December 5, 2025
Issues

Pewaris vs Perintis: Diskursus Online tentang Bias Kelas

Gara-gara pernyataan Ryu Kintaro, netizen ribut lagi soal mana yang lebih susah: jadi pewaris atau perintis. Yuk bahas bareng realita dan tantangan di balik dua peran ini.

  • August 15, 2025
  • 6 min read
  • 1423 Views
Pewaris vs Perintis: Diskursus Online tentang Bias Kelas

Belakangan ini, media sosial lagi heboh ngomongin sosok anak bernama Ryu Kintaro. Youtuber cilik berusia 10 tahun ini sering banget bikin konten berisi nasihat soal bisnis.

Di banyak video yang berseliweran, Ryu cerita kalau hidup sebagai perintis itu seru banget. Menurutnya, jadi perintis punya tantangan yang lebih menantang dibandingkan jadi pewaris.

“Banyak orang ingin hidup aman, tapi tahu enggak? Yang paling seru justru hidup sebagai perintis. Enggak ada yang ngasih petunjuk, enggak ada yang jamin hasil, tapi di situlah letak serunya,” ucap Ryu di salah satu video yang viral di TikTok dan X.

Ucapan ini langsung memicu debat panas di kalangan warganet. Ada yang setuju, tapi enggak sedikit juga yang nyinyir. Beberapa netizen menilai, status Ryu sebagai anak dari pengusaha sukses enggak nyambung sama narasi “perintis” yang dia bawa. Menurut mereka, Ryu bukan orang yang mulai dari nol, melainkan pewaris.

Lantas, muncul satu pertanyaan yang bikin penasaran: sebenarnya apa sih bedanya pewaris dan perintis? Istilah ini sering dipakai buat menilai perjalanan hidup seseorang, tapi enggak semua orang paham benar maknanya. Nah, sebelum masuk ke perdebatan lebih jauh, kita bahas dulu arti kata “pewaris”.

Baca Juga: Riset: Mental Pengusaha Milenial Masih ‘Insecure’ dan ABS

Apa Itu Pewaris?

Kalau dengar kata pewaris, banyak dari kita langsung kebayang orang yang dapat rumah, uang, atau bisnis keluarga dari orang tua. Padahal, warisan itu enggak selalu soal materi. Bisa juga berupa nilai, tradisi, tanggung jawab, bahkan beban yang dibawa dari generasi sebelumnya.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pewaris adalah orang yang meneruskan sesuatu yang sudah dibangun atau dimiliki orang lain, biasanya orang tua atau leluhur. Kadang, perannya seperti “penjaga” dari yang diwariskan, entah itu usaha keluarga, aset berharga, atau reputasi yang sudah terjaga puluhan tahun.

Pengertian Pewaris dalam Perspektif Lebih Luas

Dikutip dari Harvard Business Review, Leadership Lessons from Great Family Businesses, secara umum, pewaris bukan orang yang mulai dari titik nol. Mereka sudah punya modal awal, bisa berupa aset, reputasi, jaringan, atau sistem yang siap pakai. Tapi bukan berarti semuanya gampang. Jadi pewaris juga punya PR besar, apalagi kalau warisan itu punya sejarah panjang dan ekspektasi tinggi dari banyak pihak.

Nah, di sisi lain, enggak semua orang lahir dengan modal awal. Ada juga yang membangun segalanya dari nol, berjalan di jalur yang belum pernah ada, dan bikin peluangnya sendiri. Orang-orang inilah yang disebut perintis.

Baca Juga: Solidaritas Perempuan Bentuk Ekosistem Pendukung untuk Perempuan Pengusaha

Apa Itu Perintis?

Kalau kamu pernah dengar cerita orang yang mulai usaha dari nol, kerja sendirian, ditolak berkali-kali tapi akhirnya sukses, itu dia contoh nyata perintis. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mereka adalah sosok yang membuka jalan, bikin sesuatu yang belum pernah ada, atau menawarkan cara baru untuk menyelesaikan masalah lama.

Beda sama pewaris yang menerima “tongkat estafet” dari generasi sebelumnya, perintis justru mulai dari bawah, sering kali tanpa modal besar atau dukungan penuh, dan jalannya penuh tantangan. Tapi justru di situlah nilai pentingnya, perintis adalah motor penggerak inovasi dan perubahan sosial.

Pengertian Perintis Secara Umum

Dikutip dari Harvard Business Review, The Innovator’s DNA, singkatnya, perintis adalah mereka yang merintis jalan. Mereka menciptakan ide segar, membangun bisnis sendiri, atau membawa cara pandang yang berbeda dari arus utama. Perintis enggak takut mencoba hal baru, walaupun risiko gagalnya gede banget.

Mereka bisa muncul di bidang apa saja, mulai dari teknologi, pendidikan, gerakan sosial, sampai dunia seni dan budaya. Sering kali, perintis adalah orang yang melihat peluang di tempat orang lain hanya melihat masalah.

Baca Juga: Ini Alasan Kenapa Karyawan Bisa Alami ‘Burnout’ dan Cara Atasinya

Bias Kelas di Kacamata Sosial

Bias kelas itu kayak kacamata enggak kasat mata yang kita pakai waktu menilai orang. Tanpa sadar, kita suka memberikan label atau bikin asumsi berdasarkan latar belakang ekonomi dan status sosial mereka. Hasilnya? Ada kelompok yang lebih gampang dapat simpati, dan ada yang malah kena kritik lebih dulu. Dalam konteks perintis vs pewaris, ini kelihatan banget: kita sering lebih gampang kagum atau maklum sama perintis, tapi lebih cepat skeptis sama pewaris.

Padahal bias ini enggak muncul tiba-tiba. Dia terbentuk dari campuran budaya, sejarah, kondisi ekonomi, dan peran media. Holly Fetter di Teen Vogue pernah bahas soal label “self-made” yang kadang menutup mata dari dukungan struktural kayak warisan modal, akses pendidikan, atau koneksi keluarga. 

Di artikel The Guardian, The Class Pay Gap: Why It Pays to Be Privileged, bahkan nunjukin, kelas sosial punya “pay gap” sendiri. Anak orang berada sering lebih cepat naik karier, bukan cuma karena skill, tapi juga modal, koneksi, dan support system dari keluarga, alias bank orang tua. 

Di Indonesia, bias ini makin kuat gara-gara representasi media. Riset di Jurnal ProMedia, Representations of Social Class in Ads Sosro, misalnya, menemukan kalau iklan, kayak kampanye brand Sosro, lebih sering menunjukan gaya hidup mewah buat kelas atas, sementara kelas bawah digambarkan sebagai penerima bantuan. Lama-lama, masyarakat jadi terbiasa sama stereotip ini: kelas bawah = kerja keras, kelas atas = tinggal nikmatin.

Ada juga konsep “Myth of Meritocracy” yang penting banget dibahas. Dikutip dari Wikipedia, ceritanya, meritokrasi itu mengklaim semua orang sukses karena kerja keras, padahal realitanya titik start orang beda-beda.

Bahkan di dunia teknologi, bias ini ikut menyusup. Studi terbaru berjudul Algorithmic Inheritance: Surname Bias in AI Decisions (arXiv, 2025) menemukan kalau AI bisa punya bias cuma gara-gara nama keluarga. Artinya, bias kelas ini enggak cuma ada di interaksi antar manusia, tapi juga bisa diperkuat sama algoritma.

Daniel Markovits dalam bukunya The Meritocracy Trap menunjukan bagimana “sistem berbasis prestasi” sebenarnya bisa memperlebar jurang sosial, karena yang sudah di atas punya akses ke pendidikan elite dan peluang yang diwariskan.

Di dunia kerja, peluang karier seringnya jadi bias ke mereka yang mengerti “bahasa” kelas atas, mulai dari cara berpakaian, topik obrolan, sampai definisi “profesionalisme.” Dikutip dari LSE Business Review, Disentangling privilege from merit: a crucial step for true inclusion at work, menyebut fenomena ini sebagai “paradoks meritokrasi,” di mana perusahaan yang katanya berbasis prestasi justru mempertahankan privilege lama, bukan nilai objektif individu.

Selain itu, ada dampak lain yang juga menarik kita lihat:

  • Di kehidupan sosial, definisi “gaya hidup layak” sering lahir dari perspektif orang yang enggak pernah pusing memikirkan uang habis sebelum akhir bulan. Artikel di The Conversation, The meritocracy is a smokescreen for inherited privilege, bahkan bilang, meritokrasi bisa jadi “kedok” buat ngelegitimasi privilege, seolah sukses itu murni hasil kerja keras, padahal titik start-nya beda jauh.
  • Di politik dan kepemimpinan, narasi “kemajuan” sering diukur dari pertumbuhan ekonomi buat investor atau infrastruktur di pusat kota, bukan dari seberapa banyak kelompok rentan yang hidupnya beneran berubah. Dikutip dari Charles Sturt University, Elite privilege – the new form of inherited advantage and the antithesis of meritocracy, buku The Privileged Few menjelaskan kalau elite privilege ini sudah jadi prinsip dasar organisasi sosial, yang memanipulasi sistem demi keuntungan kelompok tertentu.
  • Buat isu kesetaraan gender, kalau narasinya cuma dikuasai oleh perempuan dari kelas atas, dampaknya bisa timpang. Dikutip dari Dikutip dari Time, Feminism Claims to Represent All Women. So Why Does It Ignore So Many of Them?, Mikki Kendall seorang penulis, aktivis, dan kritikus budaya, memberikan contoh, feminisme arus utama sering fokus ke CEO perempuan di korporasi besar, tapi lupa sama pekerja pabrik atau ibu tunggal yang aksesnya jauh lebih terbatas.
About Author

Kevin Seftian

Kevin merupakan SEO Specialist di Magdalene, yang sekarang bercita-cita ingin menjadi dog walker.