Health Issues

Dokter di Indonesia Tidak Merata, Apa Penyebab dan Solusinya?

Rasio dokter per penduduk di Indonesia masih jauh dari standar yang ditetapkan WHO. Per 2023, hanya 0,47 dokter per 1.000 penduduk.

Avatar
  • October 16, 2024
  • 6 min read
  • 7 Views
Dokter di Indonesia Tidak Merata, Apa Penyebab dan Solusinya?

Peningkatan jumlah dokter di Indonesia merupakan salah satu rencana kebijakan yang dicanangkan oleh Presiden terpilih, Prabowo Subianto. Tak tanggung-tanggung, Prabowo berencana membangun 300 fakultas kedokteran dan mengirim 10.000 mahasiswa kedokteran ke luar negeri. Menurutnya, langkah ini mampu mengatasi kekurangan jumlah dokter di Indonesia, khususnya di kawasan terpencil dan tertinggal.

Faktanya, solusi permasalahan ini lebih kompleks dari sekadar menambah jumlah fakultas kedokteran dan beasiswa kedokteran. Sebab, terdapat masalah struktural, berupa ketimpangan distribusi tenaga medis yang memerlukan penanganan (intervensi) lebih mendalam.

 

 

Jumlah dan Pemerataan Dokter Belum Memadai

Jumlah dokter di Indonesia mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin memperkirakan bahwa Indonesia saat ini memiliki sekitar 170 ribu dokter umum.

Sayangnya, rasio dokter per penduduk di Indonesia masih jauh dari standar yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Menurut WHO, idealnya sebuah negara memiliki satu dokter per 1.000 penduduk. Artinya, satu dokter menangani 1.000 penduduk. Sementara, rasio nasional Indonesia pada 2023 hanya mencapai 0,47 dokter per 1.000 penduduk.

Jika total penduduk pada semester pertama 2024 mencapai 280 juta orang, maka negara ini membutuhkan sekitar 280 ribu dokter. Artinya, Indonesia masih membutuhkan tambahan sekitar 110 ribu dokter.

Selain kekurangan dokter, studi tahun 2024 yang belum diulas sejawat, mengungkapkan bahwa ketimpangan distribusi tenaga medis masih terjadi di seluruh Indonesia dari tahun 1992 hingga hari ini.

Menurut Profil Kesehatan Indonesia 2022, sebagian besar dokter di Indonesia, terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Bali. Provinsi Jawa Barat diperkirakan memiliki jumlah tenaga medis terbanyak, yakni 23.973 dokter, diikuti Jawa Timur sebanyak 23.851 dokter, dan DKI Jakarta sejumlah 23.788 dokter.

Baca juga: Adakah Jalan Keluar untuk Setop Perundungan Pendidikan Dokter Spesialis?

Adapun provinsi dengan jumlah tenaga medis paling sedikit antara lain Sulawesi Barat (512 dokter), Kalimantan Utara (600 dokter), dan Gorontalo (648 dokter).

Sebuah studi tahun 2021 mengungkapkan sejumlah faktor yang memengaruhi tidak meratanya distribusi dokter di Indonesia, di antaranya jumlah penduduk, kepadatan penduduk, dan jumlah fasilitas kesehatan, seperti pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) dan rumah sakit.

Studi lainnya yang dimuat di BMC Health Services Research menemukan bahwa jumlah dokter di pulau-pulau kecil maupun pedesaan lebih sedikit dibandingkan dengan di pulau besar maupun perkotaan di Indonesia.

Tidak meratanya distribusi dokter menyebabkan masyarakat di daerah terpencil, seperti pedesaan, sulit mengakses layanan kesehatan. Hal ini bisa mengurangi kualitas kesehatan mereka.

Rencana yang Perlu Ditinjau Ulang

Penting untuk meninjau kembali rencana ambisius Prabowo dalam menambah jumlah fakultas kedokteran dan beasiswa kedokteran untuk mendongkrak jumlah dokter di Indonesia, berikut sejumlah alasannya:

1. Penambahan jumlah dokter tidak menjamin pemerataan

Penelitian menunjukkan bahwa penambahan jumlah dokter tidak menjamin pemerataan distribusinya.

Hal ini dialami Jepang dan Australia yang memiliki program penambahan jumlah dokter dengan cara menambah fakultas kedokteran. Namun, ketimpangan distribusi tetap terjadi sehingga kedua negara ini kemudian menerapkan kebijakan yang lebih spesifik untuk menempatkan lulusan kedokteran di daerah-daerah tertentu.

Sebuah penelitian yang dipublikasikan di Human Resources for Health mengungkapkan pentingnya pendekatan berjenjang agar strategi pemerataan dokter di daerah terpencil berjalan efektif.

Pendekatan berjenjang yang dimaksud, yaitu dimulai dengan memilih lebih banyak mahasiswa kedokteran yang berasal dari desa, mengembangkan pendidikan yang berfokus pada pedesaan, dan mendirikan lebih banyak perguruan tinggi yang didanai publik. Selain itu, pemerintah harus memastikan kualitas tempat kerja, kebutuhan finansial, dan tempat tinggal dokter di pedesaan terjamin dengan baik, termasuk sistem kesehatan di desa tersebut.

Riset telaah cakupan (scooping review) ini mengkaji artikel ilmiah selama 20 tahun terakhir di negara Asia-Pasifik berpenghasilan rendah dan menengah.

2. Kebijakan beasiswa harus dipantau secara ketat

Mengenai rencana kebijakan untuk memperbanyak beasiswa kedokteran ke luar negeri, pemerintahan Prabowo perlu belajar dari Thailand. Pemerintah Thailand memberikan beasiswa khusus untuk mahasiswa yang berasal dari desa, dengan syarat mereka harus kembali bekerja di daerah asal setelah menyelesaikan studi.

Baca juga: Marak Konten Tak Sensitif Nakes, Bagaimana Etikanya?

Hasilnya, jumlah dokter di wilayah pedesaan meningkat empat kali lipat dalam satu dekade, yakni dari 300 dokter pada tahun 1976 menjadi 1.162 dokter pada 1985. Meski begitu, pelaksanaan kebijakan ini harus dipantau ketat guna memastikan bahwa lulusan yang dikirim ke luar negeri, benar-benar kembali dan mengabdi di daerah yang kekurangan tenaga medis.

3. Perbanyak fasilitas kesehatan di daerah terpencil

Faktor kunci lain yang memengaruhi distribusi dokter di Indonesia adalah ketersediaan dan kualitas fasilitas kesehatan (faskes) di daerah terpencil.

Provinsi dengan jumlah puskesmas dan rumah sakit yang lebih banyak, cenderung memiliki jumlah dokter yang lebih tinggi. Sementara itu, daerah-daerah yang minim faskes memiliki dokter yang lebih sedikit.

Karena itu, peningkatan jumlah maupun kualitas faskes di daerah dengan akses kesehatan yang rendah diduga bisa menjadi solusi untuk menarik lebih banyak tenaga medis ke wilayah tersebut. Namun, pembangunan infrastruktur kesehatan saja tidak cukup. Peluang pengembangan karier dan insentif finansial bagi tenaga medis juga harus ditingkatkan.

Sebuah penelitian di Cina mengungkapkan bahwa peluang karier dilengkapi insentif finansial dan fasilitas pendukung yang memadai merupakan faktor kunci yang dapat mendorong lulusan kedokteran bersedia bekerja di daerah terpencil.

Kebijakan yang Perlu Diupayakan

Persoalan distribusi dokter di Indonesia merupakan problem struktural. Karena itu, kebijakan untuk mendorong tenaga medis bekerja di daerah terpencil perlu disertai dengan sejumlah program pemerataan distribusi dokter yang pendekatannya lebih holistik.

Pemerintahan Prabowo bisa mempertimbangkan sejumlah kebijakan di bawah ini:

1. Insentif terarah dan kebijakan penempatan strategis

Agar tenaga medis bersedia bekerja di daerah terpencil, pemerintah perlu menawarkan insentif finansial, seperti tunjangan khusus, perumahan, dan biaya transportasi.

Insentif nonfinansial juga perlu disediakan, seperti pelaksanaan program pelatihan lanjutan, dukungan pengembangan karier, dan pemberian penghargaan khusus.

Program penempatan tenaga medis pun harus berbasis pada kebutuhan lokal, dengan pemetaan yang akurat guna memastikan penempatan dilakukan di daerah yang benar-benar membutuhkan.

2. Reformasi pendidikan kedokteran dan pengembangan karier

Kurikulum kedokteran perlu disesuaikan kembali agar lebih berfokus pada isu kesehatan kewilayahan yang terjadi di daerah.

Baca Juga: Bias Gender dan Objektivitas di Dunia Kesehatan

Rekrut mahasiswa dari daerah yang kekurangan tenaga medis. Lalu, dorong mereka untuk kembali mengabdi di daerah asal.

Agar mereka tetap semangat mengasah kemampuannya, sediakan program pelatihan, sertifikasi berkelanjutan, dan peluang pendidikan spesialis bagi tenaga medis di daerah terpencil.

3. Perbanyak fasilitas kesehatan di daerah terpencil

Pemerintah harus membangun dan meningkatkan kualitas faskes di daerah yang kekurangan tenaga dokter.

Agar tenaga medis makin tertarik bekerja dan bertahan di wilayah tersebut, pemerintah perlu menyediakan peralatan medis yang lengkap, akses transportasi, serta perbaikan infrastruktur pendukung lainnya.

4. Pemantauan, evaluasi, dan kolaborasi

Pemerintah juga perlu membangun sistem pemantauan distribusi tenaga medis secara real-time untuk menilai efektivitas penempatan dan distribusi. Evaluasi berkala diperlukan untuk menyesuaikan kebijakan berdasarkan data terbaru.

Untuk mengatasi kekurangan tenaga medis, pemerintahan Prabowo tidak boleh hanya berfokus pada penambahan jumlah dokter. Pemerintahan Indonesia selanjutnya juga harus memastikan distribusi dokter yang lebih merata, peningkatan infrastruktur, pengembangan karier, dan pemberian insentif yang terarah agar penyebaran tenaga medis merata di seluruh wilayah Indonesia.

Pelaksanaan rekomendasi kebijakan di atas juga perlu melibatkan pemerintah daerah, lembaga swasta, dan organisasi internasional.

Dengan pendekatan yang menyeluruh, diharapkan ketimpangan distribusi dokter di Indonesia bisa berkurang secara signifikan dan seluruh masyarakat Indonesia dapat menikmati akses layanan kesehatan yang lebih baik.

Ilham Akhsanu Ridlo, Assistant professor in health policy, Universitas Airlangga

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.



#waveforequality


Avatar
About Author

Ilham Akhsanu Ridlo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *