People We Love

Ayu Purwarianti, Perempuan Saintis di Balik Prosa.AI

Saya ngobrol dengan Ayu Purwarianti tentang seluk beluk AI, tantangan perempuan bergelut di bidang ini, hingga kemungkinan AI menggantikan total kerja manusia.

Avatar
  • February 2, 2024
  • 12 min read
  • 3056 Views
Ayu Purwarianti, Perempuan Saintis di Balik Prosa.AI

Hari gini, siapa, sih yang enggak tahu kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI)? Di era digital sekarang, AI digadang-gadang membantu mengotomatisasi pabrik, memprediksi kapan mesin perlu diperbaiki, dan membuat keputusan bisnis yang lebih baik.

AI juga membantu pekerjaan sehari-hari manusia. Lewat AI, notulensi rapat atau wawancara langsung bisa ditranskrip dalam hitungan detik. Begitu pula dengan real time translation. AI bisa dengan mudah mengubah ucapan menjadi teks, dan teks menjadi bahasa yang berbeda secara real time dan presisi.

 

 

Namun, walau AI semakin dibutuhkan, representasi perempuan di bidang ini masih terbilang sedikit. Faktanya, menurut laporan Forum Ekonomi Dunia pada 2020, kurang dari seperempat atau 22 persen dari profesional AI di seluruh dunia adalah perempuan.

Dari sedikitnya representasi perempuan di bidang AI, ada satu perempuan Indonesia yang masuk di dalamnya. Ia adalah Ayu Purwarianti, Kepala Pusat Kecerdasan Buatan di Institut Teknologi Bandung dan sosok di balik berdirinya Prosa.AI−perusahaan teknologi berbasis pemrosesan bahasa dengan pembelajaran mendalam.

Dalam wawancara eksklusif bersama Ayu, Magdalene menggali lebih dalam tentang ketertarikannya di bidang AI, tantangannya mendirikan Prosa.AI, hingga pendapatnya tentang asumsi masyarakat mengenai AI yang akan menggantikan manusia. Berikut adalah kutipan wawancaranya:

Baca Juga: Sejarah ‘Computer Girls’ Sebelum Industri IT Berparas Lelaki

Boleh ceritakan enggak, Bu awalnya tertarik dengan AI dan menjadi ahli di bidang ini?

Ketertarikan di bidang AI berawal dari sejak saya S1 di Teknik Informatika Institut Teknologi Bandung (ITB). Saya memang dari dulu suka pemrosesan bahasa, karena itu memang menarik dan kebetulan juga secara kode program tidak serumit backend. Maksudnya, jumlah baris kode dalam file kode program tuh jauh (lebih sedikit) dibandingin kalau kita bikin backend sebuah sistem gitu.

Tugas akhir saya waktu itu ambil NLP, Natural Language Processing atau pemrosesan bahasa alami. Beda dengan sekarang yang Code of Program, atau paper-paper sudah bisa diakses dengan mudah, dulu zaman saya enggak semudah itu. Kita harus masuk ke Linux, baru kita bisa baca paperpaper, dan itu juga bacanya versi DOS (sistem operasi disk atau sistem operasi yang berjalan dari drive disk) gitu. Nah, saya S1 itu membuat mesin penerjemah antarbahasa dengan menggunakan bahasa antara. Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.

Ketertarikan saya pada NPL berlanjut sampai S2 dan S3. S2, kita input kalimat, nanti output-nya kode program. Lalu S3 saya itu di Jepang kebetulan, NLP juga tapi ambilnya cross-lingual question answering. Jadi kalau misalnya pingin Bahasa Indonesia, nanti jawabannya bisa diperoleh dari sumber dokumen yang bukan Bahasa Indonesia.

Magdalene sempat menulis laporan terkait masalah besar di STEM. Di laporan itu disebutkan, sejak level keluarga, perempuan tidak didorong untuk berkiprah di bidang ini. Apakah Ibu mengalami hal yang sama?

Alhamdulillah enggak ya, Mbak. Mungkin orang lain mengalami hal itu, tapi dalam kasus saya justru ayah yang mendorong saya masuk ke Teknik Informatika. Ayah saya dulu akuntan publik. Karena dulu belum pakai software ya, semua masih hitung pakai kalkulator, dengan kertas yang besar gitu, dia melihat bahwa ke depannya komputer bisa mengotomatisasikan banyak hal termasuk Akuntansi. Nah, makanya saya SMA mau masuk kuliah, beliau yang kemudian meminta saya untuk masuk ke Teknik informatika ITB.

Selain itu, kedua orang tua saya juga punya latar pendidikan tinggi. Ibu saya kuliah Farmasi. Jadi bagi orang tua saya, seorang perempuan yang kemudian melanjutkan pendidikan tinggi ke universitas itu hal yang wajar dan memang harus.

Selain itu, kalau berbicara dari pengalaman saya pribadi tantangannya hadir lebih karena menyangkut peran domestik. Saat saya ambil S3 saya kan bawa anak ya, masih usia tiga tahun, playgroup nah itu cara saya mengalami kendala membagi waktu karena ya seperti yang kita tahu sendiri lah ya pengasuhan terutama beratnya itu masih di ibu.

Dari laporan Magdalene dan berbagai studi, banyak ditemukan sampai kini bidang STEM masih minim representasi perempuan. Benar enggak dan kenapa itu terjadi?

Saya berbicara dalam bidang dan kampus saya ya. Kalau misalnya di Teknik Mesin memang perbandingannya bisa 1 banding 50, tapi di bidang language processing sudah lumayan banyak walau angkanya tetap stagnan hanya di 20 persen. Mau seberapa banyak yang masuk, perempuan masih di angka 20 persen ini. Saya merasa minatnya sudah ada, tetapi ada persaingan yang ketat juga dan permasalah lain seperti ada stigma juga bahwa coding itu sulit di beberapa mahasiswa perempuan. Ini saya pernah tanya ke mereka. Padahal sebenarnya ya ini, kalau saya melihatnya, sebenarnya butuh jam terbang untuk bisa terbiasa dengan coding.

Kesulitan di coding ini juga sebenarnya karena ada sekolah yang sejak SMA sudah mengajarkan tentang pemrograman pada muridnya, tapi ada juga yang nggak. Ada gap pendidikan di sini yang dialami perempuan. Kadang-kadang anak-anak (perempuan) pun jadi merasa kok yang itu udah bisa, sih, kok aku enggak bisa, sih, ah kayaknya aku enggak bakat deh. Makanya saya merasa gap ini harus diatasi. Gimana caranya pendidikan ini menjadi merata itu jadi tantangannya.

Selain itu, kalau berbicara dari pengalaman saya pribadi tantangannya hadir lebih karena menyangkut peran domestik. Saat saya ambil S3 saya kan bawa anak ya, masih usia tiga tahun, playgroup nah itu cara saya mengalami kendala membagi waktu karena ya seperti yang kita tahu sendiri lah ya pengasuhan terutama beratnya itu masih di ibu.

Walau suami saya yang sama-sama S3 saat itu membantu, tetapi kan di masyarakat bebannya masih banyak di ibu bukan bapak. Kalo ada apa-apa sama anaknya, ibu dulu kan yang diminta. Anaknya sakit, ibu dulu yang ditanya, kok bisa gitu, sih. Terkadang meeting juga sampai larut malam bahkan baru mulai malam hari. Kalau sudah begini, biasanya saya harus menitipkan anak saya. Alhamdulillah tapi kebetulan ada teman, Dosen USU yang berkenan dititipkan.

Baca Juga: Keterasingan Perempuan dalam Transformasi Digital

Sebagai saintis di bidang AI, nama Ibu juga dikenal lewat berdirinya Prosa.AI. Boleh tidak Bu diceritakan tentang Prosa.AI sendiri dan proses awal berdirinya seperti apa?

Jadi Prosa.Ai itu adalah teknologi AI yang fokus ke bagian pemrosesan bahasa, makanya disingkat prosa. Pemrosesan bahasa yang kita maksud sini bukan hanya terkait dengan pemrosesan teks, tapi malah lebih utamanya speech. Titik awalnya datang dari penelitian riset saya dan Ibu Desi (Puji Lestari, Co-Founder sekaligus Chief Scientist of Speech Prosa.ai). Ibu Desi risetnya tentang pengenalan suara Bahasa Indonesia.

Sumber: Prosa.AI

Sejak kembali dari S3, ada beberapa perusahaan yang minta kita untuk membuatkan produk di bidang text-open-speech. Jadi mereka datang, yuk kita bikin ini. Nah, barang-barang ini jadi dan mereka pakai, tapi sayangnya tidak di-maintain. Jadi saya merasa, oh ini kok sayang banget ya.

Karena juga kebetulan kami memang bidangnya di pemrosesan teks dan suara, kami jadi berpikir kenapa kita enggak sekalian aja bisa bikin produk dalam negeri yang kemudian menjadi tuan rumah di negeri sendiri gitu loh. Dibandingkan dengan kita harus menggunakan teknologi pemrosesan suara dari luar negeri untuk Bahasa Indonesia, padahal jelas-jelas kan Bahasa Indonesia itu bahasa kita sendiri.

Harusnya kita dong yang menguasai teknologi tersebut, jadilah kami memulai Prosa.AI ini. Sekarang Alhamdulillah Prosa.AI banyak dipakai salah satunya oleh TikTokers dan YouTubers. Jadi tinggal masukan teks saja, nanti keluar suaranya dan itu tidak robotic. Suara-suara ini kita minta tolong dari beberapa orang untuk direkam suara sebagai bahan model AI kita. Kami menanyakan consent mereka untuk direkam suaranya dan tentu ada payment.

Ada enggak, Bu kendala-kendala selama merintis Prosa.AI sampai sekarang?

Banyak banget. Karena kita belum jadi tuan rumah di negeri sendiri jadi kalau misalnya kami menawarkan produk, klien akan minta kami untuk membandingkan produk (Prosa.AI) dengan buatan-buatan luar negeri yang dari giant tech seperti Google, Microsoft, AWS. Akhirnya kan kita harus mencari cara bagaimana kita bisa menghasilkan sesuatu yang bisa compatible dengan dengan produknya para giant tech ini.

Artinya kalau ternyata akurasinya mirip, performance-nya mirip-mirip, ya kita minta main di harga yang paling sedikit. Service karena kita di Indonesia, itu akan memudahkan mereka kalau butuh apa-apa, kita bisa tawarkan itu on-premise, disimpan di server mereka yang menjamin kerahasian data mereka. Kalau kayak Google gitu enggak bisa disimpan speech recognition-nya di klien karena butuh cost-to-day. Itu jadi salah satu kelebihan kita. Klien masukin hasil meeting apapun ya aman gitu tidak akan kita ambil datanya, karena kan sekarang data jadi komoditas bagi giant tech itu.

Terus tantangannya juga mengarah ke AI awareness klien. Karena awareness ini belum terbangun, masyarakat belum tahu fungsi dan manfaatnya apa, jadi kami perlu menjelaskan ke calon klien. Sehingga kalau misalnya kita bicara marketing, yaudah kita ngandelin organik aja marketingnya ini saling memberi tahu, atau kita door to door gitu ya dengan tim yang ada, jadi persaingan kita akan berat, sih.

Karena itu, kita butuh dukungan juga dari pemerintah. Kita harapkan pemerintah mengeluarkan peraturan terkait AI. Kalau misalnya mau dibuat peraturan, ya harus diawali dengan visi-visinya apa, kita mau jadi apa, mau jadi pengguna saja, atau mau jadi pengembang juga, kalau mau jadi pengembang juga, berarti harusnya ada keberpihakan terhadap para peneliti dan pengembang teknologi AI. Itu yang rasanya kami sekarang belum melihat keseriusan pemerintah di situ.

Apalagi ya kalau kita berbicara soal potensi, Indonesia sebenarnya punya potensi menjadi leading sector di bidang ini. Di Jepang saya kasih contoh, mereka itu butuh programmer dan mereka banyak mencari dari Indonesia sama Vietnam. Mereka melihat ada potensi orang Indonesia bagus di bidang ini. Kalau sampai Jepang aja tertarik sama SDM-nya kita dan pemerintah bisa mengelolanya dengan baik, sebenarnya bisa leading. Ini udah banyak potensinya, sih.

Berbicara soal AI, kita tidak bisa lepas dari asumsi umum bahwa teknologi konon bakal menggantikan manusia. Apakah benar ini akan terjadi?

Seperti dulu email menggantikan surat by post yang berdampak pada berkurangnya jumlah tukang pos sempat tukang pos, saya rasa automation termasuk AI di dalamnya punya efek yang kurang lebih sama. Automation bukan cuma AI sebagai penciri revolusi industri keempat, memang punya potensi pada pengurangan pekerjaan yang dilakukan manusia. Ini enggak full tergantikan tapi jumlah orang pasti akan berkurang.

Di pabrik biasanya yang memeriksa kualitas barang itu dilakukan oleh manusia semua. Tapi dengan adanya automation termasuk AI, jumlah orang yang misalnya asal empat belas orang, kemudian berkurang jadi dua. Dua belas ini kan jadi hilang ya. Sama seperti chatbot. Dalam melayani customer, misalnya awalnya ada 50 manusia, tapi kemudian dengan ada chatbot, ternyata bisa dikurangi sampai mungkin setengahnya, karena ada beberapa pertanyaan standar bisa yang ditangani chatbot, tapi pertanyaannya agak sulit baru beri ke manusia.

Jadi, feeling saya, sih memang akan ada yang tergantikan maka PR-nya adalah balik lagi ke risiko dari teknologi AI. Kita tidak bisa menahan laju teknologi kalau kita tahan justru akan ketinggalan dengan negara lain. Bagaimana caranya kita menangani risiko ini jadi penting. Harus ada mitigation. Jangan kemudian pekerja di PHK tanpa empati gitu ya. Harus ada upskilling atau reskilling.

Memang ini ada PR pemerintah di sini. Untuk profesi spesifik seperti ilustrator yang sempat buat gerakan Tolak Gambar AI ya pemerintah harus memikirkan gimana caranya supaya teman-teman yang sudah kuliah 4 tahun, kuliah gambar empat tahun, terus tiba-tiba hasil karyanya digantikan oleh generatif AI enggak lebih jauh terdampak.

Karena itu, kita butuh dukungan juga dari pemerintah. Kita harapkan pemerintah mengeluarkan peraturan terkait AI. Kalau misalnya mau dibuat peraturan, ya harus diawali dengan visi-visinya apa, kita mau jadi apa, mau jadi pengguna saja, atau mau jadi pengembang juga, kalau mau jadi pengembang juga, berarti harusnya ada keberpihakan terhadap para peneliti dan pengembang teknologi AI. Itu yang rasanya kami sekarang belum melihat keseriusan pemerintah di situ.

Baca Juga: Jumlah Perempuan yang Lebih Sedikit di Bidang Teknologi, Apa yang Menyebabkannya?

Selain masalah ini, AI kan juga ternyata jadi momok menakutkan bagi perempuan. Menurut perusahaan riset cyber security Sensity AI, video deepfake di internet mayoritas adalah deepfake pornography yang memuat konten intim non-konsensual yang difabrikasi. Menurut Ibu soal, apakah teknologi bisa dibuat lebih sensitif dan tidak merugikan perempuan?

Pertama-tama harus dipahami AI itu dibuat harusnya untuk bermanfaat bagi manusia. Kalau punya efek dampak buruk ke manusia, ya itu harus dilarang. Ada namanya etika AI. Seperangkat prinsip panduan yang digunakan oleh para pemangku kepentingan untuk memastikan AI dibuat, dikembangkan, dan digunakan secara bertanggung jawab.

Tapi kalau bicara etika AI, ini sulit dalam pengaplikasiannya. Karena begini, bukan si AI yang langsung menghasilkan produk itu kan. Sebaliknya, manusia yang memerintahkan AI untuk menghasilkan produk. Jadi kalau berbicara AI kita perumpamaannya kita seperti memakai pisau.

Pisau ini bisa saya pakai untuk hal positif, bisa juga saya pakai untuk hal negatif. Saya bisa pakai untuk gambar yang misalnya video tentang edukasi, tapi saya juga bisa bikin video yang pornografi tadi. Atau saya bikin video hoaks, ketika bicara tentang hoaks dan pornografi ini jelas-jelas memang melanggar norma, melanggar norma tapi teknologi ini enggak bisa kita salahin karena teknologi itu memang punya dua sisi. Dia alat yang digunakan sesuai dengan niat penggunanya.

Kita tidak bisa menahan laju teknologi kalau kita tahan justru akan ketinggalan dengan negara lain. Bagaimana caranya kita menangani risiko ini jadi penting. Harus ada mitigation. Jangan kemudian pekerja di PHK tanpa empati gitu ya. Harus ada upskilling atau reskilling.

Jadi terkait deepfake, cara yang bisa dilakukan adalah mau tidak mau harus ada peraturan terkait kekerasan seksual yang bisa menjerat pelaku yang punya niat buruk ini. Memang butuh pemerintah istilahnya lebih tegas untuk menindaklanjuti para oknum ini. Tapi bisa enggak, sih teknologi dibuat dengan tidak diskriminatif? Jawabannya sebenarnya bisa.

Saya ambil analoginya Chat GPT ya. Chat GPT itu dulu pas waktu pertama-pertama muncul bisa dengan mudah diprovokasi user supaya dia mengeluarkan hal-hal yang rasis atau diskriminatif terhadap gender, ras, agama. Yang dilakukan adalah teknologi ini perbaiki. Kalau kita mau bikin model AI, itu ada yang namanya data latihnya. Data latih ini diperbaiki supaya kalau misalnya ada orang yang minta hal-hal yang terkait dengan rasisme tadi itu Chat GPT tidak bisa menjawab.

Tapi dalam kaitannya dengan Indonesia sepertinya susah, karena kita sama sekali tidak mandiri, kita sangat tergantung dari teknologi luar, sehingga nilai yang disimpan dalam teknologi itu yang nilai-nilai mereka. Jadi secara teknologi walaupun ada caranya, tapi kan cara itu hanya bisa dilakukan oleh pengembang teknologinya yang dari negara lain.



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *