Opini Safe Space

Dahulukan Korban Kekerasan Seksual, Refleksi Kasus Ketua BEM UI Melki Sedek

Tidak membuka identitas penyintas dalam kasus dugaan kekerasan seksual Melki Sedek, adalah wujud pelaksanaan UU TPKS.

Avatar
  • February 9, 2024
  • 6 min read
  • 2929 Views
Dahulukan Korban Kekerasan Seksual, Refleksi Kasus Ketua BEM UI Melki Sedek

Melalui Surat Keputusan Rektor Universitas Indonesia (UI) Nomor 49/SK/R/UI/2024, Melki Sedek Huang dinyatakan sebagai pelaku kekerasan seksual. Surat tertanggal (29/1) tersebut berisikan penetapan sanksi administratif terhadapnya dan telah dikonfirmasi oleh Kepala Biro Humas dan Keterbukaan Informasi Publik (KIP) UI Amelita Lusia.

Penetapan Melki berdasarkan hasil pemeriksaan, alat bukti, serta keterangan pihak terkait yang telah dihimpun oleh Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) UI. Meski begitu, lewat media sosial kita bisa melihat banyak yang masih mempertanyakan kebenaran dari kasus kekerasan yang dilakukan Melki.

 

 

Penanganan kasus ini sendiri telah bergulir sejak 14 Desember 2023, diikuti dengan penonaktifan Melki sebagai Ketua BEM UI 2023 tiga hari kemudian. Namun, Melki menunjukkan berbagai perilaku defensif yang tak menghargai jalannya proses penanganan kasus.

Ia kerap menunjukkan keberpihakan orang-orang di sekitarnya yang mengatakan, kasus ini adalah bentuk kriminalisasi sebagai Ketua BEM UI yang vokal. Melalui media massa, Melki juga diberikan panggung seluas-luasnya untuk dapat menyangkal kasus tersebut. Padahal, penting untuk memberikan ruang bagi penyidikan pada kasus itu. Melki yang disebut-sebut sebagai aktivis pasti tahu menyoal relasi kuasa dan peran media massa. Melki menunjukkan timpangnya relasi kuasa pada kasus ini karena ia adalah seorang laki-laki dengan citra diri yang kuat dan terkenal sebagai aktivis yang menyuarakan HAM.

Media massa dan Melki akhirnya melakukan kekerasan berlapis kepada korban kekerasan dengan menginvalidasi pengalaman penyintas, dan jalannya proses penanganan kasus ini seakan kasus ini hanya permainan licik politik. Kata seperti “pembungkaman” muncul, menyiratkan Melki sebagai pihak pasif yang diperlakukan dengan tidak adil. Pembingkaian berita yang bermasalah seperti ini justru dapat membuat publik beropini, kasus ini hanyalah untuk menjebak Melki dan membuat publik tidak berpihak kepada penyintas.

Ada dorongan dari publik untuk membuka kasus, bahkan meminta kronologi dan penyebaran identitas korban. Hal ini dinilai dibutuhkan untuk membuat kasus menjadi transparan. Apakah hal ini ideal pada kasus kekerasan seksual?

Baca juga: Ketua BEM UI Melki Sedek Huang Diskors, Terbukti Melakukan Kekerasan Seksual

Semua Keputusan Ada di Tangan Penyintas

Beberapa pihak mendorong untuk adanya transparansi pada kasus ini. Bahkan Melki menilai perkara ini minim transparansi serta ada kejanggalan. Karena itu, Melki meminta kasus ini untuk diperiksa ulang.

“Gue penasaran banget sama kronologi pelecehan seksual yang dilakukannya, kek apa kronologinya.”

“Akibat melawan rezim, diskors sampe Pemilu selesai.”

Di atas adalah dua contoh komentar di internet. Beberapa juga mendorong untuk membawa kasus ini kepada ranah pidana agar lebih meyakinkan. Namun, orang-orang lupa keputusan itu semua berada di tangan penyintas.

Ketua Satgas PPKS UI Manneke Budiman menuturkan, korban kekerasan seksual oleh Melki Sedek belum mau melaporkan kasusnya ke polisi. Dengan itu, seharusnya tidak ada dorongan kepada penyintas untuk menunjukkan dirinya kepada publik.

Perlu dipahami bersama, korban kekerasan seksual sangat rentan menjadi sasaran victim blaming. Dalam kasus kekerasan seksual, umumnya masyarakat dengan mudah menghakimi korban. Dampak yang dialami korban juga akan semakin berlipat ketika pelakunya adalah laki-laki public figure, seperti Melki. Ini terbukti dengan tingginya empati yang ditunjukkan oleh media massa, sesama aktivis, dan publik kepada Melki, padahal penyelidikan masih berlangsung.

Di masyarakat patriarki dengan male entitlement di mana laki-laki dianggap berhak mendapatkan berbagai hak istimewa, sering kali laki-laki dilepaskan dari konsekuensi atas tindakannya. Sebaliknya, mereka justru malah membebani hal itu kepada korban karena ada anggapan korban adalah penyulut api kebencian pada diri si laki-laki tersebut.

Penyintas adalah pihak yang akan paling besar terdampak ketika membawa kasus ini dan menunjukkan diri kepada publik. Sebab, publik akan lebih berfokus kepada sosok penyintas dan apa yang membuat ia pantas menerima kekerasan. Dengan begitu penyintas justru akan mendapatkan kekerasan berlapis dari orang-orang yang menghakiminya.

Baca juga: Permendikbud Kekerasan Seksual yang Penuh ‘Catatan Kaki’

Penggunaan Perspektif Korban

Mari lihat kasus ini dari kacamata Tika, penyintas yang mengalami kekerasan seksual di kampusnya pada 2019.

Melihat berita kasus Melki, Tika sangat geram. Terlebih dia melihat ada tekanan untuk membawa kasus ini menjadi transparan, sehingga publik tahu siapa sosok penyintas. Selain geram, sebagai penyintas, Tika juga ter-trigger dengan hal ini. Tika sadar, mungkin yang akan memahami hal ini hanya sebagian kelompok, yaitu advokat kasus kekerasan seksual, pendamping penyintas, dan penyintas itu sendiri.

Pada 2019, Tika memberanikan diri untuk memproses kasusnya. Di masa itu UU TPKS bahkan masih berupa RUU PKS yang tak kunjung disahkan. Pihak kampus mengaku tak dapat memproses kasusnya karena belum ada payung hukum yang memayungi.

Kampus belum memiliki aturan untuk dapat memberikan sanksi kepada korban. Dianggap bukan kejadian sering terjadi, “tidak setiap hari terjadi,” kata pihak kampus kepada Tika adalah alasan kampus juga enggan untuk membuat aturan yang jelas.

Tika dibantu oleh berbagai pihak. Lembaga bantuan hukum, pendamping psikologis termasuk melakukan visum psikologis, dan advokat kasus kekerasan seksual di kotanya. Namun, meski sudah memiliki bukti yang cukup termasuk surat kronologis dengan saksi yang banyak sekitar dua puluh orang yang mendengar bahwa pelaku mengakui perbuatannya, pelaku tetap tak mendapatkan sanksi.

Di masa-masa itu, Universitas Gadjah Mada (UGM) juga ramai diberitakan dengan kasus Agni (nama samaran). Kasus kekerasan seksual ini bergulir dengan sangat alot hingga lebih dari satu tahun. Dari kasus tersebut juga, Tika tahu risiko apa yang akan ia hadapi ketika membuka kasusnya kepada publik. Lambannya penanganan kasus Agni berdampak pada naik turunnya kondisi psikologis korban. Terlebih ketika pihak kampus malah membuat seakan Agni hendak merusak nama baik kampus.

Dengan berbagai pertimbangan, Tika hanya mengurus kasusnya secara internal, tapi kronologis kasus Tika tetap bocor, salah satunya dilakukan oleh pihak fakultas pelaku itu sendiri. Hal itu berdampak kepada kondisi Tika yang semakin buruk karena kasusnya menjadi bahan olok-olok dan disepelekan. Dengan sudah terbukanya kasus Tika ke banyak orang di lingkungan kampus. Tika mendapatkan tekanan untuk membawa kasusnya ke publik bahkan dibawa secara pidana. Namun, Tika tidak ingin. Ia mengedepankan kesehatannya. Akhirnya ia mundur dari mengurus kasus karena dihadapkan dengan masalah pribadi.

Baca juga: Penyangkalan Kasus Kekerasan Seksual Demi Nama Baik Kampus

Mempertimbangkan keputusan penyintas adalah bentuk dari terlaksananya UU TPKS. Maka kini, dengan adanya UU TPKS yang mengatur soal perlindungan korban maka menjadi hak korban untuk tetap menyembunyikan identitas diri. Dalam kasus ini, suara penyintas telah diwakilkan oleh Satgas PPKS UI. Itu adalah kewajiban kampus untuk menjaga keamanan hidup penyintas. Publik dan media massa juga seharusnya belajar untuk menggunakan perspektif korban pada kasus kekerasan seksual.

Menjadi korban kekerasan seksual itu berat. Untuk apa mengaku diri sebagai korban kekerasan seksual hanya demi menjatuhkan seseorang? Tenaga yang dibutuhkan sangatlah besar. Perfect victim di masyarakat kita berlaku. Ketika penyintas dianggap memiliki satu kecacatan di mata publik, yang terjadi korban justru akan disalahkan atas apa yang ia alami. Tuduhan palsu tidak menguntungkan bagi pelakunya. Kenyataannya, ada banyak hambatan yang dialami korban sebelum dapat melaporkan kasus kekerasan seksual.

Tidak transparan ke publik bukan berarti kasus tidak transparan pada proses penyelidikan secara internal. Hal yang terpenting pada penanganan kasus adalah keselamat penyintasnya. Melki harus menghormati penanganan kasus ini dan segala keputusannya. Media massa dan publik harus sadar, tekanan yang ia lakukan pada kasus ini adalah bentuk kekerasan berlapis kepada penyintas.

Ilustrasi oleh: Karina Tungari



#waveforequality


Avatar
About Author

Yuviniar Ekawati