Dari ‘Deepfake’ hingga ‘Add Yours’ Instagram, Ada Data Pribadi Perempuan yang Dipertaruhkan
Perempuan tetap jadi kelompok rentan di tengah majunya teknologi digital, termasuk kecerdasan buatan.
Akun X @ditamoechtar_ bercerita pada CNN Indonesia tentang temannya yang jadi korban penipuan, akhir November 2021. Temannya terkecoh setelah penipu memanggil dia dengan sapaan akrab yang cuma diketahui kelompok terbatas. Tak lama ia diminta untuk mentransfer sejumlah uang ke rekening si penelepon.
Diduga, si penelepon tahu nama panggilan akrabnya setelah korban mengeklik stiker add yours di Instagram. “Yang bikin temen saya percaya, si penipu manggil dia ‘pim’. ‘Pim’ adalah panggilan kecil teman saya, yang hanya orang dekat saja yang tahu. Terus dia inget dia abis ikutan challenge (Add Yours),” ujar Dita lewat akun X.
Challenge Add Yours ini cuma satu dari sejumlah aktivitas di media Instagram yang meminta pengguna untuk menyebutkan data pribadi. Misalnya nama sapaan akrab, tempat tinggal, dan data pribadi lainnya. Kebocoran data pribadi semacam itu, cukup marak terjadi di Indonesia, dan tak sekadar terjadi di media sosial saja, tapi juga di platform lain. Hal ini sontak meresahkan pemerintah, sekaligus warga negara Indonesia yang datanya terekspos ke luar.
Baca juga: Poin-poin Penting UU Perlindungan Data Pribadi yang Harus Kamu Tahu
Kebocoran data pribadi yang paling heboh terjadi tahun lalu. Dilansir dari media yang sama, sebanyak 102 juta data masyarakat diduga bocor dan dijual di situs gelap Breached.to. Data berisikan 85 GB dengan total 102.533.211 tersebut berasal dari Kementrian Sosial (Kemensos). Enggak cuma Nomor Induk Kependudukan (NIK), nomor Kartu Keluarga (KK), nama lengkap, tempat tanggal lahir, tapi juga usia dan jenis kelamin.
Data pribadi yang bocor ini berpotensi disalahgunakan oleh pihak yang tak bertanggung jawab. Para pelaku biasanya memanfaatkan untuk tujuan penipuan atau Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Meski pemerintah telah mengesahkan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi pada 17 Oktober 2022, tapi data pribadi kita masih jadi taruhan.
Khususnya ketika teknologi berkembang semakin canggih seperti sekarang. Kita mengenal ada Artificial Intelligence (AI) macam ChatGPT yang bisa membuat esai dan tulisan dengan mudah. Pun, deepfake yang bisa memanipulasi wajah dan ekspresi orang.
Hal ini memicu tanda tanya, apakah teknologi digital terbaru sudah cukup inklusif? Apa yang bisa diupayakan oleh kita yang aktif berselancar di jagat maya?
United Nations Development Programme (UNDP) pada (10/8) mengadakan diskusi tentang Ethics and Standards in Digital Era, di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat. Salah satu tujuan diskusi ini adalah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas.
Baca juga: Dari Pembobolan Akun sampai ‘Sextortion’: Risiko Besar Kebocoran Data Pribadi
Masalah Etika
Treviliana Eka Putri, Konsultan Digital Divide UNDP menjelaskan, di kuartal pertama 2023 sudah ada 35 kasus kebocoran data di Indonesia. Kebocoran itu sangat mungkin terjadi karena beberapa hal. Salah satunya adalah teknologi kecerdasan buatan macam deep fake.
“Orang-orang menggunakan deep fake untuk lucu-lucuan, tanpa memikirkan bagaimana, sih efeknya ketika secara sukarela memasukkan data-data ke platform ini. Nanti data-data ini akan digunakan seperti apa,” ujarnya, (10/8).
Hal kedua terkait maraknya penggunaan e commerce dan social commerce. Situs seperti ini acap kali mempunyai dan menyimpan data-data pribadi. Tak jarang, mereka bahkan meminta persetujuan untuk membuka galeri dan mengakses kontak, tanpa kita sadari.
Menurut Treviliana, problem itu disebabkan oleh minimnya literasi digital warga. Dilansir oleh The Economist Intelligence Unit, pada 2022, ranking literasi digital Indonesia berada di tempat 46 dari 100. Skor literasi digitalnya 3,49 dari 4 dengan skor terendah pada digital safety.
Ini senada dengan riset Center for Digital Society (CfDS) dari Universitas Gadjah Mada pada 2021. Di sana disebutkan, mayoritas responden sebanyak 98,9 persen mengaku tahu apa itu data pribadi. Namun ketika diminta untuk mengidentifikasi lebih lanjut, hanya 18,4 persen saja yang mampu menjelaskan jenis-jenis data pribadi. Celakanya, ketika dihadapkan pada konsekuensi buruk teknologi digital, perempuan berada di posisi paling rentan.
Baca juga: Magdalene Primer: Kebocoran Data Pribadi dan Hak Warga yang Harus Dilindungi
Perempuan Paling Rentan
Kerentanan perempuan itu sebenarnya bukan pepesan kosong. Magdalene dalam artikel ini pernah menyitir beberapa riset yang menunjukkan kerentanan perempuan di dunia maya. Laporan United Nation Women (UN Women) pada 2020 misalnya menemukan, dibandingkan dengan laki-laki perempuan memang cenderung rentan mengalami berbagai bentuk kekerasan daring secara bersamaan seperti trolling, doxing, dan peretasan media sosial.
Senada, laporan global pada 2020 dari The Economist Intelligence Unit (EIU) mencatat, 85 persen perempuan dari 51 negara yang mereka survei pernah mengalami kekerasan daring, termasuk doxing.
Karena kerentanan itulah, Damar Juniarto, Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) menekankan pentingnya perempuan dilibatkan dalam menyusun regulasi teknologi digital yang lebih inklusif. Regulasi yang dimaksud perlu memastikan tak merugikan perempuan, dengan menjamin perlindungan data pribadi mereka.
Saat ini, pemerintah mengakui belum ada perlindungan yang spesifik, terutama menyangkut teknologi digital macam AI. Ninditya Nurmalitasari, Analisis Kerja Sama Perlindungan Data Pribadi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menjelaskan, meski belum ada regulasi terkait AI tapi Indonesia sudah mempunyai Strategi Nasional Kecerdasan Buatan sampai 2025. UU Perlindungan Data Pribadi di sisi lain, meski belum maksimal tapi juga diklaim menjadi langkah awal yang laik diapresiasi.
Kominfo sendiri tengah fokus membuat turunan dari UU PDP. Mereka juga memastikan beberapa perusahaan besar agar bisa mematuhi terkait penggunaan AI dan perlindungan data pribadi di perusahaan masing-masing.
Namun, karena masih sebatas wacana, yang bisa dilakukan oleh warga saat ini cuma membentengi diri. Salah satunya adalah lewat literasi.
“(Kita perlu) memastikan semua warga negara Indonesia terliterasi. Pun, memastikan platform dan industri teknologi digital lainnya memerhatikan inklusi bagi warga atau individu yang ingin terlibat di dalamnya,” ujar Treviliana.
Ilustrasi oleh: Karina Tungari