December 5, 2025
Issues Politics & Society

LPDP Prioritaskan Beasiswa untuk Jurusan STEM: Di Balik Salah Kaprah Negara Melihat Jurusan Humaniora

Warisan kolonial sampai logika investasi pendidikan yang keliru jadi alasan kenapa negara masih memandang jurusan humaniora sebelah mata.

  • September 16, 2025
  • 4 min read
  • 2582 Views
LPDP Prioritaskan Beasiswa untuk Jurusan STEM: Di Balik Salah Kaprah Negara Melihat Jurusan Humaniora

Saya masih ingat betul bagaimana beberapa rekan menyayangkan pilihan jurusan master yang saya pilih: Program Studi Kajian Gender. Dalam obrolan di tahun 2023, seseorang bilang saya berpotensi buang-buang uang jika lanjut master di jurusan tersebut. Beberapa orang lainnya bahkan skeptis soal pengembangan karier saya ke depan, lantaran jurusan ini ‘tak laku’ di pasaran. 

Mereka bilang akan sulit balik modal kalau lanjut mempelajari ilmu-ilmu sosial.

Sebetulnya, pernyataan rekan saya bukan ungkapan baru apalagi ketika membicarakan jurusan humaniora. Di negara kita jurusan ini memang selalu jadi nomor dua dan jarang dapat perhatian lebih, terutama dari penyelenggara negara. Sebut saja Presiden Prabowo yang selalu menekankan pengembangan pendidikan Science, Technology, Engineering, and Mathematic (STEM) sejak debat pemilihan umum (pemilu) 2024. Kemajuan sains selalu digadang-gadang jadi langkah mutakhir untuk memajukan bangsa.

Teranyar pemfokusan negara pada pengembangan jurusan saintek terimplementasi lewat peraturan lembaga pengelola dana pendidikan (LPDP) yang terbaru. 

Melansir Kompas.com, LPDP akan lebih memprioritaskan pilihan jurusan yang mengarah pada STEM di 2026 mendatang. Sebanyak 80 persen pemberian bantuan dana akan ditujukan pada mahasiswa yang memilih jurusan sains dan teknologi. Brian Yuliarto, Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Saintek, bilang pemfokusan ini penting untuk transformasi menuju Indonesia Emas 2045 (25/7). 

Baca juga: #SetopLiberalisasiKampus: Jebakan Baru itu Bernama ‘Student Loan’

Sejarah Indonesia dan Salah Kaprah Pemerintah Melihat Investasi Pendidikan

Ada beberapa alasan mengapa jurusan saintek dipandang lebih baik dari jurusan sosial dan humaniora (soshum) di Indonesia. Annisa. R Beta, dosen ilmu budaya University of Melbourne, bilang salah satu alasan tersebut berkaitan dengan sejarah Indonesia yang pernah dijajah. 

Sebagai bangsa yang dikuasai oleh penjajah ratusan tahun, masyarakat Indonesia punya pola pikir yang fungsional secara kapitalis terhadap pendidikan. Sejak dulu, masyarakat kita diperbolehkan belajar asal berguna atau sesuai dengan kebutuhan pasar.

“Sebenarnya secara historis ada sejarah dalam masyarakat di mana kita akan ketakutan untuk memulai hal-hal yang enggak ada gunanya–karena kita biasa dijajah. Intinya, ‘kalian berhak berpendidikan tapi pendidikan kalian harus berguna’, gitu. Dan ini bergunanya dalam kacamata apa? Kapitalis,” jelas Annisa.

Kondisi tersebut pun diperparah dengan sistem orde baru yang cenderung melakukan penyeragaman dan pembatasan kritik di berbagai lini kehidupan. Annisa bilang, rezim tersebut memang secara sengaja membatasi lahirnya pemikir-pemikir kritis yang biasanya muncul jadi jurusan humaniora. “Ada kesengajaan, sadar atau enggak sadar, untuk tidak menciptakan pemikir kritis.”

Dalam laporan BBC, rezim Soeharto sendiri tercatat pernah melakukan penyeragaman ini bahkan melalui kompetisi cerdas cermat yang diselenggarakan kala itu. Ditayangkan lewat stasiun Televisi Republik Indonesia (TVRI), tayangan pendidikan ini menyuguhkan kompetisi keilmuan yang dilakukan dengan tanya jawab pilihan ganda. 

Jawaban tunggal tanpa penjelasan yang hadir dari peserta ini lah yang disinyalir jadi agenda untuk menguatkan produksi narasi tunggal dari penguasa. Para siswa dididik untuk memiliki satu pandangan yang sama dan tidak diberikan kesempatan untuk punya pemikiran berbeda.

Menurut Annisa, kondisi ini pun diperparah dengan cara pandang pemerintah yang sangat konservatif melihat fungsi pendidikan. Sejauh ini pemerintah cenderung melihat pengetahuan sebagai satu hal yang harus memiliki fungsi praktis. Sebagai konsekuensinya–seperti yang terjadi di LPDP–negara pun akan melihat investasi pendidikan dari ukuran kepuasan jangka pendek semata. Dan atas dasar ini, pemerintah lebih mengunggulkan jurusan saintek dibanding jurusan humaniora. 

“Mengedepankan saintek sebetulnya hanya akan memberikan kepuasan jangka pendek. Padahal, return of investment itu tidak bisa dilihat dari efektivitas, tapi juga dari long term effect yang terkait dengan efeknya ke masyarakat Indonesia, produksi pengetahuan Indonesia, dan penciptaan tokoh-tokoh atau figur-figur. Mereka hanya bisa muncul ketika kebebasan itu diberikan,” jelas Annisa.

Baca juga: #SetopLiberalisasiKampus: Antara UKT Tinggi dan Obsesi Jadi ‘World Class University’

Jurusan Humaniora Bukan Ilmu Sampingan

Untuk itu Annisa menekankan bahwa pemerintah tidak boleh melihat jurusan humaniora sebagai ilmu sampingan belaka. Tanpa mendiskreditkan jurusan saintek, nyatanya jurusan sosial dan humaniora adalah jurusan yang lebih banyak melahirkan pemikir-pemikir kritis.

“Pada kenyataannya, the great thinkers of Indonesia are people who study philosophy. Kita pengen punya masyarakat yang berpikir kritis. Semua pendiri negara Indonesia adalah orang-orang yang at some point menghargai humaniora, menghargai filsafat gitu,” tegas Annisa.

Annisa pun tak lupa menyebut bahwa pada dasarnya, ilmu yang termuat dalam jurusan saintek tidak bisa berdiri sendiri tanpa kajian mendalam lewat jurusan humaniora. Secara praktek kedua bidang ilmu ini punya keterkaitan yang penting agar penyelesaian persoalan negara dapat dilakukan secara komprehensif.

Baca juga: #SetopLiberalisasiKampus: Kuliah adalah Hak Semua Bangsa Kecuali Orang Miskin

Selaras dengan perkataan Annisa, riset bertajuk “Embracing the Power of the Multidisciplinary Approach Breaking Boundaries and Fostering Innovation” (2023) juga menemukan bahwa pendekatan multidisiplin penting untuk memunculkan potensi terbaik dari ilmu yang sedang dikembangkan. 

Dengan mengaplikasikan dua bidang ini bersamaan, solusi inovatif, kebijakan yang kolektif, sampai buah pemikiran yang holistik dapat lebih mudah didapat ketimbang hanya mengunggulkan salah satu bidang saja. 

Ilustrasi oleh Karina Tungari

About Author

Syifa Maulida

Syifa adalah lulusan Psikologi dan Kajian Gender UI yang punya ketertarikan pada isu gender dan kesehatan mental. Suka ngopi terutama iced coffee latte (tanpa gula).