Putri Nabila: Lawan Stereotip Perempuan Sunda dengan Vokal Bersuara
Meski enggak semua advokasi berjalan mulus, Putri tak surut memperjuangkan perempuan di daerahnya.

Selama ini Putri Nabila, 22, tumbuh dengan stereotipe jamak bahwa perempuan Sunda seperti dirinya tak seharusnya nge-gas. Sebab, perempuan beretnis ini kerap dilekati dengan karakter yang lemah lembut, menawan, dan penurut. Tampaknya nyaris mustahil jika ada perempuan yang berani melontar kritik apalagi secara tajam ke tengah masyarakat.
Namun Putri menolak tunduk pada keyakinan tersebut. Mahasiswa semester akhir di International Women University justru memilih melawan stereotip perempuan Sunda dengan aktif terlibat advokasi isu perempuan dan kesetaraan gender.
Enggak cuma menjalankan kampanye di dunia maya, ia juga aktif mengawal kebijakan pemerintah daerah terkait perlindungan dan pemberdayaan perempuan secara luring. Magdalene berkesempatan ngobrol dengan Putri terkait advokasi yang ia lakukan selama ini.

Bisa ceritain kapan dan bagaimana awalnya kamu terlibat advokasi tentang kesetaraan gender? Apa yang memotivasimu saat itu?
Sejak kelas 3 SMP saya terlibat advokasi di Sukajadi, Bandung. Isunya waktu itu masih soal tertib lalu lintas. Kegiatannya dengan kampanye di jalan untuk edukasi para pengendara motor dan pejalan kaki supaya tertib berlalu lintas.
Saya lalu mulai mengenal isu gender saat jadi duta Generasi Berencana (GENRE). Ada isu gender di Kota Bandung waktu itu. Di sana domestifikasinya masih melekat ke perempuan. Pada 2021, saya bertemu Koalisi Perempuan Indonesia, ikut menggalang advokasi untuk focus group discussion (FGD) soal kesetaraan gender. Awalnya, saya mengira (peran) gender cuma soal pekerjaan, tetapi dari situ saya mulai kenal kalau peran gender itu punya spektrum lebih luas lagi.
Kalau fokusnya sendiri di Bandung dari 2021 bersama Koalisi Perempuan Indonesia adalah pengawalan rancangan Peraturan Daerah (Paperda) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan, untuk bisa didiskusikan dengan masukan organisasi masyarakat sipil. Di tingkat Kota Bandung, membuat Balai Perempuan Pusat Informasi, Pengaduan, dan Advokasi Kekerasan Berbasis Gender dan Seksual (BP PIPA KBGS). Kita melatih kelompok perempuan pemuda, pelajar, mahasiswa, ibu rumah tangga, pekerja rumah tangga, lansia, dan pekerja informal untuk jadi garda depan BP PIPA KBGS.
Baca juga: Perjalanan Dita Yolashasanti Sebagai ‘Caregiver’: Kebahagiaan Kita Perlu Diprioritaskan
Fokus utama advokasimu di Jawa Barat, kalau isu kesetaraan gender sendiri di Jabar gimana?
Sangat variatif, perempuan Sunda masih lekat dengan stereotipe pemalas dan lemah lembut. Itu masih terasa saat ikut pelatihan, sehingga jarang ada perempuan yang dominan dan terlibat. Di Jawa Barat juga punya program di Sekolah Perempuan, tetapi pelatihan yang diberikan mengarah ke urusan domestikasi, seperti menjahit, baking, dan lain-lain—alih-alih pelatihan kepemimpinan dan kesetaran gender. Bahkan, di Jabar, peraturan yang mengatur pemberdayaan perempuan secara komprehensif baru dibuat pada 2023.

Perubahan itu dimulai dari lingkungan terdekat dulu, ada enggak cerita dari keluarga atau teman yang dulunya patriarkis, tapi sekarang sudah mulai menunjukkan perubahan karena upaya yang kamu lakukan?
Dulu di Koalisi Perempuan Indonesia fokus ke Balai Perempuan untuk penguatan advokasi penanganan kekerasan seksual. Dari situ banyak Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang akhirnya tahu kalau menolak program keluarga berencana (KB) itu juga hak kita (perempuan) ya. Lalu, laki-laki di sana yang awalnya jarang membahas isu kesetaraan gender, sekarang mulai bijak untuk mendiskusikan pembagian peran yang lebih adil.
Pernah dianggap terlalu banyak ngomong enggak sebagai perempuan, apalagi ada stereotip kalau perempuan Sunda itu lemah lembut seperti katamu sebelumnya?
Baru banget kemarin saat FGD tentang perancangan Peraturan Daerah soal Pemberdayaan Perempuan bersama Komisi V DPRD, dan lain-lain. Saya dan teman-teman sudah menyiapkan beberapa masukan. Setelah saya berbicara, kebetulan hanya kami yang menyiapkan bahan advokasi. “Kamu bagus, tapi jangan terlalu banyak ngomong, gitu”.
Padahal yang saya sampaikan itu baru sedikit, apalagi kalau saya ngomongnya dengan nada terlalu keras, semakin dikomentari. Sampai sekarang masih melekat sih, perkataan pejabat publik ini, jadi kayak males kadang mau audiensi lagi.
Jabar terkenal kental dengan ajaran Islamnya. Ada juga survei soal intoleransi. Kamu kan mengangkat soal kepemimpinan perempuan. Ada resistensi enggak dari masyarakat atau kawan sesama mahasiswa?
Kalau dalam pelatihan Young Equal Leader (YEL) sendiri kami sangat memerhatikan perspektif gender. Lalu ada komitmen doa lintas iman karena ada yang berbeda agama, cuma acara kemarin banyak yang baru ikut jadi mereka kaget dan asing dengan doa lintas iman. Padahal, isu agama dan gender ini juga berdampingan. Kami juga sering mengadakan kegiatan kolaborasi di Keuskupan Bandung untuk menguatkan kampanye KBGS, bukan gereja tapi cuma ruangan yang banyak atribut keagamaan.
Masih soal resistensi, kalau orang-orang muda di Jabar sendiri sekarang cenderung bagaimana? Lebih open dengan gerakan kesetaraan gender atau justru lebih susah?
Mereka open menerima advokasi, ada yang suka di bagian mendapat informasi, advokasi, atau juga edukasi buat dateng ke sekolah-sekolah. Ada 23 peserta YEL waktu itu yang masih berjalan pendampingannya sampai sekarang.
Baca juga: Ngobrol Soal Janda Bareng Politisi Luluk Nur Hamidah: Ternyata Memang Tak Seseksi Stigmanya
Dalam proses advokasi ini, hambatan apa yang paling sering kamu temui, terutama saat berhadapan dengan pemerintah?
Hambatan dari pemerintah biasanya di bagian waktu, udah janjian tapi ternyata enggak ada orangnya, tiba-tiba ngabarin enggak bisa hadir. Lalu ke dinas juga kita sudah datang sesuai jadwal tapi ternyata enggak sesuai jam, kami pernah nunggu sampai sore, karena mereka kadang juga telat. Kita juga harus memperkuat bahan lobi dan paham soal isunya, biar enggak disangka “kosong” meskipun orang muda.

Pernah enggak kamu merasa dipandang sebelah mata atau diremehkan karena statusmu sebagai mahasiswa? Kalau iya, bagaimana kamu menghadapinya?
Punya pengalaman diremehkan kalau enggak punya persiapan dan skill buat advokasi. Saat kita sudah nyiapin banyak, mereka jadi lebih mendengar dan menganggap kita ada dan dilibatkan.
Apa motivasi terbesarmu yang membuat kamu tetap bertahan di dunia advokasi, meskipun tantangannya berat?
Saya ngerasa kalau hanya seperti ini enggak ikut ngasih masukan ke pemerintah, mereka bakal terus bikin kebijakan yang enggak sesuai dengan kebutuhan. Khususnya kebutuhan perempuan. Itu yang harus banget diperjuangkan.
Bagaimana respons masyarakat umum terhadap advokasi yang kamu lakukan? Apakah mereka cenderung mendukung? Kalau iya, seperti apa dukungannya?
Masyarakat mendukung kegiatan kami seperti menyediakan tempat dan mereka sudah paham kegiatan kami buat isu-isu kesetaraan gender karena kami juga sering ngobrol. Mereka jadi punya pandangan yang berbeda soal kesetaraan gender, mau ikut kegiatan dan audiensi meskipun enggak ada pendanaan.
Pernah dapet backlash enggak saat melakukan advokasi, baik daring atau luring?
Kemarin sempet dapat backlash secara daring, soal isu keberagaman beragama. Banyak yang komentar, karena aku masukin isu kekerasan berlatar pemuka agama. Dari situ banyak serangan dan komentar negatif, sempet bikin down. Sampai akhirnya saya memilih archive postingan. Untungnya punya support system dari jaringan dan teman-teman advokasi yang menemani dan mendampingi saya. Namun (perasaan tertekan) itu hanya sesaat karena saya menyadari ini sudah risiko dari advokasi yang dijalankan.
Menurutmu, apa yang bisa pemerintah atau masyarakat lakukan untuk mendukung advokasi seperti yang kamu jalankan?
Kalau dari pemerintah (Jabar) bisa terus menggencarkan isu kesetaraan gender untuk menjaring lebih banyak orang muda, karena isu kesetaraan gender jarang banget disampaikan di sekolah padahal ini membantu banget. Pun membuat kebijakan yang tidak diskriminatif. Kalau buat masyarakat, tetap mau menggaungkan isu ini, sekecil setelah ikut program ini (YEL) kamu juga menyampaikan ke orang sekitar kamu.

Menurutmu seberapa penting solidaritas, terutama buat orang muda?
Penting banget, karena kita jadi punya kekuatan kolektif dan suara kita jadi lebih didengar oleh orang-orang yang belum mendengar suara kita. Dan lebih banyak orang, lebih banyak juga kesadaran yang disebarkan ke banyak orang.
Apa saranmu untuk anak muda lain yang ingin mulai terlibat dalam advokasi tetapi merasa ragu atau takut?
Bisa mengembangkan diri buat lebih banyak ikut pelatihan biar dapet skill buat advokasi apalagi kalau advokasinya udah bareng pemerintah. Selain itu, baca buku dan baca riset juga enggak kalah penting kalau mau jadi advokator. Kita juga harus bisa memetakan dan sadar limit diri sendiri agar tetep waras karena akan banyak sekali yang akan kita alami selama advokasi.
Artikel ini telah diperbarui pada 12 Februari 2025 bagian paragraf ke-6 dengan menambahkan detail kegiatan advokasi yang dilakukan narasumber.
