Piala Dunia FIFA 2022: Turnamen Bertabur ‘Plot Twist’ dan Kontroversi
Piala Dunia 2022 yang baru saja usai, akan dikenang sebagai salah satu acara olahraga yang paling disoroti secara politis pada masa ini.
Akhirnya Piala Dunia FIFA 2022 di Qatar resmi ditutup usai satu bulan penuh rangkaian pertandingan sepak bola. Hasilnya, Argentina berhasil mempecundangi Prancis dalam adu pinalti dengan skor akhir 4-2. Jumlah penggemar yang menonton pertandingan final menegangkan yang diselenggarakan di Stadion Lusail, tepat di luar ibu kota Qatar, Doha, diperkirakan memecahkan rekor.
Pertandingan Piala Dunia kali ini telah menampilkan penyisihan grup yang sangat kompetitif, peningkatan representasi global di babak sistem gugur, kekecewaan yang dramatis dan penampilan individu yang luar biasa — yang paling menonjol adalah Lionel Messi yang hebat dari Argentina dan superstar baru Kylian Mbappé dari Prancis.
Sejak FIFA mengumumkan Qatar menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022 pada 2010, kontroversi tentang isu non-olahraga melanda acara tersebut. Selain tuduhan penyuapan terhadap pejabat FIFA, muncul pertanyaan tentang bagaimana negara kecil – dengan sejarah sepak bola atau infrastruktur mereka yang terbatas – bisa menjadi tuan rumah Piala Dunia.
Terpilihnya Qatar juga memperumit suasana. Ini karena Qatar adalah negara gurun dengan musim panas yang sangat panas, bahkan sampai membuat jadwal acara yang biasanya diselenggarakan bulan Juni-Juli, menjadi tidak memungkinkan dan harus digeser ke bulan November-Desember. Asosiasi sepak bola Eropa menganggap hal ini mengganggu agenda-agenda rutin mereka.
Politik dan Olahraga
Terlepas dari perkara logistik, Piala Dunia 2022 juga akan dikenang sebagai salah satu acara olahraga yang paling disoroti secara politis pada masa ini. Contoh isu politik global yang terselip dalam Piala Dunia kali ini antara lain:
- FIFA mengancam akan memberikan kartu kuning kepada kapten tim yang memakai ban lengan One Love dengan simbol pelangi (simbol dukungan terhadap hak LGBTQ+).
- Pemain Timnas Jerman menutupi mulut mereka dengan tangan selama sesi foto pra-pertandingan untuk memprotes pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan pemerintah Qatar.
- Beberapa pendukung Timnas Maroko melakukan kerusuhan di Belgia setelah negara Afrika Utara tersebut berhasil mengalahkan Timnas Belgia.
- Pemain Timnas Serbia menempelkan peta negara Serbia dengan peta Kosovo di dalamnya di ruang ganti pemain, disertai tulisan “Tidak Menyerah.” Kosovo mendeklarasikan kemerdekaannya dari Serbia pada 2008.
- Pejabat Iran menyerukan agar Amerika Serikat (AS) dikeluarkan dari turnamen setelah Federasi Sepak Bola AS menampilkan gambar bendera Iran tanpa lambang Republik Islam di media sosial mereka.
- Ada ketegangan antara pendukung Iran yang pro-pemerintah dan pendukung aksi protes yang menentang pemerintah.
- Sejumlah pendukung menolak untuk diwawancarai oleh media Israel.
- Pengibaran bendera Palestina oleh pendukung tim-tim Arab.
- Ketegangan meningkat di lapangan dan di tribun selama pertandingan antara Serbia melawan Swiss yang menampilkan pemain keturunan Albania.
Baca juga: Yang Politis dari Piala Dunia Qatar 2022
Kritik terhadap Pelanggaran HAM
Kelompok aktivis HAM mengritik undang-undang Qatar yang melarang homoseksualitas dan perlakuan buruk mereka terhadap para pekerja migran. Jutaan pekerja migran saat ini tinggal di Qatar, dengan satu juta di antaranya diperkirakan bekerja di industri konstruksi.
Menurut laporan The Guardian, ada 6.500 dari total pekerja migran ini – kebanyakan dari Asia Selatan – yang tewas di Qatar pada tahun-tahun sejak FIFA memutuskan negara tersebut menjadi tuan rumah Piala Dunia.
Otoritas Qatar membantah laporan The Guardian tersebut dan mengklaim, jumlah kematian pekerja migran sesuai dengan tingkat kematian yang normal seperti biasanya. Pemerintah negara tersebut justru menyoroti bagaimana penyelenggaraan Piala Dunia akan memberikan warisan kepada Qatar, termasuk modernisasi infrastruktur untuk ekonomi yang terdiversifikasi dan kemajuan sosial yang meliputi reformasi ketenagakerjaan agar lebih melindungi pekerja migran yang rentan.
Dalam upacara pembukaan Piala Dunia 2022, aktor asal AS Morgan Freeman tampil di lapangan bersama Ghanim al-Muftah — selebriti media sosial muda Qatar yang lahir dengan kelainan tulang belakang bagian bawah — untuk menekankan bahwa dunia adalah “satu suku besar.”
Emir (pemimpin) Qatar, Sheikh Tamim bin Hamad al-Thani, menyambut negara-negara di seluruh dunia untuk datang ke negaranya, dan mengajak semua orang untuk “mengesampingkan apa yang memecah belah mereka” dan melakukan “komunikasi yang manusiawi dan beradab”.
Pernyataan hangat pemimpin Qatar tersebut bertolak belakang dengan pidato panjang Presiden FIFA Gianni Infantino yang yang terkesan marah sehari sebelumnya. Ia menyebut tentang kemunafikan negara Barat dan menuntut Eropa meminta maaf selama 3.000 tahun ke depan atas pelanggaran HAM yang mereka lakukan.
Sepanjang turnamen, kami menyoroti adanya keterkaitan politik global dengan Piala Dunia ini. Setiap pertandingan menceritakan kisah tentang isu internasional — terkadang langsung melalui sepak bola, atau melalui momen-momen terkait.
Namun kenyataannya adalah pertandingan olahraga akan selalu terlalu terjadi di ruang dan waktu ketika dimensi politik tidak dapat diabaikan atau dikesampingkan, meskipun ada permintaan dari ‘penjaga gerbang’ seperti FIFA yang ingin memperbaiki dunia sambil tetap berada di luar politik.
Baca juga: LGBT hingga BTS: 4 Hal yang Menghebohkan Piala Dunia Qatar 2022
Perbedaan Pendapat
Saat turnamen berakhir, penilaian dimulai: Apakah ini lebih dari kesuksesan olahraga? Jawabannya adalah: Rumit.
Mereka yang membela Qatar sebagai tuan rumah akan menekankan tentang peningkatan infrastruktur jangka panjang dan penggunaan teknologi keberlanjutan yang mutakhir; pentingnya membawa Piala Dunia ke Timur Tengah dan membangun jembatan budaya melalui acara olahraga damai; dan kesempatan bagi Qatar untuk menampilkan identitas modernnya.
Sementara pihak oposisi akan lebih menunjuk pada perlakuan terhadap pekerja migran, perkiraan biaya US$200 miliar (Rp 3,12 triliun) yang dikeluarkan untuk pembangunan infrastruktur dan meningkatkan reputasi dan citra (sportwashing) Qatar.
Untuk merangkum pendapat-pendapat yag berbeda dalam memandang hubungan antara olahraga dan politik, Tim Elcombe membuat kontinum REI/BCI.
Masyarakat internasional dapat melihat Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia dari perspektif positif: kesempatan bagi Qatar untuk mengembangkan sumber daya yang berarti (R/resources), untuk melibatkan dunia dalam dialog yang produktif (E/engagement) dan untuk menunjukkan identitas Qatar (I/identity) kepada dunia.
Pada saat yang sama, dunia juga bisa melihat dampak negatif akibat Qatar menjadi tuan rumah Piala Dunia, yakni pemborosan sumber daya manusia (yang menyebabkan hilangnya nyawa) hanya demi “pertunjukan” yang digelar selama empat minggu dan demi tujuan membersihkan reputasi Qatar melalui olahraga (BCI/bread and circus and image).
Terlepas dari pandangan mana yang paling berpengaruh, Piala Dunia FIFA 2022 mengingatkan kita bahwa olahraga itu kompleks dan menegangkan — baik di dalam maupun di luar lapangan.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.