Kamu pasti pernah mendengar tentang mitologi Yunani kuno Sisifus? Ia punya peran penting dalam sejarah, termasuk sebagai pendiri kota negara Corinth (Ephyra saat itu) dan dianggap sebagai penerus Medea, yang terkenal karena kisah tragisnya dengan Jason dari Argonauts .
Sisifus juga kerap dikaitkan dengan penyelenggaraan pesta olahraga Isthmian yang terkenal, sebuah ajang olahraga yang diadakan setahun sekali di antara Olimpiade (sebelum dan setelah Olimpiade).
Semua prestasi dari sisifus tersebut, sayangnya hanya tinggal kenangan. Sebab, pada akhirnya Sisifus dihukum dengan alasan yang bervariasi tergantung versi mitos yang dibaca.
Ada yang mengatakan bahwa Sisifus dihukum karena mengkhianati Zeus dan mengungkap salah satu perbuatannya kepada Asopus yang kemudian membuat Zeus menghukumnya untuk mendorong batu di neraka. Namun, ada pula versi lain yang menyebutkan bahwa Sisifus dihukum karena menolak kematian ketika ditakdirkan oleh para dewa.
Terlepas dari versi yang digunakan, mitos Sisifus sering digunakan untuk menjelaskan sesuatu yang absurd. Sebab, tokoh mitologi Yunani yang satu ini dikutuk untuk selama-lamanya mengulangi tugas yang sia-sia: Mendorong batu karang ke puncak gunung, tetapi pada akhirnya batu itu bergulir jatuh kembali.
Baca juga: Dari Prilly hingga Raffi Ahmad, Kenapa Seleb Ramai-ramai Beli Klub Bola?
Sisifus dan Sepak Bola
Cerita Sisifus ini bisa kita gunakan untuk memahami kondisi naik turunnya prestasi dari beberapa klub sepak bola dunia. Terutama, tim-tim sepak bola liga Inggris yang berjaya di masa lalu dan saat ini sedang berpikir untuk kembali ke zaman keemasan mereka.
Sebut saja Arsenal yang terakhir kali menjadi juara liga Inggris pada musim 2003/2004 atau Everton yang pernah meraih sembilan trofi liga Inggris.
Terbaru, ada Manchester United (MU) yang merupakan salah satu klub dengan gelar liga Inggris terbanyak, yakni 20 trofi, yang terakhir kali diraih pada 2012/2013.
Klub ini juga tercatat tiga kali menjuarai Liga Champions Eropa, terakhir pada 2007/2008, serta menyabet 12 gelar Piala FA, terakhir kali pada musim 2015/2016 saat dilatih oleh Louis Van Gaal.
Namun seperti Sisifus, mereka kemudian “dihukum” mengalami penurunan prestasi hingga saat ini.
MU, Riwayatmu Kini
Menurut data perusahaan konsultan Deloitte, MU saat ini adalah klub dengan pemasukan terbesar kelima setelah Real Madrid, Manchester City, Paris Saint-Germain, dan Barcelona. Sekitar 47 persen dari pemasukan MU yang sebesar 746 juta euro pada 2023 berasal dari aktivitas komersial, 32 persen dari penyiaran, dan sisanya dari penjualan tiket. Ini menunjukkan betapa besarnya basis penggemar MU.
Dengan kekuatan finansialnya, seharusnya MU mampu bersaing dengan tim besar lainnya di Liga Inggris. Namun yang terjadi justru sebaliknya.
Pertama, sejak Alex Ferguson–manager legendaris MU sejak 1986–pensiun pada 2013 lalu, MU sudah tujuh kali berganti pelatih. Dua di antaranya adalah pelatih yang berhasil membawa timnya memenangkan liga Champions, yakni Jose Mourinho dan Louis Van Gaal. Akan tetapi, semuanya gagal meneruskan jejak Ferguson yang selama dua dekade sukses memberikan banyak gelar untuk MU.
Pelatih lainnya rata-rata bermasalah dengan taktik. Misalkan saja David Moyes, yang akrab dengan bola panjang yang terkesan membosankan dan tak tentu arah, atau Louis Van Gaal yang strategi dan kepribadiannya kaku sehingga identik dengan hasil seri.
Sementara Jose Mourinho identik dengan sepak bola pragmatis, yang lebih suka bertahan dengan banyak pemain. Masuknya Ole Gunnar Solskjaer, legenda hidup MU juga ternyata tak banyak memberi arti, lihat saja betapa minimnya prestasi dibawah naungan kepelatihannya.
Baca juga: Sepak Bola Perempuan Semakin Diminati, Namun Disparitas Tetap Ada
Saat ini, di bawah Erik Ten Hag, MU belum juga menunjukkan kemajuan signifikan. Ditambah lagi, banyaknya pemain yang disebut-sebut tidak sebanding dengan harganya, seperti Anthony Martial, Jadon Sancho, Anthony, dan masih banyak lagi.
MU juga mengalami masalah internal kepemilikan klub. Masalah ini diawali oleh keluarga Glazzer, konglomerat asal Amerika Serikat yang membeli MU dengan berutang terlebih dahulu, hingga penjualan saham MU yang batal dibeli oleh Sheikh Jassim, taipan asal Qatar. Kedua hal ini kian memperburuk reputasi MU sebagai salah satu klub sepak bola terbesar di dunia.
Sepanjang musim kompetisi 2022/2023, MU juga mengalami rentetan kekalahan konyol. Di liga Inggris, MU menelan kekalahan 0-7 dari Liverpool pada 5 Maret 2023. Padahal saat itu, MU baru saja menjuarai Carabao Cup.
Kemudian di liga Champions, MU harus mengakui keunggulan klub asal Turki, Galatasaray di kandang sendiri pada 4 Oktober 2023 meski unggul lebih dulu. Alhasil, Andre Onana, penjaga gawang MU menjadi bulan bulanan karena penampilan yang terbilang di bawah standar.
Seperti Sisifus, MU juga mengalami drama demi drama, mulai dari blunder pemain, blunder taktik pelatih, hingga terbaru, menelan kekalahan 2-3 dari Chelsea pada 5 April 2024 karena kebobolan di menit akhir perpanjangan waktu.
Performa Naik Turun Wajar Saja
Sebenarnya, sepak bola modern terus berubah sehingga sulit untuk memastikan sebuah tim selalu berada di puncak kejayaan.
Dari segi taktik saja, jika dulu tim sepak bola cenderung bermain reaktif dengan bertahan dan melakukan serangan balik, kini banyak tim yang berani bermain lebih terbuka dengan menerapkan short pass, pressing, serta direct attack yang mematikan.
Pada masa kejayaannya, MU di bawah asuhan Ferguson, sering memakai formasi sepak bola 4-4-2/4-4-1-1. Lalu pada 2005/2006, ia mengubah taktiknya menjadi 4-3-3, mengadopsi apa yang dilakukan oleh Chelsea.
Awalnya, taktik 4-3-3 Ferguson itu tidak berjalan mulus. Transisi dari bertahan ke menyerang dan sebaliknya masih macet yang berakibat sering kalah dengan lawannya pada saat itu.
Namun, seiring berjalannya waktu, taktik tersebut akhirnya berhasil pada 2007/2008. Hal ini terjadi lantaran Carlos Tevez, penyerang yang dibutuhkan MU saat itu, bergabung dengan tim yang bermarkas di Old Trafford ini. Bahkan, kehadiran Carlos Teves memberikan angin segar dengan kombinasi 79 gol dan 29 assist dengan para penyerang MU di masa itu.
Baca juga: Kapten Cantik, Bidadari Lapangan: Kosa Kata Media untuk Sepak Bola Perempuan
Serupa tapi Enggak Sama
Anjloknya prestasi MU belakangan ini disebabkan oleh berbagai faktor. Ada yang mengatakan karena MU terlalu fokus pada pertumbuhan profit bisnis mereka, ada pula yang mengatakan, MU memang sudah tidak memiliki DNA untuk menang lagi.
Meskipun seolah-olah bernasib seperti Sisifus, kondisi MU ini juga bisa dilihat sebagai bentuk refleksi. Jika Sisifus, dalam usahanya mendorong batu sebagai hukuman, pada akhirnya dapat memperoleh makna: tidak mampu mendorong sampai ke atas, tetapi tetap bahagia, maka MU pun bisa memaknai periode ini sebagai bagian dari proses dan bukan suatu kesia-siaan belaka.
Meminjam pemikiran Albert Camus dalam memaknai mitos Sisifus, absurditas kekalahan-kekalahan MU harus dihadapi dengan sebuah kesadaran untuk dapat menerimanya sebagai kenyataan tetapi sekaligus menentangnya –jatuh bangunnya MU saat ini adalah bagian dari usaha untuk bisa meraih prestasinya kembali.
Yogie Pranowo, Adjunct Associate Lecturer, Universitas Multimedia Nusantara.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.