Penanganan masalah orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di Indonesia masih kerap melibatkan tindakan kekerasan. ODGJ diikat, dirantai, diberi balok kayu di kaki, dan dikurung di dalam kamar, adalah beberapa bentuk penyiksaan yang masih diwajarkan oleh banyak keluarga.
Sejak 2010, pemerintah, rumah sakit jiwa, organisasi konsumen, dan pihak-pihak lain mendukung Gerakan Bebas Pasung di Indonesia untuk membebaskan ODGJ dari pasung. Namun membebaskan ODGJ dari pasung tidak sederhana. Pemasungan ODGJ menyangkut budaya, kesiapan keluarga, masyarakat, pemerintah, dan sistem kesehatan jiwa secara umum.
Baca juga: Menemani Orang dengan Gangguan Mental
Untuk menumbuhkan perhatian kepada ODGJ dan membebaskan mereka dari pasung, dorongan dari anggota masyarakat sangat dibutuhkan.
Saya dan rekan-rekan di Center for Public Mental Health (CPMH), Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada, sejak 2015 mengadvokasi hak para pasien jiwa di Panti Mbah Marsiyo, sebuah panti yang dikelola oleh Marsiyo, berusia sekitar 80 tahun, di Kabupaten Kebumen.
Marsiyo meyakini metode utama menyembuhkan sakit jiwa adalah mendekatkan mereka ke tanah, yaitu dengan merantai kaki pasien atau memasung mereka di atas tanah. Sejak 40 tahun lalu, ia menampung ODGJ di rumahnya. Orang-orang tersebut datang diantar oleh keluarga mereka.
Advokasi yang kami lakukan pada awalnya belum membuahkan hasil. Kami baru menemukan momentum pada bulan-bulan terakhir 2017 ketika seorang petugas pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) mengikuti workshop mengenai pemberantasan praktik pasung. Ia kemudian terinspirasi untuk menggerakkan pejabat berwenang untuk memperhatikan nasib ODGJ yang dipasung di Panti Mbah Marsiyo.
Sebuah bakti sosial yang dilakukan pemerintah daerah Kebumen sempat membuat isu mengenai pembebasan praktik pasung di Panti tersebut mengemuka di beberapa media lokal.
Advokasi untuk ODGJ di Kebumen
Saya dan rekan-rekan mulai mencoba mencari tahu siapa saja yang memiliki peran dapat mengubah keadaan panti Mbah Marsiyo pada 2015. Awalnya, Aliza Hunt, mahasiswa kandidat doktor dari Australian National University magang di Center for Public Mental Health (CPMH) dan mengunjungi panti Mbah Marsiyo.
Aliza menuangkan keprihatinan tersebut ke dalam laporan yang dibagi dalam lingkungan terbatas. Aliza kemudian mendiskusikannya secara intensif dengan kami. Ia prihatin dengan metode yang digunakan dan fasilitas buruk di panti.
Maka kami kemudian menganalisis untuk mencari siapa yang bisa menjadi agen perubahan. Kami juga mencari tahu potensi daerah dan sistem kesehatan jiwa di Kebumen.
Dari analisis inilah kami bertemu Sian, petugas di puskesmas Kecamatan Mirit, puskesmas rujukan untuk wilayah Panti Mbah Marsiyo. Kami melihat potensi Sian untuk menjadi agen perubahan. Di Puskesmas Mirit, Sian bertanggung jawab atas program kesehatan jiwa.
Meski merangkap dengan banyak tanggung jawab lain, Sian sangat peduli dengan pasien-pasien di Panti Mbah Marsiyo.
Sian tidak pernah mendapatkan pelatihan perawat kesehatan jiwa. Namun, ia menggerakkan kolega di puskesmas untuk menyisihkan sebagian penghasilan mereka untuk memberi makan dan alat mandi kepada pasien Panti Mbah Marsiyo secara berkala.
Sian juga setiap bulan membawa obat dari Dinas Kesehatan Kebumen untuk pasien jiwa di Panti Mbah Marsiyo. Dinas Kesehatan mulai menyumbangkan obat psikiatri ke Panti Mbah Marsiyo pada 2014. Sejak saat itu, sebagian penghuni Panti Mbah Marsiyo mendapatkan persediaan obat-obatan. Pengobatan yang rutin untuk mengontrol gejala, termasuk bagian dari manajemen penanganan pasien dengan gangguan jiwa.
Membangun Panti Kesehatan Jiwa yang Lebih Manusiawi
Pada September 2017, Sian menghadiri workshop internasional mengenai pemberantasan praktik pasung yang kami selenggarakan.
Workshop ini dihadiri para penggerak Gerakan Bebas Pasung Indonesia, baik nasional maupun lokal, juga para peneliti internasional yang tertarik dengan perkembangan sistem kesehatan jiwa Indonesia. Kami mengundang Sian sebagai tamu kehormatan.
Sian sangat terinspirasi oleh workshop tersebut. Sebuah ide muncul di kepalanya untuk memecahkan masalah di Panti Mbah Marsiyo: Menjadikannya panti resmi milik Dinas Sosial. Sian kemudian menghubungi Kepala Dinas Sosial Kebumen dr. Budi Satrio dengan ide tersebut.
Kepala Dinas Sosial Kebumen dokter Budi Satrio menanggapi ide Sian. Dinas Sosial Kebumen kemudian menyelenggarakan bakti sosial di Panti Mbah Marsiyo.
Sekitar 90 orang dari berbagai sektor terlibat dalam bakti sosial. Mereka membersihkan lingkungan sekitar panti, memandikan ODGJ yang jumlahnya sekitar 60 orang dan mencukur rambut mereka. Separuh dari Pasien Panti Mbah Marsiyo sudah tidak dipasung. Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kebumen membawa dua truk air untuk keperluan bakti sosial ini.
Bupati Kebumen Muhammad Yahya Fuad, DPRD, dan pihak-pihak terkait saat ini merencanakan membangun fasilitas panti jiwa baru di Kebumen. Panti tersebut direncanakan akan menjadi tempat perawatan ODGJ yang manusiawi tanpa pemasungan. Kemajuan di Kebumen ini luar biasa, selangkah demi selangkah mereka membangun sistem kesehatan jiwa yang komprehensif.
Bukan Kerja Instan
Kerja advokasi tidak singkat. Meski saat ini ada perhatian dan rencana perubahan dari pemerintah untuk pasien di Panti Mbah Marsiyo, masih ada ODGJ yang dipasung di panti tersebut. Keluarga ODGJ juga masih mengirimkan anggota keluarganya untuk dipasung.
Contohnya, pada Oktober lalu Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada mengatur kunjungan peserta International Short Course untuk belajar tentang kemampuan advokasi untuk pengembangan sistem kesehatan jiwa ke Panti Mbah Marsiyo. Kunjungan tersebut untuk menunjukkan kepada peserta tantangan pengembangan sistem kesehatan jiwa di lapangan.
Ketika Mbah Marsiyo sedang sibuk menerima tamu, sebuah minibus berwarna pink datang menerobos kerumunan.
Kami kemudian menyaksikan sebuah keluarga menyerahkan anggota keluarganya ke Panti Mbah Marsiyo. Mbah Marsiyo menerima keluarga tersebut dengan ramah. Ia memberikan secarik kertas pada keluarga untuk ditandatangani.
Kertas tersebut intinya berbunyi “Keluarga tidak akan menuntut jika terjadi apa-apa dengan ODGJ yang dititipkan kepada Mbah Marsiyo”. Mbah Marsiyo meminta, tapi tidak mewajibkan, keluarga menyumbang sedikit uang untuk biaya perawatan.
Keluarga tersebut bercerita pada peserta pelatihan bahwa ada anggota keluarga mereka yang berusia 30-an, sudah 15 kali masuk rumah sakit jiwa. Namun, pasien gangguan jiwa itu selalu kambuh dan agresif setelah dua minggu di rumah.
Mereka berkata warga sekitar rumah mereka ketakutan setiap pasien mengamuk. Warga menolak kehadirannya di tengah masyarakat. Dengan berat hati, keluarga kemudian membawa pasien ke Panti Mbah Marsiyo.
Baca juga: Saya Dokter, Saya Pasien Kejiwaan, dan Saya Tidak Malu Mengakuinya
Kisah miris tersebut menunjukkan bahwa sedikitnya ada lima hal yang hilang: pengobatan yang teratur, psikoterapi, keluarga yang suportif, masyarakat yang tidak menstigma, dan aktivitas yang sesuai agar ODGJ bisa mencapai “wellbeing” dan hidup produktif dengan sakitnya.
Sistem kesehatan jiwa komprehensif memerlukan napas panjang advokasi. Dari Kebumen kita belajar bahwa perubahan ke arah yang lebih baik dalam menangani ODGJ mungkin dilakukan.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.