Bella Agustina: Bahkan Bicara Tubuh Sendiri pun Perempuan Tak Bisa
Di masyarakat yang sejak lama mengatur bagaimana perempuan seharusnya bersikap, percakapan tentang tubuh, seksualitas, dan hak-hak reproduksi akhirnya dianggap aneh. Sebagian orang membungkusnya dengan kata “tabu”, sehingga siapa saja yang mau bicara di ruang publik, harus melirihkan suara.
Hal yang sama dialami Bella Agustina, mahasiswa Psikologi Universitas Katolik Musi Charitas Palembang. Bella tumbuh besar dengan tuntutan menjadi perempuan sesuai dengan standar yang ada di masyarakat: perempuan itu lemah lembut, penurut, dan tidak banyak bertanya. Namun, sejak kecil ia justru gemar mempertanyakan banyak hal.
Kenapa perempuan tidak boleh bersuara lantang? Kenapa tubuh perempuan diatur begitu ketat, bahkan oleh orang-orang yang mengaku menyayangi? Dan kenapa isu-isu penting seperti kekerasan seksual dan kesehatan reproduksi justru dianggap memalukan?
Pertanyaan-pertanyaan itu tumbuh menjadi kegelisahan, lalu kemarahan. Dari situlah, bersama teman-temannya, Bella membangun ruang advokasi Suara Mentari—kolektif yang aktif mengampanyekan isu kekerasan seksual dan hak-hak reproduksi. Bella mengatakan, Suara Mentari tidak cuma jadi ruang edukasi, tetapi juga ruang aman untuk berbagi cerita saat bingung harus mengobrol ke siapa.
Magdalene berbincang bersama Bella soal advokasi yang dilakukannya bersama Suara Mentari.
Baca juga: Redyadivka Ariarafa: Bicara Soal Perempuan Tanpa Jadi “Ngab-ngab Paling Woke”
Boleh ceritain enggak gimana gender journey, yang akhirnya bikin kamu terlibat advokasi? Apa ada pengalaman pribadi atau peristiwa tertentu yang mengubah cara pandang kamu?
Sebenarnya ini lahir dari keresahan dan kemarahanku yang tumbuh dan besar di lingkungan yang selalu mengatur gimana perempuan harus bersikap. Kalau Bahasa Palembangnya “ayuk-ayuk Palembang yang manis”, artinya anak perempuan yang manis. Aku dibentuk jadi perempuan yang harus nurut. Tapi dari kecil, aku suka protes dan nanyain hal-hal yang menurut orang dewasa anak kecil enggak perlu tahu. Makanya sering ditegur kayak, “Jangan terlalu keras jadi perempuan”, “jaga sikap, nanti susah dapat jodoh”.
Pernah saat SMP, aku pengen ikut lomba pidato dan sudah nyiapin semuanya. Namun guru perempuanku saat itu bilang, “Topik pidato kamu bagus, tapi kita daftarin Arif aja ya. Soalnya dia laki-laki. Kalau kamu, nanti dibilang terlalu keras, perempuan kok gini.” Waktu itu aku merasa marah, tapi bingung mau marah ke siapa. Baru saat SMA aku mulai kenal feminisme, yang membuat sadar ternyata yang aku alami dari kecil itu lahir dari sistem yang mengatur perempuan sesuai standar masyarakat patriarkal.

Titik balik lainnya, pada 2024, aku sempat ikut Hello Sister Bootcamp yang fokus soal pencegahan kekerasan seksual di lingkungan kampus. Sebelumnya aku mengira di lingkungan akademik yang didesain sedemikian rupa, enggak mungkin ada kekerasan yang dilakukan orang-orang terdidik. Akan tetapi gerakan tadi mengubah cara pandangku. Ternyata kekerasan seksual di lingkungan kampus juga banyak terjadi dan dilatarbelakangi banyak faktor. Sejak itu, aku dan teman-teman tergerak bikin kolektif Suara Mentari untuk menyuarakan isu-isu yang masih minim diperbincangkan, khususnya di Palembang.
Kenapa akhirnya berani menyuarakan isu-isu yang di negara ini masih sangat tabu?
Kami sering ditanya, “Kenapa sih suka ngomongin hal-hal tabu?” Menurut saya, tabu itu kan alat politik, ya. Orang-orang nyiptain tabu karena enggak mau sistemnya terganggu. Makanya mereka ngebungkus isu reproduksi, seksualitas, atau kekerasan jadi hal yang tabu biar enggak ganggu stabilitas mereka. Kalau dibilang takut, ya ada ketakutan. Takut disebut vulgar, disebut feminis radikal. Tapi balik lagi, mau sampai kapan kita dikurung dengan bahasa tabu itu. Jadi kami selalu menekankan, kalau ada orang-orang yang ngerasa terganggu dengan isu yang kami bawakan, artinya kami berhasil menyentuh hal-hal yang mereka anggap udah stabil itu.
Ada enggak bentuk kontrol terhadap tubuh atau pilihan hidup yang pernah kamu alami? Gimana kamu menghadapinya waktu itu?
Sering banget sih sebenarnya, dan pasti semua perempuan pernah ada di situasi ini. Kalau aku pribadi, kontrol ini datang bukan dalam bentuk kritik tapi dalam bentuk nasihat. Misalnya dari keluargaku, “Aku ngingetin begini karena sayang, loh.” Padahal itu sebenarnya juga bentuk pengekangan. Tapi aku juga sadar, melawan sistem yang ada di rumah sendiri itu enggak bisa secara frontal. Selama ini yang aku lakukan adalah dengan memberi batasan kecil untuk diri sendiri, jujur dengan apa yang aku rasain, sambil tetap membangun komunikasi. Selain itu, aku belajar untuk enggak terus menoleransi bentuk pengekangan dengan dalih keluarga, selama apa yang aku lakukan adalah hal yang baik.

Sebelum memutuskan advokasi, kamu sudah memprediksi risikonya? Apa yang membuat kamu tetap memilih buat advokasi?
Benar, sebelum memutuskan ikut advokasi aku udah kebayang seperti apa risikonya. Tapi secara pribadi, aku lebih memilih menghadapi risiko itu daripada diam saja sama kondisi sekitar.
Di Suara Mentari, kami punya hotline kecil-kecilan. Dari situ kami sering dapat cerita dari teman-teman daerah. Ada dari Pagar Alam, dari Lahat, atau daerah lain yang jaraknya dari Palembang bisa 5–8 jam. Selama ini yang bisa kami akomodasi lewat telecounseling bersama psikolog karena akses kami masih terbatas. Itu sih yang membuat kami optimis. Tahun ini Suara Mentari memang baru ada di Palembang, tapi enggak menutup kemungkinan suatu saat kami bisa lebih menjangkau daerah-daerah lain.
Cerita lain, beberapa waktu lalu, kami juga sempat menyaksikan sidang kasus pembakaran lahan gambut di Palembang yang sedang diperjuangkan teman-teman Greenpeace. Momen ini membuatku makin sadar kalau wajah ketidakadilan itu ada di mana-mana, sedangkan negara memilih diam. Dan yang paling menyakitkan adalah perempuan—yang kehilangan tanah, air, udara yang bersih, dan tubuhnya sendiri. Hal-hal yang besar kayak gini saja negara abai, apalagi hal-hal yang menyangkut tubuh perempuan secara personal.
Baca juga: Putri Nabila: Lawan Stereotip Perempuan Sunda dengan Vokal Bersuara
Sejak kapan kamu terlibat advokasi hak-hak reproduksi?
Di tahun 2024, awalnya fokus di advokasi pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, tapi seiring berjalannya waktu, kami sadar kalau kekerasan seksual dan hak reproduksi enggak bisa dipisahin. Itu yang jadi trigger kami memutuskan untuk mulai advokasi hak-hak reproduksi.
Ini juga mengingatkanku sama pengalaman waktu SMP. Dulu di sekolah, guru perempuan ngasih tablet penambah darah ke kami dengan sembunyi-sembunyi, mereka bilang ‘Ini untuk bawah biar lancar mensnya’. Bahkan, untuk menyebut vagina aja pakai bahasa lain, dan kami harus cari tahu sendiri alasan kenapa harus minum tablet penambah darah atau hal-hal lain soal menstruasi. Itu juga jadi salah satu trigger buatku, kenapa hal-hal penting seperti soal reproduksi disampaikan malu-malu dan seolah jadi sesuatu yang salah.

Bagaimana reaksi orang di sekitar saat kamu mulai ngomongin soal tubuh dan seksualitas?
Banyak sih yang komentar, “Kamu berani banget bahas-bahas seksualitas kayak gini?’ ‘Kenapa ngomongin hal-hal dosa kayak gini?” Tapi pertanyaan-pertanyaan kayak gitu biasanya datang dari ketidaktahuan orang-orang soal isu ini sih, jadi aku coba jelasin saja kenapa isu tubuh dan seksualitas itu penting diketahui banyak orang. Selama masih ada teman-teman, jejaring yang saling support ya sudah enggak masalah, kita hadapi bareng-bareng.
Kamu juga banyak kena backlash ya, yang paling parah biasanya coming from apa?
Kami dapat backlash saat mulai advokasi aborsi aman. Waktu itu kami membuat webinar bersama Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan Komnas Perempuan. Nah, dari situ ramai dapat DM yang nanyain kenapa sekarang jadi seperti ini, kami dianggap promosi zina dan sesuatu yang dosa karena bahas aborsi. Backlash lainnya datang saat kami posting infografis soal aborsi aman bersama Feminis Manis.
Sekarang kalau ketemu teman, kadang juga sering diceng-cengin. Biasanya kalau orang yang komentar itu maksudnya mau ngajak diskusi aku tanggepin, tapi kalau niatnya mocking saja bakal aku diemin.
Ada enggak strategi khusus buat ngomongin isu yang penting tapi sering dianggap tabu?
Kami selalu menekankan kalau Suara Mentari bukan si paling ahli dan menggurui. Prinsipnya, frame the social issue in human term. Narasi yang kami ambil dari narasi personal, seperti saat ngomongin catcalling, kekerasan seksual, hak reproduksi dan lainnya. Tapi kami juga enggak berusaha menyenangkan semua orang, tapi base-nya di human term supaya lebih mudah diterima semua orang.
Apa bentuk ketidakadilan atau diskriminasi soal hak reproduksi yang sering kamu temui di lapangan?
Paling sering aku temui, bagaimana tubuh perempuan diatur terus tanpa diberi pilihan. Remaja perempuan diminta menjaga diri tapi enggak diajari apa itu consent dan bagaimana caranya mengenali pelecehan. Perempuan korban kekerasan seksual dipaksa hamil dan melahirkan tanpa memperhitungkan dampaknya, di sisi lain akses aborsi aman untuk korban kekerasan seksual juga masih minim. Yang aku lihat, diskriminasi ini bersifat struktural dan berlapis. Perempuan selalu ada di posisi enggak punya hak untuk menentukan pilihan atas tubuhnya.
Kalau dari segi kebijakan yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi di Indonesia sendiri kayak gimana?
Kalau dari segi UU Kesehatan dan Peraturan Kementerian Kesehatan memang sudah ada kebijakan yang mengatur soal kesehatan reproduksi, tapi pelaksanaannya masih minim.

Kalau ngomongin Isu hak-hak reproduksi, tentu berpotensi mendapat stigma negatif di masyarakat. Apa pengalaman paling sulit yang pernah kamu alami dalam menghadapi stigma ini?
Masih banyak orang yang abai soal isu hak-hak reproduksi dan karena isu ini masih awam juga di masyarakat. Kalau ngomongin negara, ada aturan tapi cuma normatif. Misalnya, penyampaian dan sosialisasi dari Kemenkes dan pemangku kebijakan juga belum masif kalau ngomongin soal aborsi aman.
Lalu, bagaimana strategi saat advokasi hak-hak reproduksi?
Saat membahas isu ini, kami berusaha membangun narasi yang personal, sehingga audiens bisa relate. Dari terbangunnya koneksi ini, kami ajak mereka naik ke lapisan yang lebih struktural bahwa ini bukan salah kamu kok, ini sistemik. Kami juga memastikan pendekatan kami interseksional, karena isu reproduksi berhak diakses oleh semua gender dan sebisa mungkin sensitif terhadap konteks disabilitas, komunitas queer, dan kelompok lain yang termarjinalkan.
Selain itu, kami saat ini membagi beberapa peran dalam advokasi: Ada yang pegang edukasi digital, ada yang fokus ke pendampingan, ada yang handle kebijakan dan hukum. Kami berharap nantinya Suara Mentari bukan sebatas akun edukasi, tapi juga jadi alternatif teman-teman yang butuh pendampingan.
Baca juga: Aeshnina Azzahra: Aktivis Lingkungan Muda yang Kritik Sampah Plastik
Sebagai orang yang berkecimpung di topik ini, menurutmu seberapa urgent sih masyarakat kita akan edukasi soal hak-hak reproduksi?
Penting banget masyarakat mendapat edukasi soal hak-hak reproduksi. Menurutku, saat ngomongin kekerasan dan ketidakadilan gender, yang jadi dasarnya hak atas tubuh, dan itu hak asasi manusia paling dasar. Kalau hak dasar atas tubuh saja kita belum merdeka, akan susah melangkah untuk ngomongin ketidakadilan yang lebih besar.
Ada enggak strategi atau meyakinkan audiens, kalau ini bukan cuma isu perempuan?
Awalnya kami menggaet audiens laki-laki dengan ngasih tahu kenapa laki-laki juga dirugikan sama isu-isu tadi. Tapi strategi tadi meskipun efektif, enggak sustain. Jadi sekarang, kami lebih memberi informasi secara menyeluruh. Kalau dulu konten-konten kami dipersonalisasi buat perempuan, sekarang kami fokus dengan narasi untuk semua yang lebih inklusif supaya bisa lebih menjangkau.
This article was produced by Magdalene.co as part of the #WaveForEquality campaign, supported by Investing in Women (IW), an Australian Government initiative. The views expressed in this article do not necessarily represent the views of IW or the Australian Government.
Series artikel lain bisa dibaca di sini.
















