Adakah Jalan Keluar untuk Setop Perundungan Pendidikan Dokter Spesialis?
Dugaan bunuh diri calon dokter spesialis UNDIP karena perundungan, adalah fenomena gunung es. Butuh evaluasi menyeluruh untuk memutus rantainya.
*Peringatan pemicu: Gambaran kasus bunuh diri.
Belum habis duka kita menyimak berita pemerkosaan dan femisida dokter di India, kini dokter lain berpulang kembali. Adalah Aulia Risma Lestari, mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro, yang diduga meninggal usai bunuh diri. Dokter yang berstatus tugas belajar di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Kariadi itu ditemukan meninggal di kamar kosnya di Semarang, (12/8).
Kepolisian Semarang yang menyelidiki kasus itu mengidentifikasi dua kemungkinan penyebab kematian Aulia. Pertama overdosis, kedua bunuh diri.
Dugaan bunuh ini juga menguat setelah polisi menemukan isi buku harian Aulia. Di dalamnya tertulis soal beban berat dalam PPDS hingga ia tak kuat dan meminta tolong. Tak sekadar luka fisik tapi juga mental, sehingga ia merasa ingin menyerah. Buku harian inilah yang mengarahkan pihak kepolisian pada kesulitan korban dalam menjalani studi selama satu semester terakhir.
Buntut kasus ini, Dirjen Pelayanan Kesehatan (Yankes) menerbitkan Surat Nomor TK.02.02/D/44137/2024 berisi permintaan penutupan sementara Prodi Anestesi Undip di RSUP Kariadi Semarang. Tujuannya untuk investigasi kasus kematian dokter Aulia.
Di saat bersamaan, atas nama baik kampus, pihak UNDIP pun telah angkat suara. Dalam keterangan tertulis, (15/8), Rektor UNDIP Suharmono bilang, berdasarkan investigasi internal mereka, dugaan perundungan yang dialami Aulia tidak terbukti. Ia juga menegaskan Fakultas Kedokteran UNDIP telah menerapkan gerakan ‘zero bullying’ yang dipantau secara aktif oleh Tim Pencegahan dan Penanganan.
Berangkat dari sinilah, Guru Besar FK Undip Prof. Zaenal Muttaqien menyebut keputusan penutupan prodi adalah tindakan dini dan sembrono. Ia menuturkan, belum ada bukti soal perundungan yang dialami Aulia. Dalam akun X @ZainalM_Prof dikatakan, bullying di pendidikan dokter spesialis adalah hal kecil yang dibesar-besarkan. Itu bagian dari proses menempa dan membentuk karakter calon dokter spesialis agar lebih tangguh.
Baca Juga: Marak Konten Tak Sensitif Nakes, Bagaimana Etikanya?
Fenomena Gunung Es
Sebelum kematian Aulia, PPDS sudah lebih dahulu menelan korban jiwa. Pada 2020 silam, mahasiswa PPDS Bedah Plastik Universitas Airlangga berinisial ABC ditemukan tewas setelah meminum cairan pembersih lantai. Korban sempat dibawa ke RSUD Dr. Soetomo Surabaya, namun nyawanya tak tertolong.
Dari laporan Vice Indonesia, keluarga meyakini dia bunuh diri karena tak kuat dirundung seniornya sesama dokter setelah tiga hari memulai stase atau praktik magang dokter muda bedah plastik di RSUD dr. Soetomo. Sayang, hingga hari ini kasus bunuh diri ABC belum mendapatkan titik terang. Bahkan pihak kampus dan rumah sakit cenderung tertutup pada wartawan.
Maraknya perundungan di PPDS sempat disinggung dalam laporan BBC Indonesia tahun lalu. David, salah satu dokter yang menempuh pendidikan spesialis, menghadapi berbagai macam jenis perundungan dan perpeloncoan turun temurun dan sistematis oleh senior-seniornya. Pertama kali memulai program spesialis, David dan rekan-rekan seangkatannya langsung disodorkan “kurikulum tersembunyi”.
Kurikulum itu memuat daftar aturan tak resmi yang di antaranya berbunyi: “Senior selalu benar”, “instruksi harus dijawab siap”, “setiap instruksi harus dikerjakan”, hingga “ponsel harus selalu aktif 24 jam”. Kurikulum tersembunyi ini cuma permukaan saja. David dan kawan-kawannya juga diperas habis-habisan. Saat awal masuk misalnya, ia dan kawan-kawannya harus patungan Rp1 juta per orang untuk mentraktir seluruh senior sebagai “selebrasi selamat datang”.
Enggak berhenti di situ, David dan kawan-kawan seangkatan juga harus mengeluarkan uang untuk membelikan kebutuhan-kebutuhan pribadi para senior. Mulai dari membelikan makanan, tiket pesawat, hingga barang tidak masuk akal seperti timbangan kopi. Kalau tidak patuh, mereka bakal dikucilkan dan diberikan jatah operasi sedikit, sehingga pengalamannya minim, tidak diajarkan, dan lain-lain.
Di samping itu, David juga diberikan jam jaga panjang, yang bisa mencapai 16 hingga 36 jam. Untuk bisa tidur, dokter-dokter ini harus curi waktu di sela sif jaga.
Baca Juga: Kekerasan Seksual di KPI, Jangan Pakai Alasan Basi ‘Nama Baik Instansi’
Kompetitif Berujung Diskriminatif
Pakar kesehatan masyarakat Hermawan Saputra bilang kepada VOI, perundungan di PPDS terjadi karena sistem pendidikan dokter spesialis yang terbatas di Indonesia. Pernyataan Hermawan bukan isapan jempol. Dalam webinar yang diselenggarakan Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan (PMPK) FK-KMK Universitas Gadjah Mada pada 2023 lalu, Dirjen Tenaga Kesehatan Kemenkes RI drg Arianti Anaya bilang, dengan perhitungan target rasio 0,28: 1.000, saat ini Indonesia masih kekurangan sekitar 30 ribu dokter spesialis. Butuh waktu lebih dari 10 tahun bagi Indonesia untuk memenuhi jumlah dokter spesialis tersebut.
Ini dengan asumsi jumlah penyelenggara prodi dokter spesialis sebanyak 21 dari 92 fakultas kedokteran dengan menghasilkan lulusan spesialis sekitar 2.700 tiap tahun. Sudah terbatas, persebarannya pun tidak merata. Sebanyak 59 persen masih berada di Pulau Jawa. Sementara wilayah Indonesia bagian timur, jumlah dokter spesialis masih belum memadai.
Permasalahan inilah yang kemudian bikin kompetisi antardokter jadi sangat ketat, yang bergantung pada kapasitas jaringan dan keuangan. Dokter muda secara terpaksa menjalin hubungan intens dengan para senior, tapi hubungan tersebut dimanfaatkan oleh oknum dokter senior.
“Jadinya orang yang masuk harus siap dengan berbagai proses pendidikan yang padat, ketat, dan feodalistik. Bullying senior-junior sangat ketat, terutama di tahap-tahap ketika mereka masuk ke dalam program stase,” ungkap Hermawan.
Apa yang diungkapkan Hermawan sejalan dengan temuan kajian literatur di dalam jurnal penelitian berjudul Bullying pada Mahasiswa Pendidikan Kedokteran di Indonesia Ditinjau dari Aspek Hukum dan HAM (2022). Diungkapkan, para oknum yang umumnya adalah dokter senior atau residen senior beranggapan, perlakuan kasar dan keras yang mereka lakukan dan terima selama pendidikan memang diperlukan. Ini adalah cara untuk mendewasakan, menguatkan, bahkan meningkatkan kompetensi mereka dalam menangani pasien apalagi jika mengacu di Indonesia mengalami “kelangkaan” dokter spesialis.
Baca Juga: Jika Kantor Abai dengan Kekerasan Seksual, Apa yang Bisa Dilakukan?
Pemerintah Sudah Punya Aturan, Cukupkah?
Saking maraknya perundungan ini, Kementerian Kesehatan pada 2023 menerbitkan Instruksi Menteri Kesehatan (Imenkes) RI Nomor HK.02.01/Menkes/1512/2023. Imenkes tersebut mengatur pencegahan dan penanganan perundungan (bullying) terhadap peserta didik di rumah sakit pendidikan dalam lingkungan Kemenkes.
Imenkes menginstruksikan sejumlah tindakan yang harus ditaati oleh direktur utama rumah sakit pendidikan untuk menciptakan situasi belajar mengajar kondusif dan jauh dari perundungan. Misalnya, melakukan pengawasan terhadap pembelajaran kepada peserta didik, memberikan pendampingan bagi korban perundungan, hingga menjatuhkan sanksi kepada pelaku perundungan.
Sanksi yang diberikan kepada pelaku perundungan pun dibagi tiga dengan terberat bagi tenaga pendidik dan pegawai merupakan penurunan pangkat satu tingkat lebih rendah selama 12 (dua belas) bulan, pembebasan dari jabatan, pemberhentian sebagai pegawai rumah sakit, dan/atau pemberhentian untuk mengajar (untuk tenaga pendidik dan pegawai lainnya). Sedangkan bagi peserta didik, dikembalikan kepada penyelenggara pendidikan dan/atau dikeluarkan sebagai peserta didik.
Kemenkes juga menyediakan website dan hotline di rumah sakit vertikal buat korban perundungan. Itu bisa diakses lewat situs https://perundungan.kemkes.go.id/ atau bisa melalui Whatsapp di nomor 081299799777. Dari hotline yang sudah tersedia ini, dalam waktu setahun, terhitung sejak Juli 2023 hingga 9 Agustus 2024, Kementerian Kesehatan telah menerima 356 laporan perundungan dengan rincian 211 laporan terjadi di RS vertikal dan 145 laporan dari luar RS vertikal. Artinya nyaris tiap harinya perundungan di dokter selalu terjadi.
Juru Bicara Kementerian Kesehatan dr. M. Syahril mengatakan, dari hasil investigasi yang dilakukan terhadap 156 kasus bullying, sebanyak 39 peserta didik (residen) maupun dokter pengajar (konsulen) telah diberikan sanksi tegas. Sementara itu, untuk 145 laporan di luar RSV, telah dikembalikan ke instansinya untuk ditindaklanjuti.
Dengan usaha pemerintah ini, perundungan di PPDS masih terjadi dan memakan korban jiwa. Pengamat kesehatan dari lembaga kajian Central for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) Dian Saminarsih berkomentar, perundungan dinormalisasi dan dilakukan secara turun temurun dengan pola linear yang sama, yaitu dari generasi tua ke generasi muda. Karena itulah, butuh evaluasi besar-besaran dalam pendidikan PPDS.
“Perundungan itu kan masalah yang turun-temurun antar generasi, harus diakui dong. Kemudian pendidikan PPDS harus di-review kembali jika ternyata memberikan tekanan besar Karena di mana pun ada stressor, tapi seberapa besar stres yang pantas, sehingga orang bisa menanggungnya,” kata Diah kepada BBC Indonesia.
Ilustrasi oleh: Karina Tungari