Culture

Pertunjukan Teater ‘Blackbird’ Soroti Kekerasan Seksual terhadap Anak

Sebuah pertunjukan teater pada 16 Film Festival bertujuan meningkatkan kesadaran akan maraknya kasus kekerasan seksual, terutama terhadap anak.

Avatar
  • December 14, 2018
  • 5 min read
  • 1055 Views
Pertunjukan Teater ‘Blackbird’ Soroti Kekerasan Seksual terhadap Anak

Seorang pria paruh baya terperanjat mendapati seorang perempuan muda bergaun biru tua telah menunggunya di ruangan kantornya dengan tatapan penuh amarah. Perempuan itu kemudian melontarkan pertanyaan bernada keras, “Do you remember what you did to me 15 years ago?
 
Adegan tersebut membuka pertunjukan teater non-musikal Blackbird , hasil kolaborasi Jakarta Performing Arts Community (JPAC) dan 16 Film Festival yang ditampilkan minggu lalu di SAE Institute Jakarta, Jakarta Selatan. Sesuai tema festival film tersebut yang bersamaan dengan kampanye 16 Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (16HAKTP), pertunjukan teater ini mengangkat isu kekerasan seksual terhadap anak.
 
Blackbird mengisahkan tentang Una (Ajeng Sharafina), 27, dan Ray (Rizal Iwan), 55, yang memiliki sejarah hubungan seksual saat Una masih berusia 12 tahun. Ray kemudian dipenjara tiga tahun dengan dakwaan pemerkosaan. Ia akhirnya membuat identitas baru sebagai Peter, dan membangun kembali kehidupan barunya di kota baru, berharap agar dia tidak bisa ditemukan.
 
Lima belas tahun kemudian, Una memutuskan untuk melacak keberadaan Ray, untuk membalas dendam dan mencari closure atau penyelesaian.
 
Dibawakan dalam bahasa Inggris, Blackbird didasarkan pada pertunjukan teater berjudul sama yang ditulis oleh sutradara asal Skotlandia, David Harrower. Sejak diluncurkan pada 2005, naskah ini sudah diadaptasi dengan berbagai bahasa di seluruh dunia dan meraih banyak penghargaan. Pada 2016, naskah ini diadaptasi menjadi film layar lebar berjudul Una, yang dibintangi oleh Rooney Mara dan Ben Mendehlsohn.
 
Dalam pertunjukan minggu lalu, selama 80 menit penonton dibawa dalam dialog penuh tarik menarik dan emosi naik turun antara kedua tokoh. Panggung remang-remang yang hanya berisi dua kursi lipat logam, sebuah meja, dua tong sampah, serta sampah yang berserakan, merupakan representasi yang sempurna untuk menggambarkan kekacauan emosi kedua karakter. Ray yang dipenuhi amarah dan rasa bersalah, serta Una yang terus-menerus berjuang dengan rasa putus asa, depresi, namun juga kerinduan.
 
Yang menarik, penonton dihadapkan pada persepsi dari dua sisi yang berbeda: korban kekerasan, dan pelaku kekerasan. Rasanya seperti tidak ada yang benar dan tidak ada yang salah – kita di tempatkan di wilayah abu-abu. Hanya dua orang yang lumpuh secara psikologis karena suatu kejadian yang membuat hidup mereka hancur, berkutat, dan berusaha keras untuk melupakan episode itu.
 
Saat Ray mengeluhkan hukuman penjara selama tiga tahun yang ia jalani, Una berteriak marah, “I did the sentence. I did your sentence for 15 years. I lost more than you ever did.
 
Wilayah abu-abu dan konsensus
 
Aktris Ajeng Sharafina mengatakan bahwa cerita yang abu-abu tersebut menimbulkan banyak pertanyaan dan membuatnya berpikir. Memerankan seorang korban kekerasan seksual juga bukan hal yang mudah, ujarnya.
 
“Karena aku sendiri bukan penyintas, aku enggak tahu persis rasanya seperti apa. Itu yang membuat aku sangat khawatir awalnya. Karena aku enggak mau memberikan gambaran yang uninformed dan interpretasi yang asal-asalan,” kata Ajeng.
 
Hal serupa juga disampaikan oleh Rizal Iwan, yang sempat berpikir dua kali untuk audisi dalam pertunjukan ini.
 
“Untuk memainkan peran Ray, yang kita mudah melabeli ia sebagai pedofil itu sangat berat, bagagge-nya banyak. Tapi tanggung jawab kita sebagai aktor, kita harus step into the shoes of our role dan mencoba untuk berempati dengan peran itu,” kata Rizal kepada Magdalene.
 
Puti Rahmasari, salah satu produser Blackbird mengatakan, pertunjukan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan maraknya kasus kekerasan seksual, terutama terhadap anak.
 
“Kita masih hidup dalam masyarakat yang masih membungkam kelompok rentan, terutama korban kekerasan,” ujarnya dalam diskusi setelah pertunjukan.
 
Sutradara Fonnyta Amran mengatakan bahwa ketika ia pertama kali membaca naskahnya, sebagai perempuan ia merasa diserang secara moral.
 
“Naskah itu meninggalkan banyak pertanyaan terhadap penilaian moral saya. Seperti, apa itu konsep korban, dan apa arti kekerasan dalam suatu hubungan,” ujarnya.
 
“Saya hampir tidak ingin mengambil skrip ini karena saya takut ini akan bertentangan dengan pendirian saya. Tetapi kemudian saya menyadari bahwa justru inilah titik awal dari segala sesuatu yang salah dalam masyarakat kita: menolak sesuatu yang tidak kita pahami karena rasa takut. Saya kemudian menyadari bahwa ini adalah bagian yang sempurna untuk memicu dialog tentang kekerasan seksual.”
 
Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada 2017 mencatat 116 kasus kekerasan seksual terhadap anak. Data tersebut juga menyebutkan bahwa pelakunya adalah orang terdekat anak seperti ayah tiri dan kandung, keluarga terdekat, dan teman. Dalam kasus Ray dan Una, pelaku adalah tetangga dekat.
 
Aenea Marella, psikolog dari Yayasan Pulih, mengatakan bahwa hubungan romantis antara anak dengan orang dewasa adalah kesalahan besar karena selalu ada relasi kuasa di dalamnya.
 
“Kenapa relasi kuasa? Karena orang dewasa punya pengetahuan dan informasi yang lebih banyak, di mana orang dewasa sudah paham kompleksitas, sementara anak-anak tidak. Maka relasi seperti itu disebut abuse,” papar Aenea dalam diskusi.
 
Dalam hubungan romantis antara anak-anak dan orang dewasa, apalagi sudah melakukan hubungan seksual, anak-anak selalu dalam posisi yang tidak bisa memberikan consent atau persetujuan.
 
“Tidak pernah bisa ada consent dalam hubungan romantis antara orang yang lebih tua dan anak-anak,” ucapnya.
 
Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Magdalena Sitorus mengatakan, ketika berbicara tentang anak, sebetulnya kita sedang berbicara tentang peran dan fungsi orang dewasa. Hasrat seksual ada pada setiap orang, termasuk anak-anak, namun semua itu kembali pada peran dan fungsi orang dewasa, ujarnya.
 
“Ketika anak misalnya merindukan kasih sayang dan kemudian timbul hasrat seksual, mestinya peran dan fungsi orang dewasa itu yang menghentikan,” kata Magdalena.
 
Performance ini semakin membuka mata kita bahwa kekerasan seksual itu tidak bisa dibiarkan dan harus dilawan. Kita harus berani bicara.”

Adakah ruang untuk beragama bagi kelompok LGBT?

 

 



#waveforequality


Avatar
About Author

Amel

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *