Dunia Podcast di Indonesia dan Representasi, Tantangan Perempuan
Masalah gender di dunia podcast sempat ramai dibahas warganet. Seperti apa gambarannya dan tantangan apa yang dihadapi perempuan dalam dunia ini?
Pada 25 Februari lalu, Magdalene melakukan wawancara soal perempuan di dunia podcast dalam program Instagram Live “Bisik Kamis”, dengan salah satu podcaster perempuan Indonesia, Idha Umamah. Saat poster acara tersebut dipromosikan di Twitter, warganet ramai meresponsnya.
Banyak dari mereka yang mengkritik Magdalene, khususnya berhubungan dengan caption poster Bisik Kamis tersebut yang menyebutkan bahwa perempuan masih kalah dari laki-laki di dunia podcast dalam aspek pendengar dan produsennya, serta pernyataan bahwa podcast masih terkesan boys club. Mereka juga mempertanyakan data yang Magdalene pakai sehingga dapat membuat pernyataan seperti demikian.
Salah satu argumen yang dipakai oleh warganet yang tidak setuju dengan pernyataan Magdalene adalah dalam daftar podcast Indonesia di Spotify, salah satu platform yang banyak digunakan untuk mengakses podcast, perempuan justru menduduki posisi teratas; terlihat dari podcast Rintik Sedu yang dibuat penulis Nadhifa Allya Tsana yang popularitasnya mengungguli podcast-podcast lain yang dibuat dan dibawakan oleh host laki-laki.
Ada pula warganet yang berargumen bahwa isu gender dalam dunia podcast bukanlah hal yang patut diperkarakan. Hal tersebut semata berhubungan dengan ada tidaknya niat perempuan untuk membuat atau mendengar podcast saja, bukan masalah keterbatasan akses atau kesempatan. Argumen lain yang dipakai untuk mengkritik Magdalene mengaitkan isu kesetaraan gender yang disinggung dalam wacana perempuan dalam dunia podcast dengan perempuan di bidang-bidang lain, khususnya dalam hal jumlah dan kemampuan.
Data Soal Perempuan di Dunia Podcast
Di Indonesia sendiri, penelitian mengenai industri podcast masih terbatas dibandingkan industri media lainnya. Salah satu penelitian yang menggambarkan penggunaan podcast di Indonesia pernah dibuat oleh Daily Social bekerja sama dengan Jakpat Mobile Survei Platfrom pada 2018 silam.
Hasil survei terhadap 2.023 pengguna ponsel pintar menunjukkan bahwa 67,97 persen responden mengetahui tentang podcast dan 32,03 persen lainnya mengatakan tidak familier dengan medium tersebut. Berdasarkan jenis kelamin, 57,09 persen responden pendengar podcast adalah laki-laki, sementara pendengar perempuan 42,91 persen. Dari data ini, terlihat bahwa pendengar podcast di Indonesia memang lebih banyak laki-laki meski selisih persentasenya tidak jauh dari pendengar perempuan.
Hal serupa juga ditemukan dalam penelitian di negara lain. Dari studi Edison Research, sebuah perusahaan media riset yang berbasis di Amerika Serikat (AS), pada 2019 lalu ditemukan, komposisi pendengar podcast per bulan di AS adalah 46 persen perempuan dan 54 persen laki-laki. Dalam riset lembaga yang sama pada tahun 2020, selisih persentase ini turun menjadi 49 persen perempuan dan 51 persen laki-laki.
Sementara dari sisi podcaster, menurut salah satu data dari WNYC Studio, sebuah perusahaan podcast di AS, pada 2017, hanya sekitar sepertiga dari 100 podcast teratas di Apple Podcast, dibawakan oleh perempuan. Di Indonesia sendiri, kendati perempuan menjuarai tangga podcast di Spotify, hanya 15 dari daftar 200 podcast teratas di Spotify yang dibuat oleh perempuan.
Baca juga: Kantor Berbudaya Maskulin Tambah Beban bagi Pekerja Perempuan
Podcast Perempuan Bukan Hanya Perkara Jumlah
Di Indonesia, jumlah pendengar podcast perempuan dan laki-laki memang hanya ada selisih tipis, dan ada peningkatan dari segi jumlah podcaster perempuan dari pertama kali media ini muncul dan populer di Indonesia. Namun, tidak berarti tidak ada isu gender dalam dunia podcast.
Menurut Idha Umamah, inisiator dan pembawa acara podcast I Think I Wanna Date You yang tergabung dalam Podluck Podcast Network, ada permasalahan gender dalam dunia podcast di Indonesia, termasuk jumlah podcaster, jejaring, dan konten yang sangat maskulin.
Permasalahan gender di dunia podcast ini masih dianggap sepele akibat dari cara pandang patriarkal yang masih kental di dalam masyarakat, ujarnya.
“Relasi kuasa itu sudah terinternalisasi sehingga banyak yang meremehkan dan bahkan menganggap enggak ada masalah dalam dunia ini. Padahal, ketika kita melihat dari kaca mata lain, permasalahan tersebut ada. Pengalaman serta tantangan yang dialami oleh podcaster perempuan tentu saja berbeda dengan laki-laki,” ujar Idha dalam Bisik Kamis “Perempuan dalam Industri Podcast”.
Dari pengalaman Idha pada tahun 2018, ketika ia mengikuti sebuah kelas podcast yang diadakan oleh Kaskus, ia merasa sulit untuk berbaur dengan peserta lain karena sebagian besar adalah laki-laki.
“Waktu itu, peserta perempuannya hanya satu-dua orang saja. Ketika kelas dimulai, semua pematerinya juga laki-laki. Enggak ada pemateri perempuan sama sekali. Dari situ, aku jadi ingin membuat podcast karena aku juga mau menyuarakan dari perspektif perempuan,” ujarnya.
Ia menambahkan, dominasi konten serta host laki-laki yang ada sekarang ini juga dapat berdampak pada ditemukannya sebagian ujaran atau lelucon seksis dalam sejumlah podcast.
Senada dengan Idha, salah satu pembawa acara jaringan podcast Box2Box, Ranaditya Alief mengatakan dunia podcast Indonesia memang masih didominasi laki-laki. Saat menjadi juri lomba podcast pitching yang diadakan oleh Box2Box tahun lalu, sebagian besar podcast yang para juri dengar adalah podcast tongkrongan laki-laki.
“Saya enggak bisa secara persis memberikan jumlah berapa banyak podcast yang dibikin sama perempuan dan laki-laki. Tetapi saat proses seleksi, yang banyak kita dengarkan itu tongkrongan laki-laki umur 25 sampai 35 membicarakan soal isu bro-bro dan menganggap dirinya unik,” kata Rana kepada Magdalene pada Selasa (2/3).
Baca juga: 12 Rekomendasi Podcast Spotify Indonesia 2021
Ia mengatakan, banyak ide podcast tongkrongan laki-laki ini juga mungkin saja terinspirasi dari podcast lain dengan format sama yang mendominasi daftar favorit. Karenanya, Ranaditya tidak menyangkal jika ada yang berpendapat podcast masih terkesan boys club.
Ranaditya menambahkan, kalaupun podcaster perempuan akhirnya bisa muncul dan menduduki posisi atas daftar podcast favorit, sering kali perempuan tersebut sudah memiliki modal basis massa yang besar sebelum terjun menjadi podcaster.
“Is it a good representative for podcaster perempuan? Kan si podcaster Rintik Sedu itu sudah terkenal sebelum bikin podcast dan memiliki followers jutaan di Instagram. Jika dia dijadikan benchmark atau entry level-nya seperti itu, ini jadi lebih susah buat perempuan untuk memulai,” kata Rana.
Tanita Rahmani, salah satu penulis serta co-host podcast dari In-depth Creative, sebuah perusahaan podcast independen di Jakarta, menuliskan hal yang serupa di Twitter lewat akun @indepthcreates. Ia menulis bahwa medium podcast masih baru muncul di Indonesia, sehingga jenis konten dan tipe orang yang akan mengonsumsi konten juga terbatas. Ia juga mengatakan sebaiknya masyarakat tidak terus-menerus menjadikan angka dan status di chart sebagai tolok ukur representasi yang baik.
“Memulai produksi podcast supaya menjadi top akan berisiko mereproduksi lingkaran konten yang lingkungannya enggak bagus. Sebab, kalau mau masuk top chart kan topik dan format perlu disukai sama mass audience,” ujar Tanita.
Ia menambahkan, walaupun pertumbuhan dan pengakuan dari audiens itu bagus, jika orang-orang di dunia podcast terus menerus mengikuti lingkaran tersebut, konten yang dianggap male segmented akan semakin kuat. Karenanya, Tanita mengingatkan bahwa penting bagi orang-orang di industri ini untuk membuka ruang konten sebesar-besarnya bagi perempuan, entah konten yang berbentuk prosa, diary, isu perempuan, ataupun geopolitik.
Tantangan Lain Podcaster Perempuan
Selain garis mulainya masih belum sama, Idha juga mengakui bahwa isu kepercayaan diri juga menjadi masalah yang sering dihadapi oleh perempuan, salah satunya karena dunia podcast masih didominasi kultur tongkrongan laki-laki.
“Aku pernah ada di fase enggak percaya diri. Ketika ada di kelas Kaskus itu, aku sempat berpikir, sudahlah enggak usah bikin, karena aku merasa enggak bisa mengenal orang-orang di dalam industri podcast. Ketika aku sudah punya podcast, aku masih belum bisa masuk ke tongkrongan itu,” ujar Idha.
Baca juga: Podcast Rekomendasi Magdalene yang Wajib Disimak
Idha mengatakan ia baru bisa masuk lebih mudah berbaur dengan podcaster lain setelah ia diundang sebagai narasumber di workshop podcast. Setelah itu, namanya baru mulai dikenal.
Selain masalah berjejaring dalam dunia podcast yang masih kerap terkesan maskulin, tantangan lain yang dihadapi podcaster perempuan berkaitan dengan kemampuan teknis mereka. Dalam tulisan Jessie L. Werner dkk berjudul “Women in Podcasting: We Should Tune In” yang dimuat di The Permanent Journal (2020), pengetahuan soal proses merekam, alat-alat perekam, serta proses menyunting masih lebih diasosiasikan dengan pekerjaan laki-laki.
Selain itu, Werner berargumen bahwa tantangan lain yang memengaruhi kesuksesan sebuah podcast tersebut berasal dari nada suara sang podcaster. Mengutip penelitian terdahulu, Werner menulis bahwa masyarakat lebih condong menyukai orang dengan suara rendah atau lebih maskulin ketimbang lebih tinggi.
Dalam studi sebelumnya, ditemukan bahwa baik laki-laki maupun perempuan cenderung menyukai orang dengan nada suara rendah sebab dianggap lebih kompeten serta profesional. Akibatnya, perempuan yang cenderung memiliki nada suara yang tinggi bisa saja dirugikan dalam hal membuat podcast. Bukan hanya suaranya tidak terlalu populer, mereka mungkin saja dianggap memiliki otoritas yang kurang dalam topik yang dibicarakan hanya karena ia tidak berbicara seperti laki-laki. Menurut Werner, preferensi masyarakat terhadap suara yang lebih rendah merupakan salah satu bias yang tidak disadari atau unconcious bias.
Werner mengatakan, alih-alih melatih perempuan untuk menyesuaikan suara mereka agar lebih maskulin, akan lebih baik jika industri mendorong keberagaman suara perempuan. Dengan meningkatkan representasi mereka dalam industri podcast, hal ini akan membantu masyarakat untuk mendekonstruksi bias tersebut.
Ilustrasi oleh Karina Tungari.