini jadi relatif lebih kencang.
“Saya ingin memanfaatkan situasi (tinggal di Jakarta) dengan sebaik-baiknya. Tujuannya agar saat pulang, saya bisa banyak membantu Sorong yang masih punya PR besar untuk meniadakan kekerasan terhadap perempuan,” imbuhnya.
Baca juga: Kronologi Meninggalnya Aktivis Transgender Peru dalam Tahanan Polisi Indonesia
Dihalangi Pemerintah, Kampus, sampai Teman-teman Sendiri
Memperjuangkan hak perempuan dan kelompok rentan bukanlah perkara mudah. Dalam perjalanannya, tiga perempuan muda ini menghadapi berbagai hambatan masing-masing. Desi misalnya, harus menghadapi hambatan dari lembaga pemerintah yang membentuk apatisme warga terhadap upaya pelestarian lingkungan di Bali.
Saat tengah mengadvokasi kasus pembebasan lahan dan masyarakat adat di Desa Air, Batur, masih banyak masyarakat yang menganggap perlawanan ini sia-sia dan tidak perlu dilakukan. Meski masyarakat sudah merasakan dampak langsung kerusakan lingkungan setelah pembangunan sektor pariwisata, tapi mereka menolak terlibat aktif dalam aksi penolakan.
“Di Desa Air di Batur, masyarakatnya justru tidak aktif (melawan). Padahal jelas mereka hidup di atas tanah konservasi yang enggak boleh dijadikan area wisata. Namun, saat diajak menolak, masyarakat enggak mau terlibat. Enggak semuanya mau turun,” papar Desi.
Apatisme ini dilatarbelakangi oleh indoktrinasi yang massif dari pemerintah lokal. Mereka sudah terbiasa dengan pemahaman bahwa Bali memang perlu melakukan apa saja agar pariwisata terus berjalan, bahkan jika harus mengorbankan keasrian lingkungan sekali pun. Lewat program Sapta Pesona Bali, masyarakat terbiasa resisten jika ada aktivis yang mengkritisi proyek pariwisata yang tak berwawasan lingkungan. Mereka menganggap aktivisme terhadap lingkungana adalah usaha “pengrusakan misi Bali sebagai tujuan wisata”.
Berbeda dengan Desi, Zila, mengaku justru mendapat banyak hambatan dari otoritas kampus. Ia bercerita, saat terlibat dalam penanganan dan pendampingan kasus kekerasan seksual salah satu mahasiswa, otoritas kampus sama sekali tak berpihak pada korban. Semua atas nama melindungi nama baik universitas.
“Institusi pendidikan adalah hambatan tersebar. Aku saat itu bantu korban bersama teman-temanku secara mandiri dan kolektif. Idealnya, kami bisa kerja sama dengan SATGAS PPKS , sayangnya SATGAS kurang maksimal. Tidak ada tindakan yang dibutuhkan selama 4 bulan. Bahkan, kampus juga enggak beri sanksi tegas pada pelaku, ia bebas dan sudah selesai sidang,” kata Zila.
Birokrasi kampus juga masih jadi persoalan besar yang menghambat aktivismenya. Beberapa kali ia bolak-balik mengurus kasus kekerasan, termasuk ke Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Provinsi lantaran kasus tak selesai di kampus dan nama terang mereka terekspos ke luar. Banyak waktu dan tenaga yang terbuang karena setelahnya harus melakukan audiensi juga ke rektorat. Korban pun semakin sulit mendapatkan hak dan dipulihkan.
Berbeda dengan Zila dan Desi yang menyebutkan otoritas kampus dan pemerintahan sebagai aktor penghambat utama, ganjalan terbesar justru datang dari teman-teman mahasiswa. Ceritanya, Novita yang baru memulai advokasi mengadakan diskusi tentang kesetaraan gender di kampus. Sayang, cuma sedikit mahasiswa yang hadir ke acara tersebut.
“Bisa jadi memang banyak mahasiswa yang enggak peduli. Hambatanku adalah teman-teman mahasiswa yang justru tak menganggap isu ini penting, sehingga mereka kurang merespons dengan baik,” ungkapnya.
Tak cuma di ruang luring, di jagat maya, mereka juga kerap jadi bulan-bulanan ujaran kebencian dan kekerasan berbasis gender online (KBGO). Sebagai aktivis muda, mereka sadar betul media sosial bukan tempat yang aman dan ramah. Terlebih buat orang yang punya visibilitas, seperti jurnalis atau aktivis perempuan. Maka enggak heran jika beberapa kali kita mendengar kisah perempuan yang aktif bersuara tapi justru dibungkam lewat KBGO. Jurnalis senior Najwa Shihab dan Ketua BEM UNAIR di antaranya. Mereka menerima berbagai teror, ancaman pembunuhan, doxing, mobbing, dan sederet kekerasan lain beberapa waktu lalu.
Kekerasan di ruang maya ini sejalan dengan riset Iffat Jahan Antara, peneliti BRAC Institute of Governance and Development bertajuk “Online violence against women–a weapon used to silence and degrade”. Dalam liputan Magdalene sebelumnya diungkapkan, ujaran kebencian dan pelecehan yang sering dilontarkan pada aktivis perempuan merupakan upaya delegitimasi terhadap sosok perempuan. Hal ini berkaitan dengan standar yang salah terkait siapa yang dianggap cukup “kredibel” untuk berbicara tentang isu kemanusiaan. Perempuan dianggap tidak pantas untuk hal itu.
Dampaknya kerap kali membuat perempuan melempem melakukan aktivisme di kanal media sosial. Desi pun punya pengalaman tak mengenakkan di media sosialnya. Selain ujaran kebencian, ada orang yang alih-alih menanyakan agenda perjuangan tapi justru menggugat identitas gender dan orientasi seksualnya.
Untuk mengatasi hal ini, Desi memilih membatasi postingan soal aktivismenya hanya di story yang cuma bertahan 24 jam. Sementara Zila dan Novi memilih menutup akun media sosialnya secara total.
Baca juga: Kekerasan Seksual Aktivis Kiri, Saatnya Bersih-bersih Gerakan Sendiri
Mencari Kekuatan dalam Komunitas
Bagi Zila dan Desi, berjejaring jadi solusi utama untuk menghadapi hambatan dan tantangan yang mereka alami. Di Bali, Desi merasa teman-teman Sanggar Puan sangat membantunya dalam melakukan advokasi, baik isu gender maupun lingkungan.
“Aku sendiri enggak bisa bergerak tanpa kawan-kawan, enggak bisa gerak sendiri. Kita harus sering bersolidaritas karena lawan kita negara, kuat banget,” ungkap Desi.
Zila sepakat dengan Desi. Ia pun memilih untuk mencari kawan sevisi, berjejaring, dan bersolidaritas dengan sesama aktivis perempuan. “Karena jika enggak berjejaring, support yang datang dari teman-teman tidak akan bisa tumbuh. Aku cukup mendapat banyak bantuan karena memiliki jejaring, terutama saat menangani kasus kekerasan. Kalau saling kenal, aku banyak dapat bantuan,” jelas Zila lagi.
Untuk ancaman yang terjadi di ranah digital sendiri, Nenden Sekar Arum, Direktur SafeNet, menyebutkan terdapat beberapa aturan yang dapat menjadi payung perlindungan aktivis muda. Di antaranya Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) untuk ancaman yang masuk ke ranah pelecehan seksual. Meskipun belum sepenuhnya sempurna, karena adanya pasal karet dan tidak memadainya turunan aturan UU TPKS, tapi setidaknya ini bisa jadi acuan.
Selain itu, ujar Nenden, di media sosial sudah terdapat aturan komunitas (community guidelines) yang jadi pagar utama dalam memerangi ancaman dan ujaran kebencian pada perempuan. Hanya saja sekali lagi, mekanisme yang ditawarkan oleh platform masih menyisakan setumpuk catatan.
“Sebetulnya sudah ada aturan atau kebijakan dari platform digital. Masalahnya adalah bagaimana mereka bisa menegakkan community guidelines-nya. Dari temuan SafeNet saja nyatanya ketika ada konten-konten berbahaya yang menyerang perempuan atau kelompok marjinal lainnya, saat dilaporkan, mekanisme penanganannya tak cukup konsisten,” pungkasnya.
Namun setidaknya ketika platform tak bisa diharapkan dan negara memilih tak hadir, aktivisme perempuan tetap menemukan jalan dengan bergandengan tangan.
Artikel ini merupakan kolaborasi liputan bersama Women’s Media Collabs, didukung oleh IMS – International Media Support dan European Union.
Ilustrasi oleh: Karina Tungari